Sabtu, 15 Januari 2011

Esai Fahrudin Nasrulloh

Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya

Oleh : Fahrudin Nasrulloh*

Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu

Pada hari Jumat, 25 September 2009, ludruk Brawijaya ditanggap Bapak Supendik asal Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan. Hajatan Pak Supendik ini dalam rangka menyunatkan anak tunggalnya, Alvin Sugiyanto. Acara Khitanan sekaligus ruwatan dimulai bakda Jumatan dengan menampilkan paguyuban ''Cambuk Api" dengan tradisi "ujung"nya yang dipimpin Pak Pardi di Dusun Mbancang. Kelompok kesenian ''adu cambuk rotan" ini telah dirintisnya sejak tahun 1988. Hajatan itu kemudian diteruskan dengan wayang Purwakalan dengan menampilkan dalang Ki Kamim Sarpokenopo, dan malam harinya pementasan ludruk Brawijaya digelar dengan menampilkan lakon ''Wewe Putih Gandrung" yang disutradarai Sawi Gembel.

Sebagaimana biasanya, lawakan ludruk yang dipentaskan merupakan sajian paling memikat yang ditunggu-tunggu penonton. Sekitar seribuan penonton membludak dan berdusel-duselan. Puluhan penjual dari pedagang plembungan sampai Soto Lamongan terjejer panjang dari rumah penanggap hingga memanjang ke timur jalan. Pelawak Memet asal Kecamatan Kabuh, Jombang tampil pertama dengan jula-julian dansalawatan. Lalu menyembullah Wak Jambul asal Tuban yang langsung diteter Memet dengan guyonan dan tebak-tebakan. Ini mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Dua pelawak lantas nongol, Ciplis dan dan Wulung dengan "dagelan bacokan" yang sontak membikin Wak Jambul keringetan karena ditotol berkali-kali oleh kawan-kawannya tersebut. Sungguh gembira, betapa masih saja ada bocah-bocah kampung yang terpukau dan cekakakan saat mereka asyik-larut dalam gojekan dagelan itu dan melupakan tayangan Tawa Sutra, Segeerrr, OKB dan sinetron-sinetron TV yang cengeng dan menumpulkan otak itu. 

Perjalanan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah

Ludruk Brawijaya yang bermarkas di Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, didirikan pada 16 Mei 2008 oleh Pak Mulyono dan disokong kakaknya, Abdul Fatah. Pak Mul, demikian panggilannya, lahir 7 September 1966 di Desa Pandanarum. Pada umur 19 tahun, yakni tahun 1985. Dia tertarik menyimak klenengan seni ludruk di paguyuban ludruk Sapta Mandala di Desa Centong, Kecamatan Gondang, yang saat itu dikelola oleh Pak Fatah. Sapta Mandala tidak berumur lama. Tahun 1988, ludruk ini bubar karena pengelolaannya yang bersifat organisasi, tidak berjalan dengan baik.

Pada 1987, Pak Mul bergabung dengan ludruk Sari Wijaya dari Ngoro yang dipimpin oleh Pak Rodal. Ia terus menimba pengalaman ngludruk ke banyak grup ludruk, terutama di bidang pemeranan atau penokohan yang selanjutnya ia dikenal sebagai sutradara ludruk. Sari Wijaya kemudian pecah, dan muncullah pecahannya yang bernama ludruk Perdana yang diketuai oleh Eko Supeno. Pak Mul memilih ikut ludruk Perdana dari tahun 1990 sampai 2007. Perjalanan tanggapan juga tobongan ludruk ini telah merambah dari kota ke kota seperti Malang, Surabaya, Jombang, dan Mojokerto sendiri. Ia juga sering di-job ludruk Sidik Cs, baik sebagai pemeran lakon maupun sutradara, dari tahun 1990 hingga tahun 1996.

Lahirnya ludruk Brawijaya jika dirunut bermula dari ludruk Mulya Budaya yang dirintis Abdul Fatah pada 16 Mei 2007. Sempat nama Mulya Budaya diganti nama dengan sebutan ludruk Gajah Mada. Namun ludruk ini tidak bertahan lama karena beberapa hal, lalu Pak Mul berinisiatif membentuk ludruk sendiri yang selanjutnya dirembug dengan Pak Fatah. Pak Mul berkeyakinan bahwa kemandirian dan kesolidan sebuah grup ludruk itu penting. Pendanaan dan pengaturan serta pengelolaan merupakan hal mendasar yang musti secara interen dimiliki oleh setiap grup ludruk. Dengan modal sekisar 70-an juta, ia dan dengan dukungan Pak Fatah mendirikan ludruk Brawijaya pada 16 Mei 2008. Perjuangan dan kecintaan mereka akan ludruk tampaknya semakin menguat dan terus mereka jalani sebagai bagian hidup mereka dalam berkesenian. Nama ''Brawijaya" yang dipilih menjadi satu pertanda bagaimana mereka ingin mengangkat nama Mojokerto dengan simbol-simbol kejayaan kerajaan Majapahit.

Selama setahun lebih, ludruk ini dibentuk hingga sekarang, tak kurang dari 100-an tanggapan terop yang mereka peroleh. Ini merupakan suatu prestasi yang gemilang. Kendati dalam setiap tanggapan yang rata-rata bernilai Rp 7 jutaan itu mereka seringtekor (merugi) sampai harus tombok (menalangi) sekitar 1 jutaan. Hal ini karena mereka belum sepenuhnya memiliki sarana dan peralatan transportasi ludruk yang layak. Semisal mereka belum punya inventaris berupa sound-system, satu set gamelan dan truk. Kondisi yang serba pas-pasan ini sejak awal telah disadari Pak Mul dan Pak Fatah. Lalu bagaimana mereka masih terus bisa eksis dengan kondisi yang demikian? Tujuan Pak Mul yang terpenting adalah sejauh mana masyarakat dapat mengenal dengan baik ludruk Brawijaya.

