Sabtu, 23 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa @ Dimuat SERAMBI BUDAYA RADAR Mojokerto, Minggu, 17 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa

Oleh : Jabbar Abdullah*

Kurang lebih pukul 08.50 Wib, rombongan Tim Indonesia Art Contemporary Network (iCAN) yang terdiri dari Afrizal Malna, Titarubi, Antariksa dan Stephanie Goeltom (Puni), tiba di area Kantor PEMKAB Jombang untuk kemudian menuju lantai dua tempat AULA Bung Tomo berada. Awal kali memasuki pintu menuju ruang diskusi, tim iCAN mendapat suguhan awal berupa pameran fotografi dari Jombang Fotografer Community (JFC). Naik ke lantai dua, kembali mendapat suguhan pameran seni rupa dari Komunitas Pelukis Jombang (KOPI Jombang).

Sebelum kedatangan tim iCAN, suguhan paling awal untuk pengantar menuju diskusi, kelompok musik SKETIKA telah terlebih dahulu hadir dan melagukan beberapa lagu. Kedatangan tim iCAN langsung disambut oleh Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) yang ditemani oleh Cak Nasrul Ilah dan Inswiardi (moderator), Fahrudin Nasrulloh (narasumber teater), dan Khoirudin (narasumber senirupa).

Jombang menjadi tuan rumah kelima dalam rangkaian Road Show Forum Teater dan Seni Rupa Jatim, setelah Malang , Jember, Surabaya dan Mojokerto. Acara ini adalah hasil kerja bareng antara iCAN dan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) yang didukung oleh Komunitas Lembah Pring,  Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Suwarna Art Space (SAS), Perhutani dan beberapa donator dari instansi swasta di Jombang. Secara resmi, diskusi dimulai sekitar pukul 10-an. Sesuai rundown acara, pembukaan dibuka oleh saudara Bakir (Komunitas Tombo Ati). Satu-persatu runutan acara dibacakan. Seusai pembukaan, Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) selaku "shohibul hajat" dipersilahkan memberikan sambutan. Selanjutnya MC menyerahkan waktu sepenuhnya kepada moderator diskusi.

Moderator mulai beraksi. Cak Nasrul Ilahi memberikan gambaran awal tentang kondisi teater dan seni rupa Jombang. Disusul kemudian oleh Inswiardi. Ia mengawali dengan menyuarakan dialog besutan, baru kemudian memulai diskusi. Acara berlambar “Launching, Diskusi Teater dan Seni Rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi” ini dihadiri kurang lebih seratusan peserta, yang terdiri dari banyak atribut. Di antaranya, birokrasi (Perhutani), Pengusaha, guru-guru MGMP Seni-Budaya, Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Desain Grafis, pelajar dan mahasiswa, serta pegiat dan komunitas teater di Jombang dan di luar Jombang. Dengan kata lain, keterlibatan telah terjadi.

“Diskusi ini sengaja didesain oleh panitia untuk tidak hanya dimiliki oleh pelaku teater dan seni rupa. Panitia berkehendak diskusi ini menjadi milik dan kebutuhan bersama atau lintas disiplin”, ujar Imam Ghozali AR , selaku ketua panitia dan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jombang.

Imam Ghazali AR menambahkan, kegiatan ini menurutnya menarik untuk mulai merajut jejaring seni dan budaya lebih istiqamah, mengingat kita berada di ruang era jejaring.

“Saya pikir teman-teman Jombang mesti mengisi “ruang kosong” tersebut agar tidak terjebak dalam “chauvinisme lokal kekanak-kanakan” yang dapat memunculkan “rasa serba hebat””, imbuhnya, sembari menyulut rokok Dji Sam Soe kretek.

Berangkat dari situlah kemudian panitia memilih narasumber, utamanya teater, orang yang bukan pegiat teater, namun memiliki perhatian terhadap peristiwa teater yang tumbuh dan berkembang di Jombang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan “pembacaan yang lain” atau –dalam istilahnya Fahrudin - “mata lain” terhadap teater. Panitia akhirnya menunjuk Fahrudin Nasrulloh (Pegiat Komunitas Lembah Pring, Jombang) yang kesehariannya bergulat di ranah sastra namun juga punya perhatian yang cukup terhadap teater di Jombang, baik teater modern maupun tradisi, ludruk.

