Selasa, 26 Juni 2012

KENDURI TEATER JOMBANG 
(30 Juni - 5 Juli 2012)



Mempersembahkan Pementasan Kelompok Teater Jombang

30 Juni 2012
KOMUNITAS SUKET INDONESIA

Pementasan “PET” (Diluar Masih Gelap)
Karya Andhi Kephix
Sutradara Andhi Kephix
Pukul 19.30 WIB

2 & 3 Juli 2012
KOMUNITAS TOMBO ATI JOMBANG

Pementasan “Beruang Menagih Hutang” (The Bear)
Karya Anton Pavlovich Chekhov
Sutradara Alfi Rizqoh
Pukul 19.30 WIB

4 & 5 Juli 2012
KELOMPOK ALIEF MOJOAGUNG

Pementasan Surya Terbenam Pagi—“Bapak, Pukullah Saya !”
Karya M.S. Nugroho
Sutradara M.S. Nugroho
Pukul 19.30 WIB

Tempat:
Gedung “Graha Besut” Suara Jombang
Jalan Pattimura No. 92 Jombang



Tiket Box:
Rp. 7.500; (1 pertunjukan) atau Rp. 15.000; (3 pertunjukan)

Contact Person:
Anton Wahyudi (085646230330)
Nanda Sukmana (081330751718)

Senin, 04 Juni 2012

Akar Historis Sastra Ludruk | ESAI RUANG PUTIH | JAWA POS | MINGGU: 3 JUNI 2012

:: Akar Historis Sastra Ludruk ::

Oleh : Fahrudin Nasrulloh*


...
Jangkrik upo
Jangkrik upo
Rupaku ganteng
Irungku ombo
(syair Cak Njoto)

Gagasan ihwal “sastra ludruk” mulanya mencoba mengungkai perkara di luar teks, pada ekspresi kehidupan orang-orang ludruk, pada tradisi oral yang membentuk komunitas kesenian yang berpijak pada daya cipta seni rakyat demi pengukuhan eksistensi rakyat itu sendiri dalam ruang sosialnya. “Bentuk dan isi” di dalamnya semisal pada parikan (syair rakyat di jalanan) yang hakikatnya adalah sebuah daya-budi untuk memaknai eksistensi dan historisitas mereka. Dari sinilah sejarah kesenian (ludruk) coba ditembus untuk pembacaan kembali dimensi sosial dan interaksi-interaksinya.

Sebagai cermin bandingan, karya-karya realisme magis di Amerika Selatan di abad 20 lahir dan berikhtiar membangkitkan eksistensi historis mereka. Bahwa ada “kenyataan ajaib” di dalam kesejarahan yang mereka miliki sebagai sumur imaji literer yang tiada habisnya. Dari sanalah tersimpan “suara lain” yang memberi warna bagi kesusastraan dunia. “Kenyataan ajaib” atau “lo real marafilloso” dalam istilah novelis Kuba, Alejo Carpentier, merasuki dan membangkitkan kesusastraan Amerika Selatan pada dasawarsa 30-an, dengan munculnya tiga pengarang: Alejo Carpentier, Miguel Angel Asturias, dan Jorge Luis Borges. Pandangan ini selanjutnya bergentayangan dan menghantui karya-karya realisme magis. Bagi Carpenteir, sejarah adalah suatu pencarian terhadap firdaus yang hilang, demi penebusan suatu identitas asali untuk masa depan.

Jika Amerika Selatan membangun sejarahnya dengan mitologi di medan keberkaryaan, yang serentak juga membongkar akar-akar yang terbenam di masa silam mereka, maka dunia ludruk yang lahir di Jombang pada kisaran 1900-an tak menghadirkan apa pun sebagai tilas selain semacam cerita-cerita penggalan: rombongan ngamen yang terdiri dari satu-dua atau lebih yang dimulai oleh Pak Santik, Pak Gangsar, Pak Pono dan Pak Amir yang berkeliling dari kampung ke kampung. Kini, ketika keberadaan ludruk terseok-seok di tepi modernitas dan sementara pola kehidupan kapitalistik-konsumeristik kian menumpulkan kesadaran berbangsa akan kebudayaannya dalam konteks Indonesia yang masih “terus menjadi” (istilah Y.B. Mangunwijaya), terlihat bahwa historisitas ludruk belumlah menjadi kesadaran kritis untuk memberi arti secara luas bagi khasanah kebudayaan bangsa.

Kita tahu bahwa kesusastraan merupakan wilayah eksperiman yang paling bebas di dalam bahasa. Maka lahirlah sastra fantasi, di mana teologi dan filsafat hanyalah cabang darinya, sebagaimana yang kerap diulas oleh kritikus Nirwan Dewanto dan Hasif Amini. Bagi mereka, ciri utama sastra fantasi sebenarnya mempersoalkan dan melakukan subversi terhadap apa yang disebut realitas, visi monologis, dan cara tunggal dalam mempersepsikan dunia. Dunia seakan ditafsiri kembali, digodok ulang kembali.

Sementara teologi, sejarah, alam supranatural, bahkan sejarah Tuhan dan penciptaan-Nya, jadi bumbu penyedap yang diproyeksikan semagis mungkin. Di abad 20 teks sastra fantasi kian berwatak non-referensial, dunia nyata “di luar teks” menjadi pertaruhan. Memulai ke sebentang arah: pencarian otonomi fiksional sebuah narasi. Sebuah sikap kosmopolitan yang ringan hati. Di Jawa Timur misalnya, karya-karya Suparto Brata yang berbahasa Jawa kendati kerap dicibir sebagian orang hanyalah karya si “tukang ketik” tanpa bobot, justru menjadi api spirit bagi sastra daerah di waktu mendatang.