Yang kedua terkait dana talangan yang justru dirogoh dari kocek pribadi mereka sendiri. Keguyuban warga ludruk ini juga menyadari kondisi ''mepet" mereka. Maka kerap kali honor mereka rela dipotong 10 persen sampai 25 persen untuk melengkapi dana talangan itu. Semisal untuk bayaran kelas A (pelawak) Rp 300 ribu, kelas B (tokoh peran): 150 ribu, kelas C (gontok, sinden, dan wiyogo, dll) Rp. 50 ribu sampai 100 ribu. Mereka ikhlas dipotong dengan prosentase itu. Meski begitu, kesetiaan mereka dalam bentuk kedisiplinan dalam setiap tanggapan ludruk Brawijaya tetap terjaga, kecuali memang kala ludruk ini tidak ditanggap, para awak ludruk bisa saja ikut grup ludruk lain yang mentas.

Ludruk Brawijaya yang beranggotakan 63 orang, terdiri dari Wayang (tokoh peranan): Sugi, Sulkan, Wandi, Said, Wol, Kastam, Sumadi, Cahyo, Didit, dan Mondro. Tandak terdiri dari: Riska, Mamik, Rara, Dina, Menik, Diah, Mintuk, Candra, Mei, Anik, Daripah, Tini, Susi, Kesi, Tina, Suliati, dan Nuryati. Para gontok: Sariman, Edi, Juni, Yuli, dan Anam. Sinden: Sukeni. Para panjak: yang terdiri dari grup Suwari CS adalah Bambang, Warsito, Santriman, Sarno, Poniran, Ngarso, Kumadi, Sarno, dan Antok. Penata dekorasi: Sonto CS. Sound system: Fata Cs. Ketua juru gamelan: Gembur Cs. Kekompakan awak ludruk ini sungguh benar-benar diperhatikan oleh Pak Mul, lebih-lebih ia pun berpikir keras akan kesejahteraan mereka di kemudian hari. 

Sosok Pak Mul sebagai seniman ludruk yang sekaligus bekerja sebagai perangkat desa di desanya sendiri telah mampu menghidupi istri dan membesarkan anak-anaknya dari penghasilan di dunia ludruk. Ia beristri Supiyatun (lahir 14 Juli 1967), sedangkan anak-anaknya: Dian Aprilia (lahir 13 Februari 1992, dari istri pertamanya bernama Fatimah yang pernah ikut grup ludruk Baru Budi), Lia Mulyana (lahir 1 Oktober 1992), Dwiki Indra Lesmana (lahir 10 Oktober 1996). Dua anak yang terakhir ini berasal dari istrinya, Supiyatun. Sebagai sutradara, Pak Mul tetap berupaya menggali kreativitas dalam menciptakan lakon-lakon ludruk, di antaranya adalah lakon: ''Tebu Berduri" yang tokoh utamanya Bajuri, ''Golok Setan", ''Pendekar Gunung Sumbing", dan yang terakhir yang sedang digarapnya adalah ''Rebutan Ajining Sandal Jepit" yang mengangkat kehidupan wong cilik yang berdesak-desakan memperjuangkan pencairan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang beberapa bulan yang lalu ramai diperdebatkan masyarakat Indonesia yang melarat dan terpinggirkan.

Sementara, sosok Abdul Fatah yang lahir pada tahun 1955, menerjuni kesenian ludruknya berawal dari mengikuti wayang kulitnya Pak Leman dari Japanan pada tahun 1969. Lalu ia masuk grup ludruk Irama Baru dari Sidoarjo yang disokong oleh Pak Yassin dari KODIM 0816 Sidoarjo yang selanjutnya pimpinan rombongan ludruk ini diurus oleh Pak Dono. Selama 10 tahun ia bergabung dengan ludruk ini, dari tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahun 1980 hingga tahun 1985 ia bergabung dengan ludruk Massa Baru dari Jombang yang saat itu dipimpim Pak Akhmad dari Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh. Lalu, tahun 1985 sampai 1987 ia masuk grup ludruk Sari Murni Jombang yang dipimpin oleh Pak Gimin dan Pak Kusnan. Selanjutnya ia mendirikan ludruk Sapta Mandala yang eksis dari tahun 1987 sampai 1992. Selain itu ia pernah terlibat dalam siaran ludruk RRI Surabaya (1992-2002), juga pernah di ludruk Karya Baru Mojokerto (2002-2007), dan yang terakhir ia bersama adiknya, Pak Mul, mengembangkan ludruk Brawijaya sejak 16 Mei 2008 hingga sekarang.

Selain sebagai pendamping Pak Mul, mata pencaharian Pak Fatah terbilang tidak jauh dari pernak-pernik di seputar dunia ludruk. Ia merupakan teknisi panggung, pembuat peraga kewan-kewanan (berbagai kostum yang berbentuk aneka macam binatang sesuai lakon ludruk yang dipilih), busana ludruk, busana manten dan tari, busana travesti, dan lain-lain. Usaha ini ia kembangkan di rumahnya bersama keluarganya dan pula tetangganya. Banyak juga pesanan dari berbagai kalangan baik dari grup-grup ludruk maupun dari masyarakat umum. Setiap busana seperti busana pengreman, yang mengandalkan ketelatenan tangan itu, ia kerjakan selama sebulan dengan ongkos pesanan 1 juta hingga 1,5 juta. Meski penghasilan ngludruk tidak seberapa, justru darihome industry inilah Pak Fatah dapat membahagiakan istrinya, Sri Muliyah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana: Eko Siswodiono (lahir 1980), Irfan Dwi Efendi (lahir 1983, kini dosen SHS bidang perhotelan dan staf inti di Hotel Sangrila Surabaya), dan Triyuda (lahir 1992) yang masih berkuliah di jurusan Informatika Unesa Surabaya.