Secara sederhana, Afrizal Malna mengatakan : “Setiap saat kita menemui teater. Di kamar mandi kita bertemu teater industri, teater pasar hanya lewat sabun yang kita gunakan untuk kita mandi. Di sekolah ada teater pendidikan. Di politik malah lebih banyak lagi teater. Ada kampanye, macem-macem… Teater pertama menjadi penting kalau teater kedua lahir. Kalau teater kedua tidak lahir berarti ada persoalan dalam bagaimana teater itu diproduksi."

Mengenai "pembacaan yang lain" terhadap bukunya Afrizal Malna, dalam paragraf kedua makalahnya yang berjudul “Yang Berjalan dari Kuburan Teater ke Kuburan Fiksi”, Fahrudin menulis : "Hal penting dari kehadiran buku Afrizal Malna Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata ini adalah bagaimana ia melihat dengan “mata lain” sebuah pertunjukan teater yang telah ditontonnya selama kurang lebih 12 tahun. Sebagai seniman teater yang pernah terlibat di Teater Sae, ia juga adalah penyair yang sudah dikenal luas dalam dunia sastra Indonesia . Pertama, saya melihat buku ini merupakan sebuah catatan tajam dengan berbagai perspektif sosiologis maupun antropologis, dan oleh sebab itu pembaca, sebagai “teater ketiga”, tidak semata melihatnya sebagai hasil reportase, namun lebih dari bagaimana kita diajak memasuki cara Afrizal menonton teater yang kemudian disebutnya sebagai “teater kedua”.

“Singkatnya, kita diajak menonton ulang dan membaca oleh Afrizal Malna seluruh peristiwa teater yang disalin dalam buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, yang ditulisnya kurang lebih selama 15 tahun,” komentar Syaiful Anam “Glewo”, pegiat teater Lidhie Art Forum Mojokerto dan Komunitas Pondok Jula Juli yang datang bersama kawannya dari Balai Belajar Bersama Banyumili.

Berbeda dengan Fahrudin, narasumber seni rupanya, "pyur" menggeluti seni rupa. Eko Utomo selaku ketua Komite Senirupa DeKaJo, menunjuk Khoirudin yang saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2 nya di ISI Yogyakarta . Dalam paparannya, Khoirudin lebih menekankan pada upaya bagaimana seni rupa di Jombang bisa turut ambil bagian dalam peta seni rupa, minimal di Jawa Timur. Dari sini dapat disimpulkan sementara, bahwa di sinilah pentingnya untuk segera membangun jejaring, melalui media apapun.

Terkait dengan media, Titarubi, yang sudah 20 tahun menjadi perupa, juga menguraikan gagasannya dalam berkarya yang jangan hanya berhenti pada media canvas. Seni rupa bisa dirupakan dalam banyak media. Dalam durasi 15 menit-an, Titarubi memberikan beberapa tawaran terkait dengan pengelolaan media untuk seni rupa. Ia menampilkan beberapa karya-karyanya yang didominasi seni rupa instalasi. Tiga di antaranya berupa patung berkepala gundul yang berhias kaligrafi, rangkaian manik-manik yang berwujud gaun yang dijadikan kostum tari, dan karya berjudul “Sebuah Pohon Kecil di dalam Rumah yang Belum Selesai”.

"Seni rupa seperti juga bahasa. Adalah menyalin penglihatan ke dalam gambar, ke dalam bentuk. Ia bisa jadi gambar-gambar dalam bentuk apapun," jelas Titarubi yang mempresentasikan materinya dengan menggunakan bantuan proyektor.

Di akhir sesi, giliran Antariksa yang mengudal pentingnya membangun jejaring (network) dalam berkesenian. “Seniman dan kesenian tidak dapat berdiri atau menopang dirinya sendiri. Ia membutuhkan penyanggah untuk menopang dirinya. Ditopang dengan membangun hubungan-hubungan dan jejaring lintas disiplin yang lain,” ujarnya.

Panitia juga “menyisipkan” gerakan Koin Sastra untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang kondisi “kesehatannya” sedang krisis dan terancam mati.

“Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan hanya sekadar pusat dokumentasi, tapi juga gambaran peradaban sebuah bangsa. Alhamdulillah. Bukunya mas Afrizal juga mendapat apresiasi yang luar biasa. Untuk penjualan di tempat, laku 8 eks. Panitia juga membeli secara khusus 10 eks. Sementara Koin Sastra berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 1.865.350,-. Untuk penyerahannya akan kita titipkan kepada tim iCAN,” ungkap Agus Riadi.

__________

Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Geladak Sastra, Community Culture, dan Perluasan Apresiasi Sastra | Dimuat Serambi Budaya Radar Mojokerto, 10 April 2011

Geladak Sastra, Community Culture, dan Perluasan Apresiasi Sastra

Oleh : Nanda Sukmana*

            Tiba – tiba saya ingin menulis tentang apa saja yang berkaitan dengan Geladak Sastra. Entah, motif apa yang mendorong saya untuk menulis forum diskusi sederhana yang rutin dihelat Komunitas Lembah Pring ini sejak 28 Maret 2010. Selama itu pula mereka telah menggelar diskusi sastra sebanyak 16 kali. Itu berarti diskusi digelar pada setiap bulannya, sasampai beberapa minggu terakhir diskusi gencar dilakukan. Adalah Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah sebagai lurahnya _ lah yang menggawangi lahirnya forum diskusi yang rata – rata dihadiri 20 hingga 30 – an orang pada setiap sesinya.

Baiklah, perkenalan saya dengan mereka pertama kali saat rekan – rekan Komunitas Tombo Ati mementaskan lakon Lebedinaya Pesna (Anton Chekov) di Gedung Bioskop Plasa, Sabtu, 10 Mei 2008. Saat itu, Jabbar mengenakan kaos tipis, saya lupa warnanya dan memakai kupluk sleret – sleret atau hitam polos yang selalu dipakainya sampai saat ini. Dan sampai sekarang Jabbar masih kelihatan cungkring. Beda lagi dengan Fahrudin kalau dulu kecil kurus, sekarang badannya bohai. Celananya pas sesak. Yang tak berubah hanya brengosnya nyrongot – nyrongot. Nah, pascaperkenalan itulah saya mulai mengenal tulisan – tulisan Fahrudin yang dahsyat, sedangkan Jabbar, lama kelamaan mulai mengikuti jejak Abdul Malik, networker kebudayaan dari mojokerto yang sangat militan.

Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah saya harus mengapresiasi kerja keras mereka berdua. Mereka itu seperti martil – martil yang siap memalu siapa saja, tak lain dan tak bukan demi terbukanya ruang perluasan apresiasi sastra di Jombang khususnya. Bahwa intensitas perluasan sastra harus dipercepat oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja, begitu kira – kira saya membaca pikiran mereka. Senyata – nyata Komunitas Lembah Pring telah menjadi magnet bagi munculnya komunitas – komunitas sastra di Jombang, sehingga senyata – nyata pula perkembangan sastra di kota kecil ini sepertinya tengah mengalami fenomena menggembirakan, terutama berkait dengan kegairahan apresiasi dan penciptaan karya. Sama halnya ketika Komunitas Tombo Ati juga menjadi magnet bagi kelompok – kelompok teater di Jombang sejak 3 Agustus 1996. Meski relatif lama _ hampir 15 tahun, kelompok ini harus diakui telah memberikan kontribusi besar pada tumbuh kembangnya jagad teater Jombang. Alhasil, beberapa tahun terakhir banyak bermunculan kelompok – kelompok teater independent di ’’ibukota ludruk’’ ini _ meminjam judul jurnal sastra Jombangana, Komite Sastra Dekajo.  

Semakin maraknya ruang sastra di tengah – tengah masyarakat, tentu saja akan menghadirkan atmosfer tersendiri, terutama bagi munculnya media alternatif ekspresi publik guna mengimbangi mekanisasi sifat dan perilaku sebagai dampak dari industrialisasi di segala sektor kehidupan warga. Memang ide tersebut terkesan klise dan utopis bila kita melihat kembali kenyataan masih minimnya apresiasi sastra di level publik. Tapi justru di situlah tantangan yang harus dijawab oleh para pegiat sastra di Jombang. Dan saya pikir, Komunitas Lembah Pring sudah memulainya, meski terkadang untuk melihat kerja keras mereka begitu mengharukan sekaligus memilukan. Dengan sajian apa adanya, tikar digelar, intel datang, buku – buku dipajang hingga sesuatu dilahirkan, Fahrudin menyebutnya silaturahim dan pertemuan.    

