Sabtu, 26 November 2011

Teknologi Informasi: Antara Keinginan dan Kebutuhan


Teknologi Informasi: Antara Keinginan dan Kebutuhan[1]

Oleh : Jabbar Abdullah[2]

Sebelumnya, saya akan berkisah tentang warung kopi. Sepintas, Information Technology (IT) dan warung kopi memang tidak nyambung. Tapi bagi yang peka, warung kopi tanpa kita sadari merupakan tempat terjadinya sirkulasi teknologi informasi (TI), apapun bentuknya. Mulai dari babakan politik, ekonomi, sosial dan bahkan seni-budaya. Warung kopi tidak hanya menyediakan secangkir kopi, teh, pisang goreng dan sejenisnya. Warung kopi juga tempat mengaduk informasi yang disuguhkan dengan rupa-rupa teknologi. Warung kopi juga bisa menjadi tempat “menggoreng” ide atau gagasan. Intinya, setiap tempat berpotensi untuk kita jadikan sebagai media mengolah segala hal yang terkait dengan persoalan teknologi informasi.
Tak dipungkiri, setiap detik teknologi yang diciptakan manusia senantiasa berkembang dengan pesat. Produk teknologi pun bervariasi. Semua dicipta menyesuaikan kebutuhan hidup manusia. Namun, jika perkembangan teknologi tidak disikapi dengan tepat (baca: sesuai dengan fungsinya), maka akan terjadi disfungsi, bahkan bisa jadi akan menjadi senjata makan tuan. Disadari atau tidak, perkembangan teknologi ternyata berimbas pada terciptanya budaya instan (baca: siap saji) terkait dengan pemenuhan sebuah kebutuhan.
Jika kita menyikapi kebaruan teknologi dengan instan, maka bersiaplah untuk menjadi budak teknologi. Orang yang sudah menjadi budak teknologi akan terjangkit penyakit egois, individualis dan hedonistis. Agar tidak terserang ketiga penyakit tersebut, maka kita harus memperlakukan teknologi sebagaimana mestinya – meminjam istilahnya WS Rendra – agar kehidupan tetap berjalan berimbang dan wajar.
Dalam keseharian, kita tidak terlepas dari yang namanya peristiwa memberi dan menerima dengan segala bentuknya. Saat kita mengalami dua peristiwa ini, kita akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni antara keinginan dan kebutuhan. Jika peristiwa tersebut terkait dengan informasi, maka informasi yang kita berikan atau kita terima tersebut selanjutnya mau disikapi dengan cara yang bagaimana. Jika kita memposisikan sebuah informasi hanya sebatas keinginan, maka sikap kita cenderung diam alias pokok’e eruh. Sebaliknya, jika kita menjadikan informasi tersebut sebagai sebuah kebutuhan, maka kita akan cenderung berupaya untuk bagaimana caranya agar informasi tersebut bisa dengan segera tersebar dan akhirnya diketahui oleh khalayak.
Terkait dengan memberi dan menerima informasi, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah. Di sini kita juga harus punya pertimbangan tentang media dan kepada siapa kita harus berbagi informasi tersebut. Nah, di sinilah pentingnya kita membangun jejaring. Jika kita telah memiliki jejaring, maka kita tidak akan kesulitan dalam urusan memberi dan menerima informasi. Urusan membangun jejaring terkait erat dengan pengolahan data yang kita miliki. Jika kita tak memiliki jejaring, maka bisa dipastikan data berupa informasi tersebut akan mati, minimal – meminjam istilahnya Afrizal Malna – tidak berbunyi.
Data akan datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Pertanyaan paling mendasar saat kita menerima atau memiliki data adalah, terus diapakno?
Memberi bunyi pada data yang kita miliki bukanlah persoalan mudah, meskipun medianya berlimpah. Adakalanya kita kebingungan saat memiliki data yang melimpah. Mau kita apakan data itu? Data itu mahal dan memiliki kekuatan yang besar. Karena itu tidak semua orang atau komunitas akan dengan mudah berbagi data. Kecerobohan dalam mengolah data akan berdampak langsung dengan bangunan jejaring kita. Data ibarat zakat. Di dalam data itu sendiri juga terdapat mustahiq, baik personal maupun kolektif, yang berhak menerima zakat data. Meskipun pada prinsipnya setiap orang memiliki hak atas apa yang kita miliki, namun orang lain tidak berhak memaksa kita untuk memberikan apa yang kita miliki. Semua dikembalikan pada kesadaran bahwa seseorang atau komunitas itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri, seseorang atau komunitas membutuhkan kerjasama dengan yang lainnya.
Untuk urusan mengolah, tidak semua orang mampu melakoninya. Terlebih mengolah dan menghidupi (baca: memberi bunyi) pada data yang dimiliki. Di era yang serba “klik” dan “touch” ini, kita banyak ditawari pilihan-pilihan media yang bisa dimanfaatkan terkait dengan urusan memberi bunyi pada data. Media online, baik blog maupun website misalnya, menawarkan banyak sekali species teknologi yang kesemuanya bisa dijadikan sebagai ladang menanam dan membunyikan data. Ada Facebook, Twitter, Blogspot, Wordpress, Multiply, netlog, dan masih banyak lagi. Seluruh species teknologi tadi, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, memberi ruang bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya secara gratis. Yang terkini, sampai-sampai ada yang rela memberi fasilitas WiFi agar warungnya bisa menarik konsumen yang lebih banyak. Artinya, kalau kita memang serius menggeluti dunia IT maka pertanyaannya adalah sejauhmana kita mampu mengolah ruang dan mengolah data yang kita miliki?
Dari sekian banyak media, silahkan dipilih mana yang menurut kita lebih efektif untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk membunyikan data. Apapun pilihannya, yang terpenting adalah kita harus mampu untuk istiqamah, baik dalam memberi maupun menerima. Upaya berbagi dan menerima data terkait erat dengan yang namanya updating, yakni upaya mencari kebaruan-kebaruan tentang data. Jika kita malas memperbarui data, maka kita akan ketinggalan kereta.
Kiranya cukup sekian uraian tentang urusan Information Technology (IT). Yang harus selalu kita ingat adalah, bahwa dalam urusan IT , musuh utama kita adalah kemalasan.
--------------

1) Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknologi Informasi, tanggal 26–27 November 2011, pukul 14.00–17.00 Wib.
2) Lurah Komunitas Lembah Pring Jombang 

Rabu, 01 Juni 2011

Federasi Teater Indonesia - SAYEMBARA NASKAH DRAMA NASIONAL FTI PELAJAR & MAHASISWA

Federasi Teater Indonesia
SAYEMBARA NASKAH DRAMA NASIONAL FTI PELAJAR & MAHASISWA

FTI berkehendak untuk menggairahkan kembali semangat menulis naskah drama, merangsang para penulis muda untuk juga bergiat di dalamnya, dan pada akhirnya meningkatkan perbendaharaan naskah Indonesia. Tidak tertutup pula harapan naskah-naskah baru tersebut dapat menjadi alternatif terutama bagi pertunjukan yang semakin dapat mewakili hidup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan mutakhir kita.
Tema
Tema bebas, namun diharapkan yang “berakar” berkonteks dengan kekinian Indonesia.
Waktu Kegiatan
Pendaftaran dimulai awal Mei 2011, batas pengiriman terakhir tanggal 30 Juli 2011 ( cap pos).
Dewan juri:
Afrizal Malna (Satrawan),Nano Riantiarno (Teaterawan), Radhar Panca Dahana (Pembina Teater)
Tempat
Sekretariat FTI, Jl. Muchtaruddin 20 B Komplek PU Pasar Jumat Jakarta Selatan
121310 Indonesia, Telp. 021-8637 4965, Email : ftindonesi@yahoo.com
Hadiah
Pemenang Terbaik dari Terbaik : Rp. 10,000,000,-
plus tropi dan piagam penghargaan
Pemenang 5 naskah drama Terbaik : masing-masing mendapatkan
Rp. 5000,000,- plus tropi dan piagam penghargaan
Ketentuan Peserta:
1. Isi Naskah Tidak Menyinggung SARA
2. Pelajar dan mahasiswa Indonesia
3. Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku
4. Jumlah HALAMAN NASKAH, MINIMAL 15 haL. Maksimal 40 hal. (Ukuran kertas A4, 2 Spasi, Arial), Berbahasa Indonesia.
5. Naskah dikirim dalam file digital (soft copy) 1 Buah dan 3 rangkap berjilid (hard copy) dengan melampirkan :
  • Photocopy Kartu Tanda Pelajar /Mahasiswa
  • Biodata Penulis
  • Surat pernyataan bahwa naskah yang dikirim adalah asli, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba sejenis, bermaterai 6000.
6. Naskah drama dikirim ke panitia dengan kode: SNPND FTI Pelajar/Mahasiswa 2011 ke sekretariat FTI.
____________

Sabtu, 23 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa @ Dimuat SERAMBI BUDAYA RADAR Mojokerto, Minggu, 17 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa

Oleh : Jabbar Abdullah*

Kurang lebih pukul 08.50 Wib, rombongan Tim Indonesia Art Contemporary Network (iCAN) yang terdiri dari Afrizal Malna, Titarubi, Antariksa dan Stephanie Goeltom (Puni), tiba di area Kantor PEMKAB Jombang untuk kemudian menuju lantai dua tempat AULA Bung Tomo berada. Awal kali memasuki pintu menuju ruang diskusi, tim iCAN mendapat suguhan awal berupa pameran fotografi dari Jombang Fotografer Community (JFC). Naik ke lantai dua, kembali mendapat suguhan pameran seni rupa dari Komunitas Pelukis Jombang (KOPI Jombang).

Sebelum kedatangan tim iCAN, suguhan paling awal untuk pengantar menuju diskusi, kelompok musik SKETIKA telah terlebih dahulu hadir dan melagukan beberapa lagu. Kedatangan tim iCAN langsung disambut oleh Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) yang ditemani oleh Cak Nasrul Ilah dan Inswiardi (moderator), Fahrudin Nasrulloh (narasumber teater), dan Khoirudin (narasumber senirupa).

Jombang menjadi tuan rumah kelima dalam rangkaian Road Show Forum Teater dan Seni Rupa Jatim, setelah Malang , Jember, Surabaya dan Mojokerto. Acara ini adalah hasil kerja bareng antara iCAN dan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) yang didukung oleh Komunitas Lembah Pring,  Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Suwarna Art Space (SAS), Perhutani dan beberapa donator dari instansi swasta di Jombang. Secara resmi, diskusi dimulai sekitar pukul 10-an. Sesuai rundown acara, pembukaan dibuka oleh saudara Bakir (Komunitas Tombo Ati). Satu-persatu runutan acara dibacakan. Seusai pembukaan, Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) selaku "shohibul hajat" dipersilahkan memberikan sambutan. Selanjutnya MC menyerahkan waktu sepenuhnya kepada moderator diskusi.

Moderator mulai beraksi. Cak Nasrul Ilahi memberikan gambaran awal tentang kondisi teater dan seni rupa Jombang. Disusul kemudian oleh Inswiardi. Ia mengawali dengan menyuarakan dialog besutan, baru kemudian memulai diskusi. Acara berlambar “Launching, Diskusi Teater dan Seni Rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi” ini dihadiri kurang lebih seratusan peserta, yang terdiri dari banyak atribut. Di antaranya, birokrasi (Perhutani), Pengusaha, guru-guru MGMP Seni-Budaya, Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Desain Grafis, pelajar dan mahasiswa, serta pegiat dan komunitas teater di Jombang dan di luar Jombang. Dengan kata lain, keterlibatan telah terjadi.

“Diskusi ini sengaja didesain oleh panitia untuk tidak hanya dimiliki oleh pelaku teater dan seni rupa. Panitia berkehendak diskusi ini menjadi milik dan kebutuhan bersama atau lintas disiplin”, ujar Imam Ghozali AR , selaku ketua panitia dan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jombang.

Imam Ghazali AR menambahkan, kegiatan ini menurutnya menarik untuk mulai merajut jejaring seni dan budaya lebih istiqamah, mengingat kita berada di ruang era jejaring.

“Saya pikir teman-teman Jombang mesti mengisi “ruang kosong” tersebut agar tidak terjebak dalam “chauvinisme lokal kekanak-kanakan” yang dapat memunculkan “rasa serba hebat””, imbuhnya, sembari menyulut rokok Dji Sam Soe kretek.

Berangkat dari situlah kemudian panitia memilih narasumber, utamanya teater, orang yang bukan pegiat teater, namun memiliki perhatian terhadap peristiwa teater yang tumbuh dan berkembang di Jombang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan “pembacaan yang lain” atau –dalam istilahnya Fahrudin - “mata lain” terhadap teater. Panitia akhirnya menunjuk Fahrudin Nasrulloh (Pegiat Komunitas Lembah Pring, Jombang) yang kesehariannya bergulat di ranah sastra namun juga punya perhatian yang cukup terhadap teater di Jombang, baik teater modern maupun tradisi, ludruk.

Secara sederhana, Afrizal Malna mengatakan : “Setiap saat kita menemui teater. Di kamar mandi kita bertemu teater industri, teater pasar hanya lewat sabun yang kita gunakan untuk kita mandi. Di sekolah ada teater pendidikan. Di politik malah lebih banyak lagi teater. Ada kampanye, macem-macem… Teater pertama menjadi penting kalau teater kedua lahir. Kalau teater kedua tidak lahir berarti ada persoalan dalam bagaimana teater itu diproduksi."

Mengenai "pembacaan yang lain" terhadap bukunya Afrizal Malna, dalam paragraf kedua makalahnya yang berjudul “Yang Berjalan dari Kuburan Teater ke Kuburan Fiksi”, Fahrudin menulis : "Hal penting dari kehadiran buku Afrizal Malna Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata ini adalah bagaimana ia melihat dengan “mata lain” sebuah pertunjukan teater yang telah ditontonnya selama kurang lebih 12 tahun. Sebagai seniman teater yang pernah terlibat di Teater Sae, ia juga adalah penyair yang sudah dikenal luas dalam dunia sastra Indonesia . Pertama, saya melihat buku ini merupakan sebuah catatan tajam dengan berbagai perspektif sosiologis maupun antropologis, dan oleh sebab itu pembaca, sebagai “teater ketiga”, tidak semata melihatnya sebagai hasil reportase, namun lebih dari bagaimana kita diajak memasuki cara Afrizal menonton teater yang kemudian disebutnya sebagai “teater kedua”.