Ludruk Brawijaya di antara 10 grup Ludruk Lain

Menurut Pak Mul, di Mojokerto telah sejak lama bercokol banyak grup ludruk. Ada sekitar 160-an grup. Tapi kondisi tiap grup ludruk sebagaimana perkembangan jaman terus bergulat dan bertarung dengan hiburan lain terutama ketika muncul televisi swasta di tahun 1990-an yang kian menambah surutnya apresiasi masyarakat khususnya di Jawa Timur terhadap ludruk. Kini, pemerintah kabupaten, semisal di daerah Mojokerto, Jombang, dan lain-lain menerapkan sebuah aturan dalam bentuk ketertiban grup-grup ludruk agar lebih dapat diakomodasi dan diidentifikasi keberadaannya. Penerapan ini semacam pengidentifikasian induk organisasi atau kepemilikan suatu grup ludruk, sebagaimana juga jenis kesenian lain semisal grup orkes dangdut, karawitan, wayang, dan lain-lain.

Dengan adanya ketertiban tersebut di mana setiap grup ludruk harus didaftarkan di kantor dinas Porabudpar setempat, maka, menurut Pak Mul, dari keseluruhan grup ludruk di Mojokerto yang kini tercatat dengan nomor induknya masing-masing berjumlah 10 grup ludruk. Mereka adalah ludruk Brawijaya, ludruk Karya Budaya, ludruk Karya Baru, ludruk Teratai Jaya, ludruk Indah Wijaya, ludruk Cakra Wijaya, ludruk Gelora Budaya, ludruk Karya Mukti, ludruk Sekar Budaya, dan ludruk Among Budaya Roman Cs.

Tak dipungkiri bahwa setiap ludruk di era sekarang saling berpacu untuk meluaskan pengaruh dan tanggapannya dengan sajian-sajian yang inovatif dan dioptimalkan jaringan publikasinya agar tidak disoraki sebagai ludruk yang asal manggung dan karenanya bakal mengecewakan penonton. Ludruk Brawijaya juga tak ingin ketinggalan. Untuk bulan September dan Oktober 2009, mereka telah mengantongi terop sekitar sepuluhan. Angka ini sudah terbilang bagus dibanding sejumlah ludruk lain yang mungkin sejumlah itu, atau sepi sama sekali, atau bahkan lebih banyak dari itu. ''Jika ada ludruk yang sepi tanggapan, itu karena orang-orangnya sendiri yang malas nyari tanggapan. Semua awak saya juga bergerak mencari terop. Ono dino ono upo, ada tanggapan ya ada upah!" demikian seru Pak Mul pada anggotanya.

Catatan: Wawancara dilakukan pada Jumat malam, 25 September 2009 dengan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah di Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan.

--------
*) Fahrudin Nasrulloh, Peminat ludruk dari Komunitas Lembah Pring Jombang

Esai Hendra Junaedi

Angkatan Baru Milenium,Sebuah Sejarah Baru Sastra?

Oleh: Hendra Junaedi *)

Bila Chairil Anwar menyatakan: yang bukan penyair tidak boleh berpuisi. Maka melalui mukadimah ini kami menyeru; semua orang boleh menjadi penyair! Apakah dia tukang becak, pemulung, gelandangan, pengamen, buruh, ibu rumah tangga, anak-anak sekolah, mahasiswa, guru, anggota TNI, sarjana, pejabat, legislative, menteri bahkan presiden atau wakil presiden, yang penting jujur. Sebab kejujuran adalah inti etika dan estetika. Demikian puisi benterang kami kumandangkan.
Bogor-Bandung, Medio Maret 2009

Anton De Sumartana, Atasi Amin, Matdon

(Mukadimah Buku BENTERANG, Puisi apa adanya)

Kutipan mukadimah dari Buku BENTERANG yang berisi kumpulan-kumpulan puisi karya tiga orang penyair yaitu Anton De Sumartana (ADS), Atasi Amin, dan Matdon telah menandai munculnya angkatan kesusastraan angkatan baru.

Sebelumnya marilah melihat tentang sedikit sejarah kesusastraan Indonesia

Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Beberapa Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka tersebut diantaranya Merari Siregar, Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Tulis Sutan Sati, Aman Datuk Madjoindo, Suman Hs. Adinegoro. Sutan Takdir Alisjahbana,Hamka, Said Daeng Muntu dan Marius Ramis Dayoh.

Namun dari sekian nama itu nama Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka. Waktu itu banyak karya tulisnya yang muncul dan mendapat banyak pengakuan. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).
Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Kemudian dalam jumlah terbatas diterbitkan dalam Bahasa Bali, Bahasa Batak dan Bahasa Madura.

Angkatan pujangga baru

Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933, hingga adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang, setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Menjadi Pujangga Baru saat itu bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran.

Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan.

Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru. Tidak lain adalah orang-orang yang tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Sebuah badan yang memang mempunyai perhatian terhadap perkembangan seputar kesenian dan budaya daerah. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada jaman pendudukan Jepang kala itu kehadiran majalah Pujangga Baru dilarang oleh pemerintah Jepang. Alasannya sangat klasik yaitu kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Angkatan 45

Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949 silam, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang yang muncul pada tahun 1940-an. Yakni sekitar penjajahan Jepang, jaman Proklamasi dan berikutnya.

Di antara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail dan seterusnya. Namun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru.

Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak. Lebih dari itu, "jiwa" yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya.

Di bidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45. Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas.

Lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra.

Angkatan 66

Sedangkan Angkatan 66, ada empat orang penulis yang mengutarakannya. Mereka itu HB Jassin dalam angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968), Satyagraha Hoerip artikelnya dalam horison yang berjudul Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita (1966), Artikel Aoh K Hadimadja berjudul Daerah dan Angkatan 66 majalah Horizon-1967, Artikel Racmat djoko Pradopo Penggolongan Angkatan dan angkatan 66 dalam Sastra-Horison Juni 1967.

Mereka memang saling berbeda pendapat dan persepsi, namun tak begitu prinsipil. Karena sesungguhnya tidak ada pihak yang rugi atau dirugikan. Bagi mereka, para pengarang itu, masuk golongan apapun tak jadi masalah.