            Lepas dari itu, salah satu strategi yang bisa diusahakan untuk membantu perluasan jejaring sastra di tengah – tengah masyarakat adalah penciptaan budaya komunitas (community culture). Secara sederhana konsep budaya komunitas bisa dimaknai sebagai bentuk usaha yang dilakukan secara intens dan terus – menerus yang akan memperkuat basis kesastraan di tataran komunitas. Komunitas di sini bisa dimaknai dalam dua kategori, yakni komunitas secara internal, berupa kelompok atau organisasi yang bergerak dalam apresiasi dan penciptaan karya sastra dan (baik di dalam atau di luar sekolah, pesantren, kampus) dan komunitas secara eskternal, berupa kelompok publik yang hendak dijadikan sasaran perluasan apresiasi sastra.

            Terbentuknya beberapa komunitas sastra di Jombang, harus dianggap sebagai gejala positif yang akan menggiring sedikit pandangan publik terhadap eksistensi sastra yang selama ini kurang mereka perhatikan. Guna memperteguh pandangan itu, komunitas sastra, secara internal, mesti melakukan pematangan – pematangan dalam proses tertentu yang didukung beberapa orientasi.

Pertama, orientasi apresiatif, berupa penguatan wacana untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, baik puisi, cerpen, novel, atau drama. Pemahaman apresiatif terhadap sebuah karya akan mengarahkan anggota komunitas pada keragaman makna karya sehingga akan memunculkan perdebatan dalam lingkaran diskusi yang akan semakin mematangkan pemaknaan mereka terhadap sastra, di samping untuk mengisi kebutuhan batin.

Kedua, orientasi penciptaan, berupa workshop dan pendampingan dalam menciptakan sebuah karya. Semakin banyaknya karya yang dihasilkan oleh para anggota sebuah komunitas, sesederhana apapun bentuknya, akan semakin menambah semangat kreatif. Yang perlu diingat adalah kesadaran untuk memberi dan menerima kritik karena itu akan berguna dalam pembentukan jati diri karya. Bagi kalangan penulis pemula, apresiasi di komunitas akan memunculkan rasa percaya diri ketika harus berhadapan dengan publik yang lebih luas.

            Langkah berikutnya ketika budaya apresiatif dan penciptaan sudah terbentuk adalah bentuk usaha untuk memperluas komunitas penikmat sastra. Selama ini, diakui atau tidak, penikmat sastra masih terbatas pada mereka yang berbasis pendidikan, meski juga sangat terbatas. Khalayak di luar basis pendidikan juga mesti disapa, karena hal itu akan membantu sosialisasi makna humanitas sastra.  

            Untuk menggagas publik yang lebih luas, komunitas sastra harus mampu melakukan pembacaan awal terhadap kemungkinan-kemungkinan tentang karakteristik calon penikmat yang dibidik. Memang langkah ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa dan sedikit usaha publikasi yang tidak mudah. Para pegiat sastra komunitas harus mampu meyakinkan mereka bahwa acara yang akan mereka hadiri mempunyai daya tawar tersendiri.

            Diskusi sastra dan seni rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi yang dihelat di ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Minggu (10/4) merupakan strategi cerdik guna menyosialisasikan humanitas sastra bagi khalayak, apalagi konon sebagai pengulas buku Perjalanan Kedua : Antologi Tubuh dan Kata karya Afrizal Malna adalah Bupati Jombang. Dan menurut saya, ini baru luar biasa. Tambah luar biasa ketika acara tersebut juga dihadiri oleh penjabat – penjabat pemkab yang lain, direktur perbankan, pengusaha – pengusaha kaya, petani, pedagang, buruh pabrik, guru, dosen, semuanya tumplek blek di sana. Dan lagi – lagi Komunitas Lembah Pring menjadi salah satu penggagas di belakangnya. Mereka berhasil menjaring, memikat, dan memaksa munculnya sinergitas antarlintas komunitas, pemerintah, swasta, semoga media juga, meskipun dalam konteks itu peran pimpinan Dekajo yang bersahaja juga tak kalah cerdiknya dan harus diperhitungkan.