Cerita daerah ataupun fiksi yang lahir dari lokal jenius merupakan salah satu kekuatan penyangga bagi identitas lokal yang musti dipertahankan. Karena sejarah itu bangkit bersamanya, suatu upaya menemukan kembali diri “manusia” lampau. Dalam sejarah China klasik hal itu dibuktikan dengan upaya pendokumentasian fiksi dan sejarah lokal yang telah berkembang bahkan sejak ratusan abad sebelum Masehi. Shuhui Yang dalam buku Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming: Kisah Belut Emas. Dikompilasi oleh Feng Menglon (1574-1646), diterjemahkan oleh Shuhui Yang dan Yunquin. (PT. Gramedia Pustama Utama, 2007, Jakarta) menyebutkan bahwa: “Salah satu ciri yang paling menarik dalam fiksi daerah China adalah ‘retorika penutur cerita’. Ini adalah bagian yang disebut Patrick Hanan sebagai ‘keadaan yang ditiru’ atau ‘keadaan sepotong fiksi ditularkan’. Dalam cerita-cerita Sanyan (juga di dalam fiksi daerah China lainnya), tiruan ini hampir selalu mengambil bentuk seorang penutur cerita lisan profesional yang menyapa pendengarnya. Sang penutur cerita bertanya kepada pendengar yang ditiru, bercakap-cakap dengan mereka, membuat keterangan yang jelas untuk cerita-ceritanya, dan menyelingi ceritanya dengan syair dan puisi. Biasanya sang penutur memulai ceritanya dengan satu atau lebih cerita pendahuluan atau puisi, yang bertujuan menyediakan waktu bagi para pendengarnya untuk berkumpul kemudian ia mempertunjukkan penampilan utamanya.”

Jika kita andaikan Pak Santik, atau Cak Markeso, adalah sosok seniman yang sekaligus memiliki kualitas entelektual sebagaimana Feng Menglon, tentu, sejarah ludruk akan mampu berkembang lebih sophisticated. Karangan yang berupa catatan-catatan cerita dan kompilasi-kompilasi sejarah di daratan China sungguh banyak mendapatkan pujian dan menyumbangkan warisan tak ternilai bagi kesejarahan China dalam membentuk watak peradaban manusianya. Salah satu karangan Feng adalah tiga buku pegangan konfusian berjudul Kronik Musim Semi dan Gugur. Hingga karena banyaknya buku yang disusunnya, karya-karya itu seolah-olah jika “ditumpuk sampai setinggi tubuhnya.” Feng adalah seorang patriot, si cabul yang jenaka, intelektual, pecinta yang romantis, orang yang hidup bebas, dan memiliki integritas yang tinggi dalam pengabdiannya pada kerajaan. Sebagian besar cendekiawan modern tak meragukan sumbangan Feng Menglon dalam kesusastraan daerah atau sastra rakyat, terutama pengumpulan dan penyuntingannya pada 120 cerita pendek yang terkumpul dalam buku babon Sanyan.

Aliran ini kemudian disebut Huaben yang berkembang pada Dinasti Song (960-1279) dan Dinasti Yuan (1260-1368) dan mencapai kematangannya pada akhir masa Dinasti Ming (1368-1644). Feng meyakini cerita daerah menjadi satu-satunya tonggak dalam melestarikan sejarah untuk masa depan sebuah kerajaan yang mencita-citakan kejayaan dan kemasyhuran. Apa yang disebut “proomt-book” adalah cerita yang berkembang di “pasar” pada Dinasti Song. Dan hal ini pula yang tak jauh dari pementasan-pementasan ludruk yang menyoal kehidupan sehari-hari rakyat jelata baik di pasar, di sawah saat petani menggarap sawahnya, di dalam rumah tangga, dan lain-lain. Cak Supali, pelawak ludruk dari Mojokerto, mengatakan bahwa ketika tokoh Besut muncul, dalam pertunjukan Besutan, gendingan yang ajeg yang mengiringinya adalah gendingan berlambar “Alas Kobong”. Konon, gending ini melambangkan percikan semangat baru bagi perjuangan hidup yang terus menerus dilakukan tanpa menyerah. Tembang “Sambel Kemangi” yang diciptakannya adalah cermin manusia Jawa yang mampu hidup dengan sumeleh, tidak serakah, gigih bekerja, dan mensyukuri apa yang terberi.

“Manusia ludruk” tidak anti-literasi, tapi mereka dijauhkan dari sejarah (bias politik dan ekonomi) bahkan mereka sungguh tak tahu siapa dirinya yang sebenarnya dalam konteks ke-Indonesia-an yang terus bergerak. Barangkali gagasan “sastra ludruk” tidak memiliki akar historis secara literer yang memadai. Tak banyak catatan atau karya yang kita temukan sebagai tolok-ukur kesusastraan. Namun, persoalan saat ini adalah bagaimana kita memulai pelacakan sejarah ludruk di Jawa Timur untuk menyingkap yang silam itu. Otentisitas kita ditantang untuk kembali mencari akarnya, bukan untuk memitoskannya, tapi bagaimana menumbuhkan dan memaknai kehadiran ludruk di masa kini.

-----
*Fahrudin Nasrulloh, cerpenis bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang