Oleh : Jabbar Abdullah[2]
Sebelumnya, saya akan berkisah tentang warung kopi. Sepintas, Information Technology (IT) dan warung kopi memang tidak nyambung. Tapi bagi yang peka, warung kopi tanpa kita sadari merupakan tempat terjadinya sirkulasi teknologi informasi (TI), apapun bentuknya. Mulai dari babakan politik, ekonomi, sosial dan bahkan seni-budaya. Warung kopi tidak hanya menyediakan secangkir kopi, teh, pisang goreng dan sejenisnya. Warung kopi juga tempat mengaduk informasi yang disuguhkan dengan rupa-rupa teknologi. Warung kopi juga bisa menjadi tempat “menggoreng” ide atau gagasan. Intinya, setiap tempat berpotensi untuk kita jadikan sebagai media mengolah segala hal yang terkait dengan persoalan teknologi informasi.
Tak dipungkiri, setiap detik teknologi yang diciptakan manusia senantiasa berkembang dengan pesat. Produk teknologi pun bervariasi. Semua dicipta menyesuaikan kebutuhan hidup manusia. Namun, jika perkembangan teknologi tidak disikapi dengan tepat (baca: sesuai dengan fungsinya), maka akan terjadi disfungsi, bahkan bisa jadi akan menjadi senjata makan tuan. Disadari atau tidak, perkembangan teknologi ternyata berimbas pada terciptanya budaya instan (baca: siap saji) terkait dengan pemenuhan sebuah kebutuhan.
Jika kita menyikapi kebaruan teknologi dengan instan, maka bersiaplah untuk menjadi budak teknologi. Orang yang sudah menjadi budak teknologi akan terjangkit penyakit egois, individualis dan hedonistis. Agar tidak terserang ketiga penyakit tersebut, maka kita harus memperlakukan teknologi sebagaimana mestinya – meminjam istilahnya WS Rendra – agar kehidupan tetap berjalan berimbang dan wajar.
Dalam keseharian, kita tidak terlepas dari yang namanya peristiwa memberi dan menerima dengan segala bentuknya. Saat kita mengalami dua peristiwa ini, kita akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni antara keinginan dan kebutuhan. Jika peristiwa tersebut terkait dengan informasi, maka informasi yang kita berikan atau kita terima tersebut selanjutnya mau disikapi dengan cara yang bagaimana. Jika kita memposisikan sebuah informasi hanya sebatas keinginan, maka sikap kita cenderung diam alias pokok’e eruh. Sebaliknya, jika kita menjadikan informasi tersebut sebagai sebuah kebutuhan, maka kita akan cenderung berupaya untuk bagaimana caranya agar informasi tersebut bisa dengan segera tersebar dan akhirnya diketahui oleh khalayak.
Terkait dengan memberi dan menerima informasi, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah. Di sini kita juga harus punya pertimbangan tentang media dan kepada siapa kita harus berbagi informasi tersebut. Nah, di sinilah pentingnya kita membangun jejaring. Jika kita telah memiliki jejaring, maka kita tidak akan kesulitan dalam urusan memberi dan menerima informasi. Urusan membangun jejaring terkait erat dengan pengolahan data yang kita miliki. Jika kita tak memiliki jejaring, maka bisa dipastikan data berupa informasi tersebut akan mati, minimal – meminjam istilahnya Afrizal Malna – tidak berbunyi.
Data akan datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Pertanyaan paling mendasar saat kita menerima atau memiliki data adalah, terus diapakno?
Memberi bunyi pada data yang kita miliki bukanlah persoalan mudah, meskipun medianya berlimpah. Adakalanya kita kebingungan saat memiliki data yang melimpah. Mau kita apakan data itu? Data itu mahal dan memiliki kekuatan yang besar. Karena itu tidak semua orang atau komunitas akan dengan mudah berbagi data. Kecerobohan dalam mengolah data akan berdampak langsung dengan bangunan jejaring kita. Data ibarat zakat. Di dalam data itu sendiri juga terdapat mustahiq, baik personal maupun kolektif, yang berhak menerima zakat data. Meskipun pada prinsipnya setiap orang memiliki hak atas apa yang kita miliki, namun orang lain tidak berhak memaksa kita untuk memberikan apa yang kita miliki. Semua dikembalikan pada kesadaran bahwa seseorang atau komunitas itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri, seseorang atau komunitas membutuhkan kerjasama dengan yang lainnya.
Untuk urusan mengolah, tidak semua orang mampu melakoninya. Terlebih mengolah dan menghidupi (baca: memberi bunyi) pada data yang dimiliki. Di era yang serba “klik” dan “touch” ini, kita banyak ditawari pilihan-pilihan media yang bisa dimanfaatkan terkait dengan urusan memberi bunyi pada data. Media online, baik blog maupun website misalnya, menawarkan banyak sekali species teknologi yang kesemuanya bisa dijadikan sebagai ladang menanam dan membunyikan data. Ada Facebook, Twitter, Blogspot, Wordpress, Multiply, netlog, dan masih banyak lagi. Seluruh species teknologi tadi, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, memberi ruang bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya secara gratis. Yang terkini, sampai-sampai ada yang rela memberi fasilitas WiFi agar warungnya bisa menarik konsumen yang lebih banyak. Artinya, kalau kita memang serius menggeluti dunia IT maka pertanyaannya adalah sejauhmana kita mampu mengolah ruang dan mengolah data yang kita miliki?
Dari sekian banyak media, silahkan dipilih mana yang menurut kita lebih efektif untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk membunyikan data. Apapun pilihannya, yang terpenting adalah kita harus mampu untuk istiqamah, baik dalam memberi maupun menerima. Upaya berbagi dan menerima data terkait erat dengan yang namanya updating, yakni upaya mencari kebaruan-kebaruan tentang data. Jika kita malas memperbarui data, maka kita akan ketinggalan kereta.
Kiranya cukup sekian uraian tentang urusan Information Technology (IT). Yang harus selalu kita ingat adalah, bahwa dalam urusan IT , musuh utama kita adalah kemalasan.