“Singkatnya, kita diajak menonton ulang dan membaca oleh Afrizal Malna seluruh peristiwa teater yang disalin dalam buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, yang ditulisnya kurang lebih selama 15 tahun,” komentar Syaiful Anam “Glewo”, pegiat teater Lidhie Art Forum Mojokerto dan Komunitas Pondok Jula Juli yang datang bersama kawannya dari Balai Belajar Bersama Banyumili.

Berbeda dengan Fahrudin, narasumber seni rupanya, "pyur" menggeluti seni rupa. Eko Utomo selaku ketua Komite Senirupa DeKaJo, menunjuk Khoirudin yang saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2 nya di ISI Yogyakarta . Dalam paparannya, Khoirudin lebih menekankan pada upaya bagaimana seni rupa di Jombang bisa turut ambil bagian dalam peta seni rupa, minimal di Jawa Timur. Dari sini dapat disimpulkan sementara, bahwa di sinilah pentingnya untuk segera membangun jejaring, melalui media apapun.

Terkait dengan media, Titarubi, yang sudah 20 tahun menjadi perupa, juga menguraikan gagasannya dalam berkarya yang jangan hanya berhenti pada media canvas. Seni rupa bisa dirupakan dalam banyak media. Dalam durasi 15 menit-an, Titarubi memberikan beberapa tawaran terkait dengan pengelolaan media untuk seni rupa. Ia menampilkan beberapa karya-karyanya yang didominasi seni rupa instalasi. Tiga di antaranya berupa patung berkepala gundul yang berhias kaligrafi, rangkaian manik-manik yang berwujud gaun yang dijadikan kostum tari, dan karya berjudul “Sebuah Pohon Kecil di dalam Rumah yang Belum Selesai”.

"Seni rupa seperti juga bahasa. Adalah menyalin penglihatan ke dalam gambar, ke dalam bentuk. Ia bisa jadi gambar-gambar dalam bentuk apapun," jelas Titarubi yang mempresentasikan materinya dengan menggunakan bantuan proyektor.

Di akhir sesi, giliran Antariksa yang mengudal pentingnya membangun jejaring (network) dalam berkesenian. “Seniman dan kesenian tidak dapat berdiri atau menopang dirinya sendiri. Ia membutuhkan penyanggah untuk menopang dirinya. Ditopang dengan membangun hubungan-hubungan dan jejaring lintas disiplin yang lain,” ujarnya.

Panitia juga “menyisipkan” gerakan Koin Sastra untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang kondisi “kesehatannya” sedang krisis dan terancam mati.

“Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan hanya sekadar pusat dokumentasi, tapi juga gambaran peradaban sebuah bangsa. Alhamdulillah. Bukunya mas Afrizal juga mendapat apresiasi yang luar biasa. Untuk penjualan di tempat, laku 8 eks. Panitia juga membeli secara khusus 10 eks. Sementara Koin Sastra berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 1.865.350,-. Untuk penyerahannya akan kita titipkan kepada tim iCAN,” ungkap Agus Riadi.

__________

Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Geladak Sastra, Community Culture, dan Perluasan Apresiasi Sastra | Dimuat Serambi Budaya Radar Mojokerto, 10 April 2011

Geladak Sastra, Community Culture, dan Perluasan Apresiasi Sastra

Oleh : Nanda Sukmana*

            Tiba – tiba saya ingin menulis tentang apa saja yang berkaitan dengan Geladak Sastra. Entah, motif apa yang mendorong saya untuk menulis forum diskusi sederhana yang rutin dihelat Komunitas Lembah Pring ini sejak 28 Maret 2010. Selama itu pula mereka telah menggelar diskusi sastra sebanyak 16 kali. Itu berarti diskusi digelar pada setiap bulannya, sasampai beberapa minggu terakhir diskusi gencar dilakukan. Adalah Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah sebagai lurahnya _ lah yang menggawangi lahirnya forum diskusi yang rata – rata dihadiri 20 hingga 30 – an orang pada setiap sesinya.

Baiklah, perkenalan saya dengan mereka pertama kali saat rekan – rekan Komunitas Tombo Ati mementaskan lakon Lebedinaya Pesna (Anton Chekov) di Gedung Bioskop Plasa, Sabtu, 10 Mei 2008. Saat itu, Jabbar mengenakan kaos tipis, saya lupa warnanya dan memakai kupluk sleret – sleret atau hitam polos yang selalu dipakainya sampai saat ini. Dan sampai sekarang Jabbar masih kelihatan cungkring. Beda lagi dengan Fahrudin kalau dulu kecil kurus, sekarang badannya bohai. Celananya pas sesak. Yang tak berubah hanya brengosnya nyrongot – nyrongot. Nah, pascaperkenalan itulah saya mulai mengenal tulisan – tulisan Fahrudin yang dahsyat, sedangkan Jabbar, lama kelamaan mulai mengikuti jejak Abdul Malik, networker kebudayaan dari mojokerto yang sangat militan.

Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah saya harus mengapresiasi kerja keras mereka berdua. Mereka itu seperti martil – martil yang siap memalu siapa saja, tak lain dan tak bukan demi terbukanya ruang perluasan apresiasi sastra di Jombang khususnya. Bahwa intensitas perluasan sastra harus dipercepat oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja, begitu kira – kira saya membaca pikiran mereka. Senyata – nyata Komunitas Lembah Pring telah menjadi magnet bagi munculnya komunitas – komunitas sastra di Jombang, sehingga senyata – nyata pula perkembangan sastra di kota kecil ini sepertinya tengah mengalami fenomena menggembirakan, terutama berkait dengan kegairahan apresiasi dan penciptaan karya. Sama halnya ketika Komunitas Tombo Ati juga menjadi magnet bagi kelompok – kelompok teater di Jombang sejak 3 Agustus 1996. Meski relatif lama _ hampir 15 tahun, kelompok ini harus diakui telah memberikan kontribusi besar pada tumbuh kembangnya jagad teater Jombang. Alhasil, beberapa tahun terakhir banyak bermunculan kelompok – kelompok teater independent di ’’ibukota ludruk’’ ini _ meminjam judul jurnal sastra Jombangana, Komite Sastra Dekajo.  

Semakin maraknya ruang sastra di tengah – tengah masyarakat, tentu saja akan menghadirkan atmosfer tersendiri, terutama bagi munculnya media alternatif ekspresi publik guna mengimbangi mekanisasi sifat dan perilaku sebagai dampak dari industrialisasi di segala sektor kehidupan warga. Memang ide tersebut terkesan klise dan utopis bila kita melihat kembali kenyataan masih minimnya apresiasi sastra di level publik. Tapi justru di situlah tantangan yang harus dijawab oleh para pegiat sastra di Jombang. Dan saya pikir, Komunitas Lembah Pring sudah memulainya, meski terkadang untuk melihat kerja keras mereka begitu mengharukan sekaligus memilukan. Dengan sajian apa adanya, tikar digelar, intel datang, buku – buku dipajang hingga sesuatu dilahirkan, Fahrudin menyebutnya silaturahim dan pertemuan.    