            Dan jika keberadaan kondisi ini dapat terus bertahan dan meluas akan semakin mendorong terciptanya kerja budaya antarkomunitas lintas disiplin ilmu yang saling silang memberikan gagasan – gagasan inovatif terhadap keberlangsungan masa depan berkebudayaan kita.

Terakhir, jika ingin membangun sebuah wilayah sastra yang kondusif, tentunya harus dibarengi dengan penciptaan budaya komunitas, sehingga suatu saat akan tercipta dinamika. Dan dinamika harus dimaknai sebagai pergesekan karya yang positif. Dan sesungguhnya, untuk itu, saya berharap bahwa Geladak Sastra selalu menjadi lembah kreativitas, berbagi dan berkomunikasi bagi para anggota dan masyarakatnya. Entah sampai kapan. Perlu uji waktu.

Lalu bagaimana kabar gedung kesenian? ’’Gak onok hubungane kalee guk,’’ seorang teman berseloroh dari pinggir meja kerja saya.
_________
*Manajer Artistik Komunitas Tombo Ati, bekerja sebagai staf pengajar di STKIP PGRI Jombang.

Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011 | CATATAN KECIL TEATER PELAJAR DI MOJOKERTO

Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011
CATATAN KECIL TEATER PELAJAR DI MOJOKERTO
Oleh : ACHMAD SAIFUL ANAM*