Akan tetapi menurut HB Jassin, "Angkatan 66 Bangkitya Satu Generasi" (Horison, Agustus 1966) adalah suatu angkatan. Adapun yang termasuk dalam angkatan 66 ini menurutnya adalah mereka yang tatkala proklamasi kemerdekaan tahun 1945, kira-kira berumur enam tahun dan baru masuk SD/SR. Jadi tahun 1966 baru sekitar berusia 20 tahun.

Mereka giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955. Diantara hasil karya tulisannya adalah Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia,0 Budaya, Crita, Sastra, Konfrontasi, Basis, Prosa dan sebagainya.

Untuk angkatan 66 seperti yang digolongkan oleh HB Jassin itu, yang lain sekitar jaman pendudukan Jepang. Menurut Satyagraha Hoerip lebih tepat kalau dimasukkan ke dalam angkatan Manifes (Horison Desember 1966). Tentu saja bukannya tanpa alasan. Sebab memang merekalah yang sebagian besar tergabung atau justru terang-terangan mendukung adanya Manifes Kebudayaan di tahun 1964, yang kemudian tahun berikutnya dilarang oleh Presiden Soekarno.

Dengan demikian bisa dicatat nama-namanya antara lain : Ajip Rosidi, Rendra, Taufiq Ismail, Hartojo Andangjaya, Mansur Samin, Goenawan Muhammad, Djamil Suhirman , Bur Rasuanto, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin dan masih banyak lagi pekarya yang lain. Jadi yang temasuk angkatan 66 ini bukannya yang baru menulis sejak adanya perlawanan ditahun 1966. Tetapi, justru yang telah sejak beberapa tahun sebelumnya dengan sebuah kesadaran.

Ajip Rosidi didalam kertas kerjanya di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa Kedua Jakata tahun 1960, malahan sudah menggunakan istilah Angkatan Terbaru. Menurutnya, mereka muncul pada saat dunia sastra kita digamangi oleh kemuraman karena adanya krisis, kelesuan dan impase (kebuntuan). Mereka merupakan hasil pengajaran yang tumbuh dalam pengaruh kesusasteraan Indonesia. Mereka telah memberikan nilai baru terhadap ilham dan tempat berpijak serta berakar secara kultural.

Angkatan Baru Millennium

Di awal abad XXI ini telah muncul angkatan baru millennium dengan peristiwa/ gerakan puisi benterang. Dimana  penggeraknya adalah tokoh Pembina generasi muda Mojokerto tahun 70-80 an.

Pendeklarasian angkatan baru millennium ditandai dengan proklamasi pergerakan puisi benterang (benar terang) dengan sikap estetika dan etika, dengan inti kejujuran. Deklarasi ini dilaksanakan di Hotel Royale Jl Lembong bandung pada 18 Oktober 2009. Pada acara tersebut rencananya akan dimeriahkan bedah buku dan musikalisasi puisi, dengan pembahas Prof Jakob Sumardjo, Yayat Hendayana, DR Yooke Tjuparmah, Jeihan, DR Ani Yuliah.

Adalah Anton De Sumartana seorang seniman asal Mojokerto salah satu pelopor sastra angkatan baru millennium yang melahirkan 66 judul buku, 18 judul diantaranya buku puisi, berkarakteristik obsesif disegala bidang, kini bermukim tetap dibogor menjadi sosok ternama Arsitek professional.

Penampilan sederhana sebagao sosok pengagum arsitek silaban perancang masjid istiqlal. Hidupnya kini lebih berkecukupan walaupun perjalanan karirnya pernah mengalami malang melintang prihatin dalam waktu relative lama ketika tinggal di bandung. Ide membuat perpustakaan keliling ketika walikota kota bandung hussen wangsaatmaja
Menapaki perjalanan avonturismenya di tahun 1969 disebut sebagai "ruang penemuan kebangkitan budaya" yang telah berhasil mengisi kebutuhan batinnya akibat pengalamannya tidak puas kepada satu model kegiatan pendidikan, maka dengan gagasan pribadinya mendirikan grup Swawedar sebagai perpaduan tiga model (Kepanduan, Taman Siswa, Pesantren) yang akhirnya dikukuhkan olehnya sebagai yayasan swawedar 69 sampai kini dan selanjutnya tumbuh berkembang menjadi "Pelita pembangunan" bagi generasi Indonesia mendatang yang memiliki cabang di berbagai kota, seperti Mojokerto, Surabaya, Tuban, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Depok, Cirebon, Bekasi, Malang, Pekan baru, Jakarta. Sebagai budayawan menyandang gelar Ir.

Berlatar belakang pendidikan formal teknik arsitektur, teknik sipil dan planologi dan S2 bidang keahlian manajemen bisnis serta meneguhkan diri sebagai umat islam yang telah menyempurnakan ibadahnya berangkat ke tanah suci sebagai Haji. Namun demikian tetap memiliki catatan sejarah pribadi yang penuh pengalaman beravonturisme pada dunia kegiatan kesenian, pernah menjadi penggambar kartun, illustrator, sebagai seorang penyair menerbitkan antologi puisi"Temu kreatifitas", "Kumpulan 17", "Senandung Bandung", Kumpulan puisi tunggal "Dongeng Mimpi Anak Negri", "Mulut Sumpah Serapah Kata", BUSH ("Bualan Untuk Semua Hewan"), "Republik satu rakyat", bersama temannya Bintoro, budiharjo dan budiyono pernah membuat radio amatir "Kwartama" untuk meningkatkan apresiasi seni Sastra, Ikut memotori radio amatir Merzy73 Bandung.

Bahkan pernah menjadi pelukis dan sering berpameran tunggal maupun pameran bersama. Kekuatan pribadinya ditandai dengan kenangan masa kecilnya yang sering sebagai siswa berprestasi ketika di pendidikan formal dan non formal dan aktif di kepanduan maupun pramuka.