            Lepas dari itu, salah satu strategi yang bisa diusahakan untuk membantu perluasan jejaring sastra di tengah – tengah masyarakat adalah penciptaan budaya komunitas (community culture). Secara sederhana konsep budaya komunitas bisa dimaknai sebagai bentuk usaha yang dilakukan secara intens dan terus – menerus yang akan memperkuat basis kesastraan di tataran komunitas. Komunitas di sini bisa dimaknai dalam dua kategori, yakni komunitas secara internal, berupa kelompok atau organisasi yang bergerak dalam apresiasi dan penciptaan karya sastra dan (baik di dalam atau di luar sekolah, pesantren, kampus) dan komunitas secara eskternal, berupa kelompok publik yang hendak dijadikan sasaran perluasan apresiasi sastra.

            Terbentuknya beberapa komunitas sastra di Jombang, harus dianggap sebagai gejala positif yang akan menggiring sedikit pandangan publik terhadap eksistensi sastra yang selama ini kurang mereka perhatikan. Guna memperteguh pandangan itu, komunitas sastra, secara internal, mesti melakukan pematangan – pematangan dalam proses tertentu yang didukung beberapa orientasi.

Pertama, orientasi apresiatif, berupa penguatan wacana untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, baik puisi, cerpen, novel, atau drama. Pemahaman apresiatif terhadap sebuah karya akan mengarahkan anggota komunitas pada keragaman makna karya sehingga akan memunculkan perdebatan dalam lingkaran diskusi yang akan semakin mematangkan pemaknaan mereka terhadap sastra, di samping untuk mengisi kebutuhan batin.

Kedua, orientasi penciptaan, berupa workshop dan pendampingan dalam menciptakan sebuah karya. Semakin banyaknya karya yang dihasilkan oleh para anggota sebuah komunitas, sesederhana apapun bentuknya, akan semakin menambah semangat kreatif. Yang perlu diingat adalah kesadaran untuk memberi dan menerima kritik karena itu akan berguna dalam pembentukan jati diri karya. Bagi kalangan penulis pemula, apresiasi di komunitas akan memunculkan rasa percaya diri ketika harus berhadapan dengan publik yang lebih luas.

            Langkah berikutnya ketika budaya apresiatif dan penciptaan sudah terbentuk adalah bentuk usaha untuk memperluas komunitas penikmat sastra. Selama ini, diakui atau tidak, penikmat sastra masih terbatas pada mereka yang berbasis pendidikan, meski juga sangat terbatas. Khalayak di luar basis pendidikan juga mesti disapa, karena hal itu akan membantu sosialisasi makna humanitas sastra.  

            Untuk menggagas publik yang lebih luas, komunitas sastra harus mampu melakukan pembacaan awal terhadap kemungkinan-kemungkinan tentang karakteristik calon penikmat yang dibidik. Memang langkah ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa dan sedikit usaha publikasi yang tidak mudah. Para pegiat sastra komunitas harus mampu meyakinkan mereka bahwa acara yang akan mereka hadiri mempunyai daya tawar tersendiri.

            Diskusi sastra dan seni rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi yang dihelat di ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Minggu (10/4) merupakan strategi cerdik guna menyosialisasikan humanitas sastra bagi khalayak, apalagi konon sebagai pengulas buku Perjalanan Kedua : Antologi Tubuh dan Kata karya Afrizal Malna adalah Bupati Jombang. Dan menurut saya, ini baru luar biasa. Tambah luar biasa ketika acara tersebut juga dihadiri oleh penjabat – penjabat pemkab yang lain, direktur perbankan, pengusaha – pengusaha kaya, petani, pedagang, buruh pabrik, guru, dosen, semuanya tumplek blek di sana. Dan lagi – lagi Komunitas Lembah Pring menjadi salah satu penggagas di belakangnya. Mereka berhasil menjaring, memikat, dan memaksa munculnya sinergitas antarlintas komunitas, pemerintah, swasta, semoga media juga, meskipun dalam konteks itu peran pimpinan Dekajo yang bersahaja juga tak kalah cerdiknya dan harus diperhitungkan.

            Dan jika keberadaan kondisi ini dapat terus bertahan dan meluas akan semakin mendorong terciptanya kerja budaya antarkomunitas lintas disiplin ilmu yang saling silang memberikan gagasan – gagasan inovatif terhadap keberlangsungan masa depan berkebudayaan kita.

Terakhir, jika ingin membangun sebuah wilayah sastra yang kondusif, tentunya harus dibarengi dengan penciptaan budaya komunitas, sehingga suatu saat akan tercipta dinamika. Dan dinamika harus dimaknai sebagai pergesekan karya yang positif. Dan sesungguhnya, untuk itu, saya berharap bahwa Geladak Sastra selalu menjadi lembah kreativitas, berbagi dan berkomunikasi bagi para anggota dan masyarakatnya. Entah sampai kapan. Perlu uji waktu.

Lalu bagaimana kabar gedung kesenian? ’’Gak onok hubungane kalee guk,’’ seorang teman berseloroh dari pinggir meja kerja saya.
_________
*Manajer Artistik Komunitas Tombo Ati, bekerja sebagai staf pengajar di STKIP PGRI Jombang.

Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011 | CATATAN KECIL TEATER PELAJAR DI MOJOKERTO

Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011
CATATAN KECIL TEATER PELAJAR DI MOJOKERTO
Oleh : ACHMAD SAIFUL ANAM*