Minggu, 27 Februari 2011 sekitar jam 4 sore saya mendapat sms dari Cak Chamim Kohari yang mengabarkan bahwa Minggu malam ada pementasan teater hasil workshop dari pelajar yang juga santri di Pondok Pesantren Darul Falah Jerukmacan Kecamatan Gedeg. Segera saya jemput Cak Abdul Malik di perpustakaan Banyumili di Kampung Kradenan dan meluncur ke balai desa Japanan Lor tempat kegiatan berlangsung. Sesampai di lokasi, pentas sudah dimulai dengan baca puisi secara bergantian dari peserta workshop. Pentas hasil workshop pun dimulai. Terbagi menjadi 5 kelompok pemeranan, masing-masing: kelahiran, tanah, api, perang dan perdamaian. Meskipun cukup dominan dengan teater gerak dan minim dialog, namun jalan cerita cukup mudah diikuti. Seusai pementasan Cak Chamim Kohari selaku kepala sekolah, mengatakan bahwa pementasan tersebut merupakan hasil dari workshop teater yang diadakan oleh pihak pondok pesantren selama 3 hari dari tanggal 25-27 Februari 2011. Sebagai pemateri adalah Dody Yan Masfa, dari Teater Tobong dan Teater Doyan Rondo, Surabaya. Sementara itu Dody Yan Masfa, di sela sela memberikan materi workshop tak lupa mengabarkan ke jejaring komunitas teater lewat statusnya di akun facebook Teater Tobong.
Semangat untuk lahir dan berapresiasi didunia teater tampak diwajah santriwan-santriwati, dalam sesi diskusi yang digelar sesuai pementasan hasil workshop teater. Sebagian besar menyatakan kegembiraan ketika pertama kali berakting di panggung. Demikianlah gambaran awal dan kekinian kehidupan teater pelajar di Mojokerto.
Pengalaman berikutnya dalam mendokumentasikan pentas teater yang cukup berkesan adalah di even “ SCREAM” (Sooko’s Creativity Art and Music) pada hari Jum’at tanggal 4 Maret 2011. Digelar oleh SMAN Negeri 1 Sooko Kabupaten Mojokerto. Peserta kategori teater sebanyak empat grup teater pelajar.
Pementasan pertama dari Teater Payung Hitam SMAN 1 Sokoo Mojokerto dengan naskah Gelap, karya dan sutradara Edy Subianto selaku pembina Teater Payung Hitam. Kedua oleh Teater Incanda Mirror Theater dari SMAN 2 Kota Mojokerto dengan naskah Pengaduan Topeng, karya dan sutradara Andrian Dwi Cahyono (Chigusa Modjo). Ketiga oleh Teater Bintang dari SMAN 1 Mojosari naskah Amarah, karya dan sutradara M. Nur Badri (Mamack). Sajian terakhir oleh Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto yang mengusung naskah Safa, karya Agus Jombang dan disutradarai oleh Bagus Yuwono (Mahayasa). Penampilan terbaik pertama diraih oleh Teater Bintang dari SMAN 1 Mojosari. Dalam amatan saya, panggung pementasan kurang maksimal karena sepanggung dengan Festival Band yang juga merupakan bagian dalam rangkaian kegiatan “SCREAM”. Meskipun demikian, beberapa peserta malah memilih pentas di depan panggung band. Riuhnya sorak sorai antara peserta festival band dan penonton teater juga menjadi tantangan tersendiri dari festival teater kali ini. Adziani Heramurti (Hera) salah satu panitia dan ketua ekstrakurikuler Teater Payung Hitam SMAN 1 Sooko Mojokerto mengatakan, bahwa acara ini merupakan bukti kebangkitan teater pelajar di Mojokerto. Teater di Mojokerto dikatakan mati tapi tidak mati dan dikatakan hidup namun sepi pertunjukan. Untuk itulah, Teater Payung Hitam memberi ruang kepada teater pelajar untuk berekspresi untuk menunjukan bakat berteater dan kreativitas.
Dari dua peristiwa teater di atas, sementara saya simpulkan bahwa pelajar dan santri di Mojokerto masih meminati seni teater. Kesimpulan tersebut didukung juga dari catatan diagenda saya, ternyata masih sederetan teater pelajar yang masih bertahan. Antara lain: Teater Q-TA SMA PGRI I Kota Mojokerto yang pernah mementaskan musikalisasi puisi berjudul Indonesia, karya Hamid Jabbar dalam ajang Mojokerto art Festival (Moral) tahun 2009 di halaman Dewan Kesenian Kota Mojokerto; mengikuti Pekan Seni Pelajar se Kota Mojokerto tahun 2010 di SMAN 2 Kota Mojokerto dengan naskah Ande Ande Lumut dengan sutradara Saiful Bakri; menjadi panitia dalam launching Antologi Puisi Afrizal Malna di SMA PGRI 1 Kota Mojokerto (bekerja sama dengan Biro Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto); SMA Muhammadiyah Kota Mojokerto mengikuti Festival teater Pelajar se Jatim di Universitas Negeri Surabaya dengan naskah Wek Wek, karya D Djayakusuma dan sutradara Saiful Bakri; Teater Bintang SMAN Mojosari; Teater Air SMAN 1 Bangsal; Teater Incanda Mirror Theater SMAN 2 Kota Mojokerto; Teater Moeda SMAN 3 Kota Mojokerto; Teater Taman SMA Tamansiswa Mojokerto; Teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto; Teater Satya Wikusama SMAN Gedeg Kabupaten Mojokerto; Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto; Teater Payung Hitam SMAN 1 Sokoo Mojokerto; Teater Senja 789 MTs Smesta 789 Brangkal Kabupaten Mojokerto; Teater Kentrung SMAN Gondang Kabupaten Mojokerto.