Semoga dengan munculnya angkatan sastra baru ini diharapkan mampu mendobrak dimensi sastra untuk lebih bisa menghadapi tantangan jaman dari generasi yang mengalami turbulensi budaya barat dan timur tanpa meninggalkan kaidah adat ketimuran bangsa Indonesia di masa mendatang. (dihimpun dari berbagai sumber)

*) penulis adalah seorang peminat sastra asal Mojokerto.

Esai Fatoni Mahsun

Mengembangkan Tema Batik Bernuansa Jombangan

M. Fathoni Mahsun *)


Pada awal 2008 lalu, penulis bertemu dengan salah satu perajin batik asal Jombang yang berpameran di Jakarta Convention Centre (JCC). Karena kenal dan kebetulan tetangga, saya ajak dia ngobrol panjang lebar. Tema yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari batik, sampai suatu ketika penulis menanyakan, apa bedanya batik bernuansa Jombangan dengan batik lainnya. Kebetulan stand dia dekat dengan stand batik Cirebon, batik Jogja, batik Kudus, batik Pekalongan dan batik-batik daerah lain. Dia menjawab, yang membedakan adalah, batik Jombangan mengambil motif dari relif Candi Arimbi. Itu adalah informasi pertama yang penulis dengar tentang batik Jombangan.

Kapankah relif Arimbi mulai dieksplorasi menjadi motif batik? Menurut Ibu Maniati, perajin batik dari Desa Jatipelem Diwek Jombang, penggunaan relif Arimbi mulai digunakan sebagai motif batik pada sekitar 2005. Berarti sudah empat tahun batik Jombangan memasyarakat. Walaupun terbilang baru, langkah tersebut patut diapresiasi. Karena setidaknya Jombang tidak kedodoran dan latah ikut-ikutan demam batik, terutama pasca ditetapkannya batik sebagai warisan dunia non benda oleh UNESCO. Karena Jombang sudah mempunyai karya nyata jauh-jauh hari sebelumnya.

Didorong oleh keingintahuan yang besar, penulis ingin menyaksikan langsung, bagaimana sejatinya relif Arimbi yang menjadi inspirasi batik Jombangan tersebut. Penulis mendatangi candi yang terletak di desa Ngrimbi/Arimbi di Kecamatan Bareng Jombang. Lokasinya di samping jalan menuju arah Wonosalam. Candi Arimbi merupakan peninggalan Mojopahit. Tetapi candi ini berstruktur dari bahan batu kali, bukan dari batu bata seperti umumnya candi peninggalan Mojopahit yang kita bisa saksikan di Trowulan Mojokerto.

Bangunannya tidak begitu besar, sedikit lebih kecil dari Candi Bajangratu di Trowulan. Namun tampak sekali nuansa Hindunya. Bangunannya menjulang. Nah, relief yang digunakan sebagai motif batik itu sendiri ternyata tidak terletak di bangunan utamanya. Melainkan di potongan batu yang tergeletak di selatan candi utama. Barangkali dulunya juga bagian dari bangunan candi. Tetapi karena bencana alam atau sebab-sebab lain sehingga menjadi terpisah.

Walaupun tidak terletak di bangunan utama, akan tetapi relief yang dibuat sebagai motif batik tersebut memang menonjol. Bahkan lebih menonjol dibanding relief yang terdapat di candi utama. Berupa ukir-ukiran segitiga dengan lancip di bawah, mirip dengan motif batik Jombangan yang kita kenal selama ini. Namun, ketika diamati lebih teliti, motif batik yang digunakan tidak ada yang benar-benar sama dengan relif asli yang ada di Candi Arimbi. Para perajin batik nampaknya telah melakukan improvisasi-improvisasi. Dikatakan lebih menonjol karena bentuknya utuh. Sehingga masih terlihat jelas setiap detailnya, serta jumlahnya tidak hanya satu, tetapi ada dua relif yang sama.

Legendaris

Dibuatnya relif arimbi sebagai motif batik Jombangan memberikan kesan legendaris. Sebab bersumber dari akar budaya masa lalu. Hal ini menjadi istimewa karena tidak semua motif batik mempunyai akar budaya yang demikian kuat, terutama batik-batik kontemporer. Sehingga pemilihan relif arimbi sebagai identitas batik Jombangan cukup beralasan.

Selain itu, keberadaan batik ini langsung diterima secara masal. Semua instansi, baik negeri maupun swasta, sampai para siswa sekolah, seluruhnya mengenakan batik Jombangan dengan berbagai macam variasi motif. Dikalangan pegawai dan karyawan, setidaknya ada tiga variasi motif, masing-masing berwarna oranye, hijau, dan putih. Sedangkan di kalangan siswa, sedikitnya juga ada tiga, masing-masing berwarna biru, merah dan coklat. Motif arimbi yang terdapat di seragam siswa umumnya lebih kecil-kecil dan detail. Penerimaan yang nyaris tanpa syarat ini seakan-akan menunjukkan bahwa masyarakat Jombang sedang menemukan kembali identitas primitifnya yang lama menghilang. Sehingga begitu dia ditemukan, langsung hanya ada satu kata yang muncul, menerima.

Bentuk siluetnya yang segitiga dengan pucuk menghadap ke bawah, membuat motif arimbi tampak geometris. Apalagi motif itu umumnya digambar dalam jumlah yang banyak ketika diaplikasikan  ke kain batik. Sehingga bentuk siluet yang berisi ukir-ukiran yang rumit ini, menemukan persamaannya dengan batik-batik Jawa Tengahan, yang sebagiannya juga memiliki motif geometris; wajik, bulat, kotak dan garis-garis. Satu ciri umum lainnya adalah bentuknya yang simetris, kiri dan kanan sama, sesuai dengan filosofi Jawa yang mengedepankan keseimbangan.

Namun, apakah cukup mengandalkan arimbi sebagai satu-satunya motif batik Jombangan? Kalau jawabannya ya, maka perkembangan batik Jombangan terhenti. Daerah-daerah lain yang menjadikan batik sebagai maskotnya seperti Jogja, Pekalongan, dan Cirebon umumnya punya lebih dari satu motif. Bahkan Mojokerto sudah mempunyai beberapa macam motif. Antara lain Alas Mojopahit, Batik Mojo, Gedeg Roboh, Mrico Bolong, Sisik Krisik, Rawan Inggek, Pring Sedapur dan Koro renten (Radar Mojokerto 5/10/2009).

Dua Pola

Berangkat dari keresahan untuk mengembangkan batik Jombangan, maka mendesak untuk terus dilakukan penggalian motif-motif batik lainnya. Bila menginginkan motif yang legendaris dan berkarakter kuat sebagaimana arimbi, syaratnya ada dua. Pertama, harus ada unsur sakralnya. Kedua memenuhi unsur primitif, dalam artian mempunyai keterikatan kuat dengan akar budaya masa lalu. Namun, barangkali ini akan mengalami kendala, karena  di Jombang tidak banyak situs-situs serupa arimbi yang memenuhi dua syarat tersebut. Kabar baiknya, di arimbi ternyata masih ada beberapa relif lagi yang belum dimanfaatkan. Yaitu relief-relief yang terpahat di bangunan candi utama. Relief tersebut kira-kira bercerita tentang kehidupan di masa candi itu dibuat, yang terdiri dari relif cerita petani, kehidupan antara lelaki dan perempuan, gaya hidup, beberapa binatang, serta salur-salur dan bunga-bunga. Bila relief ini dieksplorasi untuk motif-motif baru, maka bisa dipastikan batik Jombangan akan semakin kaya.

Alternatif lainnya adalah meliarkan imajinasi dengan menggali keunikan-keunikan baru.  Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Ibu Maniati. ''Dahulu saya mengawali membatik dengan menggunakan motif jumputan," ungkapnya kepada penulis. Motif jumputan yang dimaksud Maniati berbentuk lingkaran yang lobang tengahnya, dengan diameter kurang lebih  dua centimeter. Motif yang demikian itu, menurut pengalamannya yang telah mengikuti berbagai even pameran, belum pernah ada di Indonesia. Motif lain yang pernah diciptakannya adalah motif ikan lele. Inspirasinya mungkin karena Maniati juga peternak lele. Dia membeberkan, bahwa batik dengan motif ikan lele ini pernah laku lima juta rupiah, dibeli oleh Menteri Perdagangan, Ibu Marie Elka Pangestu. Namun sayangnya, motif-motif demikian di masyarakat Jombang justru tidak populer.

Adapun kesejarahan dipakainya salah satu relif arimbi sebagai motif batik Jombangan, bukan berangkat dari ide perajin batik. Tetapi konon karena adanya keinginan elite pemerintahan Jombang untuk memperkenalkan keberadaan Candi Arimbi pada masyarakat luas. Bila demikian adanya, maka ada dua pola mengeksplorasi motif batik. Yaitu eksplorasi yang dilakukan pemerintah (top down) serta hasil kreasi masyarakat (bottom up). Dua pola ini nampaknya masih relevan untuk terus dilakukan.

Sambil melakukan eksplorasi tematik yang sifatnya besar itu, inovasi-inovasi kecil berupa penciptaan variasi- variasi baru motif  arimbi yang sudah kita punyai juga perlu dilakukan. Karena menurut hemat penulis, motif arimbi masih harus berkembang. Sebab terlalu sayang kalau berhenti hanya pada variasi-variasi yang sekarang ada. Semoga... (*)

Esai Fahrudin Nasrulloh


Teater dan Pesantren

Fahrudin Nasrulloh *)

Apakah itu teater? Untuk apa manusia membutuhkan teater? Kenapa orang-orang berpeluh tenaga dan keringat bermain teater? Apa ada kebajikan yang dibuahkan dari menggeluti teater? Barangkali demikianlah orang pesantren yang awam atau yang merasa punya riwayat dengan pesantren yang kurang mengenal teater akan bertanya-tanya semacam itu. Jawabannya sederhana: di pesantren nyaris tidak dikenalkan bahkan dikembangkan seni teater yang bagi mereka tidak lebih sebagai produk budaya Eropa-Barat yang hingga kini telah menjadi bagian dari seni pertunjukan moderen di Indonesia dan mendapatkan apresiasi yang luas di seluruh belahan dunia.

Berteater adalah menghirup keseharian, memaknai keberadaan diri atas nama kenyataan, dengan secermat mungkin, dengan yang biasa-biasa saja, merasakan aliran darah mengalir di urat-urat nadi. Menghayati tubuh yang bergerak, pikiran yang berkembara, orang-orang yang berpusaran dalam rutinitas keseharian dengan berbagai macam persoalannya. Dengan kesadaran apakah diri manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki atas eksistensinya. Tapi kenapa menjadi penting bahwa keberadaan diri harus dicari di dalam teater, bukan di luar teater? Apakah jika manusia merasa kehilangan diri, hingga sedemikian perlunya berikhtiar untuk menemukan diri? Di situlah teater sebagai sebuah seni menghadir. Seni berpikir, seni bergerak, seni menyikapi kesementaraan hidup, seni: apakah kita mencintai hidup atau membencinya, seni bagaimana Tuhan menciptakan semesta hingga manusia berpikir dengan cara yang bagaimanakah Tuhan menciptakan itu semua.

Teater sebagai seni mengandung nilai, pertama sebagai kekuatan efek dalam setiap adegan yang mengundang penafsiran yang berpijak atas pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menggelarkan pengalaman batin, tentang pikiran tokoh, kepribadian dan sesuatu dorongan kenapa seseorang bertindak dan menentukan keputusan.  Ketiga, teater sebagai seni yang kompleks yang melibatkan sejumlah aktor, penulis naskah, sutradara, asisten sutradara, penata pentas atau busana atau cahaya, koreografer, dan pengolah musik. Dari kompleksitas itulah teater menemukan kekuatannya dalam sebuah kerja sama yang solid dan bertanggungjawab demi suatu penciptaan pelakonan yang tunggal.