Minggu, 27 Februari 2011 sekitar jam 4 sore saya mendapat sms dari Cak Chamim Kohari yang mengabarkan bahwa Minggu malam ada pementasan teater hasil workshop dari pelajar yang juga santri di Pondok Pesantren Darul Falah Jerukmacan Kecamatan Gedeg. Segera saya jemput Cak Abdul Malik di perpustakaan Banyumili di Kampung Kradenan dan meluncur ke balai desa Japanan Lor tempat kegiatan berlangsung. Sesampai di lokasi, pentas sudah dimulai dengan baca puisi secara bergantian dari peserta workshop. Pentas hasil workshop pun dimulai. Terbagi menjadi 5 kelompok pemeranan, masing-masing: kelahiran, tanah, api, perang dan perdamaian. Meskipun cukup dominan dengan teater gerak dan minim dialog, namun jalan cerita cukup mudah diikuti. Seusai pementasan Cak Chamim Kohari selaku kepala sekolah, mengatakan bahwa pementasan tersebut merupakan hasil dari workshop teater yang diadakan oleh pihak pondok pesantren selama 3 hari dari tanggal 25-27 Februari 2011. Sebagai pemateri adalah Dody Yan Masfa, dari Teater Tobong dan Teater Doyan Rondo, Surabaya. Sementara itu Dody Yan Masfa, di sela sela memberikan materi workshop tak lupa mengabarkan ke jejaring komunitas teater lewat statusnya di akun facebook Teater Tobong.
Semangat untuk lahir dan berapresiasi didunia teater tampak diwajah santriwan-santriwati, dalam sesi diskusi yang digelar sesuai pementasan hasil workshop teater. Sebagian besar menyatakan kegembiraan ketika pertama kali berakting di panggung. Demikianlah gambaran awal dan kekinian kehidupan teater pelajar di Mojokerto.
Pengalaman berikutnya dalam mendokumentasikan pentas teater yang cukup berkesan adalah di even “ SCREAM” (Sooko’s Creativity Art and Music) pada hari Jum’at tanggal 4 Maret 2011. Digelar oleh SMAN Negeri 1 Sooko Kabupaten Mojokerto. Peserta kategori teater sebanyak empat grup teater pelajar.
Pementasan pertama dari Teater Payung Hitam SMAN 1 Sokoo Mojokerto dengan naskah Gelap, karya dan sutradara Edy Subianto selaku pembina Teater Payung Hitam. Kedua oleh Teater Incanda Mirror Theater dari SMAN 2 Kota Mojokerto dengan naskah Pengaduan Topeng, karya dan sutradara Andrian Dwi Cahyono (Chigusa Modjo). Ketiga oleh Teater Bintang dari SMAN 1 Mojosari naskah Amarah, karya dan sutradara M. Nur Badri (Mamack). Sajian terakhir oleh Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto yang mengusung naskah Safa, karya Agus Jombang dan disutradarai oleh Bagus Yuwono (Mahayasa). Penampilan terbaik pertama diraih oleh Teater Bintang dari SMAN 1 Mojosari. Dalam amatan saya, panggung pementasan kurang maksimal karena sepanggung dengan Festival Band yang juga merupakan bagian dalam rangkaian kegiatan “SCREAM”. Meskipun demikian, beberapa peserta malah memilih pentas di depan panggung band. Riuhnya sorak sorai antara peserta festival band dan penonton teater juga menjadi tantangan tersendiri dari festival teater kali ini. Adziani Heramurti (Hera) salah satu panitia dan ketua ekstrakurikuler Teater Payung Hitam SMAN 1 Sooko Mojokerto mengatakan, bahwa acara ini merupakan bukti kebangkitan teater pelajar di Mojokerto. Teater di Mojokerto dikatakan mati tapi tidak mati dan dikatakan hidup namun sepi pertunjukan. Untuk itulah, Teater Payung Hitam memberi ruang kepada teater pelajar untuk berekspresi untuk menunjukan bakat berteater dan kreativitas.
Dari dua peristiwa teater di atas, sementara saya simpulkan bahwa pelajar dan santri di Mojokerto masih meminati seni teater. Kesimpulan tersebut didukung juga dari catatan diagenda saya, ternyata masih sederetan teater pelajar yang masih bertahan. Antara lain: Teater Q-TA SMA PGRI I Kota Mojokerto yang pernah mementaskan musikalisasi puisi berjudul Indonesia, karya Hamid Jabbar dalam ajang Mojokerto art Festival (Moral) tahun 2009 di halaman Dewan Kesenian Kota Mojokerto; mengikuti Pekan Seni Pelajar se Kota Mojokerto tahun 2010 di SMAN 2 Kota Mojokerto dengan naskah Ande Ande Lumut dengan sutradara Saiful Bakri; menjadi panitia dalam launching Antologi Puisi Afrizal Malna di SMA PGRI 1 Kota Mojokerto (bekerja sama dengan Biro Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto); SMA Muhammadiyah Kota Mojokerto mengikuti Festival teater Pelajar se Jatim di Universitas Negeri Surabaya dengan naskah Wek Wek, karya D Djayakusuma dan sutradara Saiful Bakri; Teater Bintang SMAN Mojosari; Teater Air SMAN 1 Bangsal; Teater Incanda Mirror Theater SMAN 2 Kota Mojokerto; Teater Moeda SMAN 3 Kota Mojokerto; Teater Taman SMA Tamansiswa Mojokerto; Teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto; Teater Satya Wikusama SMAN Gedeg Kabupaten Mojokerto; Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto; Teater Payung Hitam SMAN 1 Sokoo Mojokerto; Teater Senja 789 MTs Smesta 789 Brangkal Kabupaten Mojokerto; Teater Kentrung SMAN Gondang Kabupaten Mojokerto.
Dari sederetan teater pelajar di atas, dapatlah saya rangkum beberapa hal: Pertama, Kurangnya informasi tentang even festival teater pelajar baik diadakan di Mojokerto maupun luar kota. Kedua, sebagian besar anggota teater pelajar adalah wanita sehingga cukup menyulitkan dalam memilih naskah. Ketiga, minimnya dana dari sekolah. Keempat, kurangnya sumber daya manusia pembina teater.
Melalui artikel sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa saran dan masukan demi kemajuan kehidupan teater pelajar di Mojokerto. Pertama, tiap kelompok teater pelajar memiliki email. Bermula dari email akan dilanjutkan dengan aktivitas pembuatan blog, akun di facebook, twitter dan gabung di milis teater. Informasi kegiatan festival teater maupun naskah teater dapat dikirim soft copynya lewat email. Murah dan lebih efisien. Kedua, mengadakan workshop teater untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Lidhie Art Forum Mojokerto, sebuah komunitas gabungan teater pelajar di Mojokerto, beberapa kali mengadakan workshop teater bagi teater pelajar. Beberapa narasumber yang pernah menjadi pemateri adalah Zainal Abidin Domba (Jakarta), Herry W Nugroho (Jakarta), AGS Arya Dipayana (Teater Tetas Jakarta), Luhur Kayungga (Teater Api Indonesia), Kurniasih Zaitun (Komunitas Hitam Putih Padangpanjang Sumatera Barat), Ragil Sukriwul (Malang), Antok Agusta (Bangil), Andhy Kephix (Komunitas Suket Indonesia), Fatah (Surabaya), Rita Matu Mona (Teater Koma Jakarta), Kusworo Bayu Aji dan Retno Ratih Damayanti (Teater Garasi Yogyakarta), Bambang Prihadi (Teater Sahid Jakarta), Ical Siregar (Jakarta), Mijil Pawestri (Yogyakarta), Juma'ali (STKW Surabaya). Ketiga, mengadakan pementasan tunggal.
Membuat suatu pertunjukan karya teater memang membutuhkan energi yang besar dan menguras dana yang cukup banyak. Namun proses menyiapkan sebuah pentas merupakan praktek nyata dari seluruh materi teori yang telah diberikan dalam diklat dan workshop.
Saya mencatat hanya satu dua teater pelajar di Mojokerto yang telah mengadakan pentas teater tunggal, antara lain: Teater Senja 789 MTs Smesta 789 Brangkal Kabupaten Mojokerto mengangkat repertoar Robohnya Surau Kami karya AA Navis.
Keempat, mengikuti festival teater pelajar, jika pihak sekolah memberi ijin dan mendukung dana. Dengan mengikuti festival teater pelajar semisal yang diadakan Taman Budaya Jawa Timur, kelompok teater pelajar akan berinteraksi dengan berbagai komunitas teater pelajar lainnya, dapat saling sharing informasi maupun berbagi pengalaman.
Beberapa teater pelajar di Mojokerto yang cukup sering mengikuti festival teater pelajar antara lain: Teater Air SMAN 1 Bangsal meraih Penampilan Terbaik dalam Festival Teater Pelajar di Unesa Surabaya; Teater Taman SMA Tamansiswa Mojokerto mengikuti Festival Cak Durasim di Taman Budaya Jatim di Surabaya; Teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto mengikuti Festival Teater Pelajar Nasional di IKIP PGRI Semarang tahun 2008 dengan naskah Orang Kasar, karya Anton Chekov sutradara Bagus Mahayasa, dan meraih predikat Penampilan Terbaik dalam Festival Monolog yang diadakan oleh Unisda Lamongan; Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto mengikuti Festival Teater Pelajar Nasional di IKIP PGRI Semarang tahun 2010 dengan naskah Lena Tak Pulang, karya Muram Batubara dengan sutradara Achmad Saiful Anam (Glewo).
Kelima, menonton pentas teater sesering mungkin sebagai referensi “visual”. Jika dana terbatas, ya.. cukup menonton dokumentasi pertunjukan teater semisal Teater Koma Jakarta yang menjual VCD dokumentasi pentas mereka yang rata-rata dijual seratus ribu rupiah pe-keping atau bisa pinjam ke sesama jejaring teater.
Keenam, banyak mengakses segala hal yang berkaitan dengan dunia teater semisal buku, naskah, katalog, foto, rekaman, poster. Semisal buku Nyanyian Lorong Gelap kumpulan dua naskah teater karya Bagus Mahayasa (Lidhie Art Forum), Teater Absurd karya Martin Esslin (Pustaka Banyumili, Mojokerto), Yuk Bermain Teater karya Hardjono WS (Desa Jatidukuh Kecamatan Gondang), Pengemis Itu (drama satu babak karya Anton de Sumartana, alumni SMA TNH Mojokerto), Sangkakala dari Timur (naskah Gatot “Sableng” Sumarno, Teater Kaca Mojokerto).
Demikianlah sebagian catatan kecil saya dalam mendokumentasikan dinamika teater pelajar di Mojokerto. Saya masih optimis bahwa teater pelajar akan berkembang lebih pesat di masa mendatang. Salam teater.
___________
*Achmad Saiful Anam (Glewo), penonton teater. Bergiat di Lidhie Art Forum Mojokerto dan Komunitas Pondok Jula Juli Mojokerto. Tinggal di Mojokerto.