Dari sederetan teater pelajar di atas, dapatlah saya rangkum beberapa hal: Pertama, Kurangnya informasi tentang even festival teater pelajar baik diadakan di Mojokerto maupun luar kota. Kedua, sebagian besar anggota teater pelajar adalah wanita sehingga cukup menyulitkan dalam memilih naskah. Ketiga, minimnya dana dari sekolah. Keempat, kurangnya sumber daya manusia pembina teater.
Melalui artikel sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa saran dan masukan demi kemajuan kehidupan teater pelajar di Mojokerto. Pertama, tiap kelompok teater pelajar memiliki email. Bermula dari email akan dilanjutkan dengan aktivitas pembuatan blog, akun di facebook, twitter dan gabung di milis teater. Informasi kegiatan festival teater maupun naskah teater dapat dikirim soft copynya lewat email. Murah dan lebih efisien. Kedua, mengadakan workshop teater untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Lidhie Art Forum Mojokerto, sebuah komunitas gabungan teater pelajar di Mojokerto, beberapa kali mengadakan workshop teater bagi teater pelajar. Beberapa narasumber yang pernah menjadi pemateri adalah Zainal Abidin Domba (Jakarta), Herry W Nugroho (Jakarta), AGS Arya Dipayana (Teater Tetas Jakarta), Luhur Kayungga (Teater Api Indonesia), Kurniasih Zaitun (Komunitas Hitam Putih Padangpanjang Sumatera Barat), Ragil Sukriwul (Malang), Antok Agusta (Bangil), Andhy Kephix (Komunitas Suket Indonesia), Fatah (Surabaya), Rita Matu Mona (Teater Koma Jakarta), Kusworo Bayu Aji dan Retno Ratih Damayanti (Teater Garasi Yogyakarta), Bambang Prihadi (Teater Sahid Jakarta), Ical Siregar (Jakarta), Mijil Pawestri (Yogyakarta), Juma'ali (STKW Surabaya). Ketiga, mengadakan pementasan tunggal.
Membuat suatu pertunjukan karya teater memang membutuhkan energi yang besar dan menguras dana yang cukup banyak. Namun proses menyiapkan sebuah pentas merupakan praktek nyata dari seluruh materi teori yang telah diberikan dalam diklat dan workshop.
Saya mencatat hanya satu dua teater pelajar di Mojokerto yang telah mengadakan pentas teater tunggal, antara lain: Teater Senja 789 MTs Smesta 789 Brangkal Kabupaten Mojokerto mengangkat repertoar Robohnya Surau Kami karya AA Navis.
Keempat, mengikuti festival teater pelajar, jika pihak sekolah memberi ijin dan mendukung dana. Dengan mengikuti festival teater pelajar semisal yang diadakan Taman Budaya Jawa Timur, kelompok teater pelajar akan berinteraksi dengan berbagai komunitas teater pelajar lainnya, dapat saling sharing informasi maupun berbagi pengalaman.
Beberapa teater pelajar di Mojokerto yang cukup sering mengikuti festival teater pelajar antara lain: Teater Air SMAN 1 Bangsal meraih Penampilan Terbaik dalam Festival Teater Pelajar di Unesa Surabaya; Teater Taman SMA Tamansiswa Mojokerto mengikuti Festival Cak Durasim di Taman Budaya Jatim di Surabaya; Teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto mengikuti Festival Teater Pelajar Nasional di IKIP PGRI Semarang tahun 2008 dengan naskah Orang Kasar, karya Anton Chekov sutradara Bagus Mahayasa, dan meraih predikat Penampilan Terbaik dalam Festival Monolog yang diadakan oleh Unisda Lamongan; Teater Samudra Illahi dari MAN Sooko Mojokerto mengikuti Festival Teater Pelajar Nasional di IKIP PGRI Semarang tahun 2010 dengan naskah Lena Tak Pulang, karya Muram Batubara dengan sutradara Achmad Saiful Anam (Glewo).
Kelima, menonton pentas teater sesering mungkin sebagai referensi “visual”. Jika dana terbatas, ya.. cukup menonton dokumentasi pertunjukan teater semisal Teater Koma Jakarta yang menjual VCD dokumentasi pentas mereka yang rata-rata dijual seratus ribu rupiah pe-keping atau bisa pinjam ke sesama jejaring teater.
Keenam, banyak mengakses segala hal yang berkaitan dengan dunia teater semisal buku, naskah, katalog, foto, rekaman, poster. Semisal buku Nyanyian Lorong Gelap kumpulan dua naskah teater karya Bagus Mahayasa (Lidhie Art Forum), Teater Absurd karya Martin Esslin (Pustaka Banyumili, Mojokerto), Yuk Bermain Teater karya Hardjono WS (Desa Jatidukuh Kecamatan Gondang), Pengemis Itu (drama satu babak karya Anton de Sumartana, alumni SMA TNH Mojokerto), Sangkakala dari Timur (naskah Gatot “Sableng” Sumarno, Teater Kaca Mojokerto).
Demikianlah sebagian catatan kecil saya dalam mendokumentasikan dinamika teater pelajar di Mojokerto. Saya masih optimis bahwa teater pelajar akan berkembang lebih pesat di masa mendatang. Salam teater.
___________
*Achmad Saiful Anam (Glewo), penonton teater. Bergiat di Lidhie Art Forum Mojokerto dan Komunitas Pondok Jula Juli Mojokerto. Tinggal di Mojokerto.