Pengalaman manusia, dalam konteks lelaku teater, berusaha merekam pola-ragam pengalaman-pengalaman itu yang di dalamnya berbagai persoalan dapat diungkai, dieksplorasi, dan mengurai sebab-akibat suatu peristiwa. Perspektif sejarah, filsafat, dan disiplin keilmuan lain sangatlah menunjang bagi sejauh mana sebuah pementasan teater disajikan. Walau yang dipentaskan oleh teater adalah art experience (pengalaman seni) bukan life experience (pengalaman hidup), karena itu hakikat teater sebagai bentuk seni menghadirkan yang fiksi dan imajinasi.

Maka hal yang serasa samar-samar menggelayut dalam pola berpikir yang filsafati misalnya akan menemukan fungsinya pada semisal sebuah pemanggungan teater Dinasti dari Jogja yang pada 23 Agustus 2008 menyajikan lakon Tikungan Iblis di Taman Budaya Yogyakarta, dengan sutradara Emha Ainun Nadjib. Pengalaman yang demikian bisa ditemukan dalam adegan demi adegan di mana manusia berhadapan dengan manusia yang berpikir kritis seperti iblis.

Kenapa dengan iblis? Dalam Tikungan Iblis itu diilustrasikan kerusakan di bumi juga disebabkan oleh manusia, bukan iblis yang selama ini dijadikan kambing hitam atas segala keterkutukannya. Apa kira-kira yang perlu didengar dari iblis? Apa manusia telah menyerupai perilaku iblis? Tidak sekedar pesan, tapi ada pemikiran yang mengalir di sana, dalam pementasan itu, yang sesaat, lalu penonton pulang, dengan atau tanpa membawa sesuatu apa. Di dalam peristiwa itulah teater berfungsi sebagai ajang "pertemuan" dalam ruang sosial yang disebut panggung, dengan corak pikiran dan apresiasi penonton yang bermacam-macam.

Kini kita bertanya, bagaimana orang-orang pesantren memahami seni, dalam hal ini teater? Seperti apakah pemahaman mereka? Apakah orang-orang pesantren mempunyai pemikiran tentang kesenian atau kebudayaan? Ya, kita akan teringat sebutan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di tahun 60-an di mana tokoh sastra dan film seperti Asrul Sani dan Usmar Ismail menyokong berdirinya lembaga ini di bawah panji-panji kebesaran NU. Namun kini LESBUMI tidak kedengaran lagi. Namun wacana ini tidak menjadi fokus di sini.

Sastra dan "Teater Pesantren"

Teater dan pementasannya adalah menghadirkan suatu peristiwa. Peristiwa yang bisa disuling dari hal yang nyata maupun yang fiksi. Pementasan teater bisa berdasarkan pada naskah drama, novel, cerpen, suatu peristiwa yang dianggap penting, maupun dari sepotong puisi. Dari naskah drama banyak sekali contohnya, semisal dari naskah-naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, W.S. Rendra, Heru Kesawamurti, dan lain-lain. Dari novel semisal pementasan Ladang Perminus yang digarap oleh grup MainTeater Bandung yang disutradarai oleh Wawan Sofwan yang penggarapannya didasarkan pada novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH.

Mari kita cuplikkan satu contoh pemanggungan teater yang berdasarkan suatu peristiwa berikut ini:           

Nuremberg, Jerman, Mei, tahun 1928, di suatu sore. Seorang lelaki dengan langkah terhuyung-huyung, jatuh dan bangun lagi. Seperti seorang bayi ia merangkak tanpa bisa berkomunikasi. Tak ada yang tahu asal lelaki ini. Satu-satunya petunjuk adalah secarik surat yang dibawanya. Surat tersebut menjelaskan lelaki itu sejak lahir disekap dalam dalam kotak di gudang bawah tanah dan tak pernah melihat matahari terbit.

Berita kemunculan lelaki itu segera membuat geger. Warga Nuremberg menganggap lelaki itu sebagai makhluk liar lalu menggotongnya ke penjara kota. Segeralah diketahui bahwa lelaki itu tidak bisa menggunakan jari-jemarinya, dan tidak bisa membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Ketika disodori kertas dan pensil, ia agak gugup, kemudian dengan susah payah ia menuliskan namanya: "Kaspar Hauser".

Dokter mengira apa yang dituliskan itu baru dilatihkan oleh seseorang. Dari hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa lelaki itu tidak pernah melihat matahari, tidak pernah melihat orang lain, kecuali orang yang memberinya makan.

Kaspar kemudian disosialisasikan. Ia dijadikan obyek kunjungan dokter, ahli hukum, dan aparat pemerintah dari seluruh Eropa. Teka-teki tentang dirinya belum banyak terpecahkan, dan pada 1933 secara tragis Kaspar ditikam oleh seseorang yang tak dikenal. Penduduk Nuremberg menulis epitafnya: Di sini dikuburkan seorang misterius yang terbunuh secara misterius. (D&R, 1998: 34-35)

Nukilan peristiwa tersebut kemudian oleh novelis Peter Handke dari Austria digarap dalam bentuk sebuah pentas teater berjudul Kaspar. Namun ia garap dengan perspektif lain meski masih menguat karakter si Kasparnya. Peter menyajikan bagaimana kerja para teknokrat, birokrat dan ilmuan dalam membuat keberadaban manusia yang belum dianggap beradab. Naskah eksperimental ini dipanggungkan pada 1967 dan 1968 di Jerman. Kemudian di Indonesia, naskah Kaspar pernah dipentaskan Teater Payung Hitam Bandung pada 1994-2003.