Jumat, 21 Januari 2011

Puisi-Puisi Jurnal Jombangana

Puisi-Puisi Jurnal Jombangana, Nov 2010


Sabda dan Cinta

Oleh: Ali Subhan


glamor mata melihat gambarmu
menghayal jika ada hasrat membunuhku
mengabaikanmu adalah perjuangan terhebat dalam hidupku
hanya untuk merelakan jika dirimu bukan takdirku
bak lidah berlapis dua
bisa membawa cinta menjauh
bisa mengalirkan kebencian di setiap jaringan sel darah
seperti alam yang waktunya bisa berhenti
untuk memberikan ruang bagi dirimu
melihat jalan berembun…. membeku…. menetes ranting
seperti paruh meneguk air dari sumber padang pasir
mencari cahaya dalam sepi
membagi sendiri untuk sepi seperti tiada henti

tidak…. ini harus diakhiri…
tatap matanya telah melumpuhkan benang retinaku
keanggunannya adalah muslihat dibalik kerudungnya
sihir katanya memalingkanku dari hukum jagad raya
kebaikannya bermotif nafsu setan..
aku tidak ingin membagi selain denganNya
aku hanya butuh menggandengnya
untuk bersama menghiba dikaki kekuasaanNya
_________

Amanda Al Kautsar, 2008

Oleh: Robin Al Kautsar

telah lahir anakku yang kedua
ponsel se-dunia menuju ke arahku
“Eureka!”

seperti kakaknya
segera kubawa ia ke mihrab nabi
“Ya Tuhan
jadikanlah pula manusia ini
pembela risalahMu”

di bawah lengkung masjid yang sepi
di 17 anak tangganya yang gagah
para malaikat sudah menunggu
dengan seruling, rebana, harpa
tambur dan timphany
mereka beterbangan memainkan musik purba
“Selamat datang, wahai
kekasih Allah yang baru!”

keesokan paginya
marbut menemukan rangkaian mawar jingga
dan ia bertekad merahasiakannya

Jombang, 23 Juni 2008
__________

Merapi

Oleh: Yusuf Suharto

Lahar panasmu telah mengubah semuanya
Para makhluk dan juga manusia berlarian
Meenyelamatkan diri sebisanya

Siapakah yang tahu gejolak alam
Ketika memang telah ditentukan Tuhan

Wahai manusia
Siapakah yang sanggup menghindarkannya
Mayaat-mayat bergelimpangan
Dan tanpa perbedaan

Rasanya seluruh isi alam ikut menangis
Melihat fenomena hidup yang tak terkuasakan

Bukannya Tuhan itu kejam
Tetapi itulah kemestian
Betapapun pahitnya

Bahwa di balik kedukaan
Ada sejuta hikmah
Yang menuntun manusia menjadi berteguh iman
___________

Tanahku Bukan Milikmu

Oleh: Anjrah Lelono Broto

Bukankah setiap swara miliki gaungnya sendiri? Bukankah
tiap swara yang berdengung yang menyentak yang menjuntai niscaya
akan mencumbu buluh di rerimbun pring petung?
Begitu juga swaramu, anak-anakku.

Bukankah setiap mimpi miliki ujungnya sendiri? Bukankah
mimpi yang berkecambah yang meruah yang mengalir niscaya
akan tersimpan di laci memori pring petung?
Begitu juga mimpimu, anak-anakku.

Bukankah setiap rekah tanah miliki airnya sendiri? Bukankah
rekah tanah yang terlalu memberi ruang yang memberi dendang yang basah niscaya
akan mengubur akar, dahan, hingga dedaun pring petung?
Begitu juga dengan rekah tanah kelahiranmu, anak-anakku.

Berselang waktu,
rerimbun, laci, akar, dahan, hingga dedaun pring petung tersisa bongkah kisah
dalam masa indah tanah tumpah darah.
Berselang waktu, anak-anakku.

Swara-swaramu, mimpi-mimpimu, dan rekah tanah-tanahmu bersendawa dengan nestapa
persenggamaan berlebih tanah dan air. Dhapuran pring petung di sisi kanan
balairung rumah kita tinggal cerita lama terkubur buaian duka lumpur.
Lumpur menjengah telah merampas paksa semua yang berharga dalam hidup kita.

Girilusi, Mei 2010
_____________

Hujan Tadi Malam

Oleh: Zaenal Faudin

Hujan es semalam pecahkan genting
apakah kau dengar petir menyambar
pohon kelapa?
Daun jambu diam berwibawa:
“Kau hanya mimpi, anak muda.”
semalam petir menggelegar menyambar
pohon kelapa, pikirku

Tanah basah segar isyaratkan bahasa
pada kecambah yang semi pagi ini
“Hujan semalam bukanlah mimpi buruk,
hanya hati yang remuk serasa digiring
ke pembuangan Siberia.”

Aku berfikir, apakah tadi malam hujan es
jatuh pecahkan genting?

11 Desember 2007
__________

Rumput; Manfaat dan Kehinaanmu

Oleh : Lailatul Muniroh

Sungguh heran aku …
Kau tipis kecil …
Kau pun mudah tertiup angin
Kau begitu gampang dibabat
Karena kau berakar pendek dan lunak
Kau kesat
Kau begitu hina
Sejak lahirmu kau berada dibawah sandal para manusia
Kau begitu tak beraturan
Karena kau tumbuh dimana-mana
Usiamu pendek
Bagai bulu ketiak manusia yang mudah sekali dicabut
Bentukmu pun bermacam-macam
Hijau, kuning, coklat, violet
Kau mengkilat dedaunmu
Kau bercabang dan bertangkai
Meski begitu kau ciptaan Tuhan
Tiada yang menduga akan manfaatmu
Dengan manfaatmu …
Hewan ternak bisa memakanmu dengan lembut dan lahap
Bahkan manusia pun bisa memanfaatkanmu
Dan kau dapat juga sebagai penahan air
Karena warnamu hijau
Kau sungguh menyegarkan
Para mata yang memandang
Jika kau dijadikan taman di depan rumah
Sayang … kau kotor dan tak berbunga
Karena tempatmu dibawah sandal para makhluk yang lain

Sabtu, 15 Januari 2011

Esai Fahrudin Nasrulloh

Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya

Oleh : Fahrudin Nasrulloh*

Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu

Pada hari Jumat, 25 September 2009, ludruk Brawijaya ditanggap Bapak Supendik asal Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan. Hajatan Pak Supendik ini dalam rangka menyunatkan anak tunggalnya, Alvin Sugiyanto. Acara Khitanan sekaligus ruwatan dimulai bakda Jumatan dengan menampilkan paguyuban ''Cambuk Api" dengan tradisi "ujung"nya yang dipimpin Pak Pardi di Dusun Mbancang. Kelompok kesenian ''adu cambuk rotan" ini telah dirintisnya sejak tahun 1988. Hajatan itu kemudian diteruskan dengan wayang Purwakalan dengan menampilkan dalang Ki Kamim Sarpokenopo, dan malam harinya pementasan ludruk Brawijaya digelar dengan menampilkan lakon ''Wewe Putih Gandrung" yang disutradarai Sawi Gembel.

Sebagaimana biasanya, lawakan ludruk yang dipentaskan merupakan sajian paling memikat yang ditunggu-tunggu penonton. Sekitar seribuan penonton membludak dan berdusel-duselan. Puluhan penjual dari pedagang plembungan sampai Soto Lamongan terjejer panjang dari rumah penanggap hingga memanjang ke timur jalan. Pelawak Memet asal Kecamatan Kabuh, Jombang tampil pertama dengan jula-julian dansalawatan. Lalu menyembullah Wak Jambul asal Tuban yang langsung diteter Memet dengan guyonan dan tebak-tebakan. Ini mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Dua pelawak lantas nongol, Ciplis dan dan Wulung dengan "dagelan bacokan" yang sontak membikin Wak Jambul keringetan karena ditotol berkali-kali oleh kawan-kawannya tersebut. Sungguh gembira, betapa masih saja ada bocah-bocah kampung yang terpukau dan cekakakan saat mereka asyik-larut dalam gojekan dagelan itu dan melupakan tayangan Tawa Sutra, Segeerrr, OKB dan sinetron-sinetron TV yang cengeng dan menumpulkan otak itu. 

Perjalanan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah

Ludruk Brawijaya yang bermarkas di Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, didirikan pada 16 Mei 2008 oleh Pak Mulyono dan disokong kakaknya, Abdul Fatah. Pak Mul, demikian panggilannya, lahir 7 September 1966 di Desa Pandanarum. Pada umur 19 tahun, yakni tahun 1985. Dia tertarik menyimak klenengan seni ludruk di paguyuban ludruk Sapta Mandala di Desa Centong, Kecamatan Gondang, yang saat itu dikelola oleh Pak Fatah. Sapta Mandala tidak berumur lama. Tahun 1988, ludruk ini bubar karena pengelolaannya yang bersifat organisasi, tidak berjalan dengan baik.

Pada 1987, Pak Mul bergabung dengan ludruk Sari Wijaya dari Ngoro yang dipimpin oleh Pak Rodal. Ia terus menimba pengalaman ngludruk ke banyak grup ludruk, terutama di bidang pemeranan atau penokohan yang selanjutnya ia dikenal sebagai sutradara ludruk. Sari Wijaya kemudian pecah, dan muncullah pecahannya yang bernama ludruk Perdana yang diketuai oleh Eko Supeno. Pak Mul memilih ikut ludruk Perdana dari tahun 1990 sampai 2007. Perjalanan tanggapan juga tobongan ludruk ini telah merambah dari kota ke kota seperti Malang, Surabaya, Jombang, dan Mojokerto sendiri. Ia juga sering di-job ludruk Sidik Cs, baik sebagai pemeran lakon maupun sutradara, dari tahun 1990 hingga tahun 1996.

Lahirnya ludruk Brawijaya jika dirunut bermula dari ludruk Mulya Budaya yang dirintis Abdul Fatah pada 16 Mei 2007. Sempat nama Mulya Budaya diganti nama dengan sebutan ludruk Gajah Mada. Namun ludruk ini tidak bertahan lama karena beberapa hal, lalu Pak Mul berinisiatif membentuk ludruk sendiri yang selanjutnya dirembug dengan Pak Fatah. Pak Mul berkeyakinan bahwa kemandirian dan kesolidan sebuah grup ludruk itu penting. Pendanaan dan pengaturan serta pengelolaan merupakan hal mendasar yang musti secara interen dimiliki oleh setiap grup ludruk. Dengan modal sekisar 70-an juta, ia dan dengan dukungan Pak Fatah mendirikan ludruk Brawijaya pada 16 Mei 2008. Perjuangan dan kecintaan mereka akan ludruk tampaknya semakin menguat dan terus mereka jalani sebagai bagian hidup mereka dalam berkesenian. Nama ''Brawijaya" yang dipilih menjadi satu pertanda bagaimana mereka ingin mengangkat nama Mojokerto dengan simbol-simbol kejayaan kerajaan Majapahit.

Selama setahun lebih, ludruk ini dibentuk hingga sekarang, tak kurang dari 100-an tanggapan terop yang mereka peroleh. Ini merupakan suatu prestasi yang gemilang. Kendati dalam setiap tanggapan yang rata-rata bernilai Rp 7 jutaan itu mereka seringtekor (merugi) sampai harus tombok (menalangi) sekitar 1 jutaan. Hal ini karena mereka belum sepenuhnya memiliki sarana dan peralatan transportasi ludruk yang layak. Semisal mereka belum punya inventaris berupa sound-system, satu set gamelan dan truk. Kondisi yang serba pas-pasan ini sejak awal telah disadari Pak Mul dan Pak Fatah. Lalu bagaimana mereka masih terus bisa eksis dengan kondisi yang demikian? Tujuan Pak Mul yang terpenting adalah sejauh mana masyarakat dapat mengenal dengan baik ludruk Brawijaya.

Yang kedua terkait dana talangan yang justru dirogoh dari kocek pribadi mereka sendiri. Keguyuban warga ludruk ini juga menyadari kondisi ''mepet" mereka. Maka kerap kali honor mereka rela dipotong 10 persen sampai 25 persen untuk melengkapi dana talangan itu. Semisal untuk bayaran kelas A (pelawak) Rp 300 ribu, kelas B (tokoh peran): 150 ribu, kelas C (gontok, sinden, dan wiyogo, dll) Rp. 50 ribu sampai 100 ribu. Mereka ikhlas dipotong dengan prosentase itu. Meski begitu, kesetiaan mereka dalam bentuk kedisiplinan dalam setiap tanggapan ludruk Brawijaya tetap terjaga, kecuali memang kala ludruk ini tidak ditanggap, para awak ludruk bisa saja ikut grup ludruk lain yang mentas.

Ludruk Brawijaya yang beranggotakan 63 orang, terdiri dari Wayang (tokoh peranan): Sugi, Sulkan, Wandi, Said, Wol, Kastam, Sumadi, Cahyo, Didit, dan Mondro. Tandak terdiri dari: Riska, Mamik, Rara, Dina, Menik, Diah, Mintuk, Candra, Mei, Anik, Daripah, Tini, Susi, Kesi, Tina, Suliati, dan Nuryati. Para gontok: Sariman, Edi, Juni, Yuli, dan Anam. Sinden: Sukeni. Para panjak: yang terdiri dari grup Suwari CS adalah Bambang, Warsito, Santriman, Sarno, Poniran, Ngarso, Kumadi, Sarno, dan Antok. Penata dekorasi: Sonto CS. Sound system: Fata Cs. Ketua juru gamelan: Gembur Cs. Kekompakan awak ludruk ini sungguh benar-benar diperhatikan oleh Pak Mul, lebih-lebih ia pun berpikir keras akan kesejahteraan mereka di kemudian hari. 

Sosok Pak Mul sebagai seniman ludruk yang sekaligus bekerja sebagai perangkat desa di desanya sendiri telah mampu menghidupi istri dan membesarkan anak-anaknya dari penghasilan di dunia ludruk. Ia beristri Supiyatun (lahir 14 Juli 1967), sedangkan anak-anaknya: Dian Aprilia (lahir 13 Februari 1992, dari istri pertamanya bernama Fatimah yang pernah ikut grup ludruk Baru Budi), Lia Mulyana (lahir 1 Oktober 1992), Dwiki Indra Lesmana (lahir 10 Oktober 1996). Dua anak yang terakhir ini berasal dari istrinya, Supiyatun. Sebagai sutradara, Pak Mul tetap berupaya menggali kreativitas dalam menciptakan lakon-lakon ludruk, di antaranya adalah lakon: ''Tebu Berduri" yang tokoh utamanya Bajuri, ''Golok Setan", ''Pendekar Gunung Sumbing", dan yang terakhir yang sedang digarapnya adalah ''Rebutan Ajining Sandal Jepit" yang mengangkat kehidupan wong cilik yang berdesak-desakan memperjuangkan pencairan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang beberapa bulan yang lalu ramai diperdebatkan masyarakat Indonesia yang melarat dan terpinggirkan.

Sementara, sosok Abdul Fatah yang lahir pada tahun 1955, menerjuni kesenian ludruknya berawal dari mengikuti wayang kulitnya Pak Leman dari Japanan pada tahun 1969. Lalu ia masuk grup ludruk Irama Baru dari Sidoarjo yang disokong oleh Pak Yassin dari KODIM 0816 Sidoarjo yang selanjutnya pimpinan rombongan ludruk ini diurus oleh Pak Dono. Selama 10 tahun ia bergabung dengan ludruk ini, dari tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahun 1980 hingga tahun 1985 ia bergabung dengan ludruk Massa Baru dari Jombang yang saat itu dipimpim Pak Akhmad dari Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh. Lalu, tahun 1985 sampai 1987 ia masuk grup ludruk Sari Murni Jombang yang dipimpin oleh Pak Gimin dan Pak Kusnan. Selanjutnya ia mendirikan ludruk Sapta Mandala yang eksis dari tahun 1987 sampai 1992. Selain itu ia pernah terlibat dalam siaran ludruk RRI Surabaya (1992-2002), juga pernah di ludruk Karya Baru Mojokerto (2002-2007), dan yang terakhir ia bersama adiknya, Pak Mul, mengembangkan ludruk Brawijaya sejak 16 Mei 2008 hingga sekarang.

Selain sebagai pendamping Pak Mul, mata pencaharian Pak Fatah terbilang tidak jauh dari pernak-pernik di seputar dunia ludruk. Ia merupakan teknisi panggung, pembuat peraga kewan-kewanan (berbagai kostum yang berbentuk aneka macam binatang sesuai lakon ludruk yang dipilih), busana ludruk, busana manten dan tari, busana travesti, dan lain-lain. Usaha ini ia kembangkan di rumahnya bersama keluarganya dan pula tetangganya. Banyak juga pesanan dari berbagai kalangan baik dari grup-grup ludruk maupun dari masyarakat umum. Setiap busana seperti busana pengreman, yang mengandalkan ketelatenan tangan itu, ia kerjakan selama sebulan dengan ongkos pesanan 1 juta hingga 1,5 juta. Meski penghasilan ngludruk tidak seberapa, justru darihome industry inilah Pak Fatah dapat membahagiakan istrinya, Sri Muliyah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana: Eko Siswodiono (lahir 1980), Irfan Dwi Efendi (lahir 1983, kini dosen SHS bidang perhotelan dan staf inti di Hotel Sangrila Surabaya), dan Triyuda (lahir 1992) yang masih berkuliah di jurusan Informatika Unesa Surabaya.

Ludruk Brawijaya di antara 10 grup Ludruk Lain

Menurut Pak Mul, di Mojokerto telah sejak lama bercokol banyak grup ludruk. Ada sekitar 160-an grup. Tapi kondisi tiap grup ludruk sebagaimana perkembangan jaman terus bergulat dan bertarung dengan hiburan lain terutama ketika muncul televisi swasta di tahun 1990-an yang kian menambah surutnya apresiasi masyarakat khususnya di Jawa Timur terhadap ludruk. Kini, pemerintah kabupaten, semisal di daerah Mojokerto, Jombang, dan lain-lain menerapkan sebuah aturan dalam bentuk ketertiban grup-grup ludruk agar lebih dapat diakomodasi dan diidentifikasi keberadaannya. Penerapan ini semacam pengidentifikasian induk organisasi atau kepemilikan suatu grup ludruk, sebagaimana juga jenis kesenian lain semisal grup orkes dangdut, karawitan, wayang, dan lain-lain.

Dengan adanya ketertiban tersebut di mana setiap grup ludruk harus didaftarkan di kantor dinas Porabudpar setempat, maka, menurut Pak Mul, dari keseluruhan grup ludruk di Mojokerto yang kini tercatat dengan nomor induknya masing-masing berjumlah 10 grup ludruk. Mereka adalah ludruk Brawijaya, ludruk Karya Budaya, ludruk Karya Baru, ludruk Teratai Jaya, ludruk Indah Wijaya, ludruk Cakra Wijaya, ludruk Gelora Budaya, ludruk Karya Mukti, ludruk Sekar Budaya, dan ludruk Among Budaya Roman Cs.

Tak dipungkiri bahwa setiap ludruk di era sekarang saling berpacu untuk meluaskan pengaruh dan tanggapannya dengan sajian-sajian yang inovatif dan dioptimalkan jaringan publikasinya agar tidak disoraki sebagai ludruk yang asal manggung dan karenanya bakal mengecewakan penonton. Ludruk Brawijaya juga tak ingin ketinggalan. Untuk bulan September dan Oktober 2009, mereka telah mengantongi terop sekitar sepuluhan. Angka ini sudah terbilang bagus dibanding sejumlah ludruk lain yang mungkin sejumlah itu, atau sepi sama sekali, atau bahkan lebih banyak dari itu. ''Jika ada ludruk yang sepi tanggapan, itu karena orang-orangnya sendiri yang malas nyari tanggapan. Semua awak saya juga bergerak mencari terop. Ono dino ono upo, ada tanggapan ya ada upah!" demikian seru Pak Mul pada anggotanya.

Catatan: Wawancara dilakukan pada Jumat malam, 25 September 2009 dengan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah di Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan.

--------
*) Fahrudin Nasrulloh, Peminat ludruk dari Komunitas Lembah Pring Jombang