Bagaimanakah dengan naskah-naskah yang bermuatan dengan nilai-nilai keislaman atau kepesantrenan? Naskah Iblis karya Muhammad Diponegoro bisa dijadikan contoh. Atau Tikungan Iblis di atas. Atau yang berdasarkan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang selanjutnya menghasilkan pementasan Lautan Jilbab. Ataupun cerpennya "Ambang", dalam kumpulan cerpen Yang Terhormat Nama Saya (Sipress, Yogyakarta: 1992), yang menyoal hubungan eksistensial antara si hamba dan Tuhan. Terkait dengan tematik "iblis", inspirasi bisa saja muncul untuk menjadikannya sebagai naskah teater. Sebagaimana peristiwa Kaspar Hauser, psikologi sufi yang akrab dengan dunia pesantren bisa saja menjadi pertarungan wacana yang memikat untuk dipentaskan. Seperti cuplikan peristiwa atas sosok sufi Al-Junayd ini dalam pertarungan batiniahnya dengan iblis:

Telah diceritakan bahwa Junayd berkata, "Pada suatu ketika aku sangat ingin bertemu dengan Iblis. Pada suatu hari, aku sedang berdiri di pintu mesjid tatkala seorang tua berjalan ke arahku dari kejauhan. Ketika aku bisa memandangnya dengan jelas, rasa takut tiba-tiba mencekam diriku. Saat dia datang mendekatiku, aku berkata, ‘Siapa engkau wahai orangtua? Mataku tak dapat melihatmu dengan jelas karena rasa tercekam, dan hatiku pun tak dapat memikirkan engkau.' Dia menjawab, ‘Aku adalah sesuatu yang kau inginkan.' Aku menyahut, "Wahai Iblis, makhluk terkutuk, apa yang menjadikan engkau bersujud kepada Adam?' Dia menjawab, ‘Wahai Junayd, apa yang memberimu gagasan bahwa aku akan bersujud kepada yang lain selain pada Allah?' Junayd merasa terpesona dengan kata-katanya. Lalu muncullah bisikan yang mengiang di telinganya agar menimpali si Iblis dengan kalimat: Engkau berdusta! Jika engkau benar-benar seorang hamba, engkau tentu tak akan pernah melangkahi perintah dan larangan Allah. Iblis mendengar bisikan itu dari hati Junayd lalu sontak berteriak, ‘Engkau telah membuatku terbakar, karena Allah!' Dan Iblis pun menghilang." 

Pegiat teater yang baik adalah juga pembaca yang baik, lebih-lebih dalam pengayaan membaca buku-buku sastra. Sejumlah cerpen Danarto merefleksikan dunia Islam-kejawen yang mistis, magis, sublim, absurd, dan multi-tafsir telah mengantarkan sosoknya sebagai "penulis sufi" dalam khazanah sastra Indonesia yang cukup diperhitungkan. Banyak hal yang dapat dijadikan inspirasi pengeksplorasian lewat cerpen-cerpen Danarto semisal dalam kumpulan cerpennya Adam Ma'rifat (Balai Pustaka, Jakarta: 1992), Godlob, ataupun Berhala (Pustaka Firdaus, Jakarta: 1996). Pemikiranwahdatul wujud tercermin dalam karya-karyanya. Meski demikian, atmosfir cerita-ceritanya, menurut Umar Kayam, masih tetap dalam rangka bagaimana manusia yang bertuhan memahami sekaligus memuliakan misteri keesaan Sang Pencipta.

Cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami pernah disebut Gus Dur sebagai representasi sastra kepesantrenan yang menggelontorkan pertarungan batin si kakek dengan tokoh Ajo Sidi tentang hakikat ibadah, sorga, pengabdian tampa pamrih, dan pilihan tokoh si kakek yang putus asa lalu bunuh diri, dan kondisi surau yang perlahan-lahan mau roboh sebab tiada yang merawat setelah peristiwa matinya si kakek.

K.H. Mustofa Bisri dengan cerpen-cerpennya menyorongkan inspirasi yang menarik sebagai bahan pementasan. Kita bisa mencermatinya dalam kumpulan cerpen nyaLukisan Kaligrafi (Kompas, Jakarta: 2003). Cerpen "Gus Jakfar", "Mubaligh Kondang", "Ngelmu Sigar Raga" atau "Amplop-amplop Abu-abu" misalnya benar-benar menyuguhkan ilustrasi bagaimana potret riil dan ruang lingkup interaksi sosial di pesantren terhadir begitu mendalam yang tercermin pada tokoh-tokohnya, peristiwanya, suasana yang dibangun Gus Mus. "Gus Jakfar" pertama kali dimuat Kompas pada 23 Juni 2002 yang sontak mendapatkan apresiasi yang luas dari banyak sastrawan, terutama bagi kiai-kiai sejawat Gus Mus. Sejak itu, sastra pesantren mendulang harapan dari pelbagai pihak. Meski kini ia sudah lama absen menulis cerpen.

Novel Khotbah di Atas Bukit (Bentang, Jakarta: 2008) karya Kuntowijoyo menggulirkan sosok Barman tua bersama Popi istrinya yang menyingkir dan mengembara dari keramaian kota menuju sebuah bukit yang sepi untuk menemukan kedamaian hidup. Meski dalam rangka berlibur, mereka banyak menemukan dunia spiritual yang unik. Dan Kuntowijoyo mengisahkannya dengan penuh kelembutan penuh makna, dramatik dalam imajinasi, tanpa berkoar-koar mendesakkan pesan yang artifisial.

Beragam khasanah sastra di atas sekedar gambaran kecil di mana pegiat teater bisa menimba inspirasi untuk pementasan. Tentu masih banyak hal yang dapat digali dari dunia pesantren. Tidak hanya untuk berteater, dunia film juga telah mengangkat sisi-sisi dilematis di wilayah pesantren. Sebut saja film Perempuan Berkalung Sorban yang digarap Hanung Bramantyo dari novel dan dengan judul yang sama karya Abidah El-Khalieqy. Film 3 Doa 3 Cinta yang dibintangi Nicolas Saputra dan Dian Sastrowardoyo yang dibesut Nurman Hakim begitu apik sehingga film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2009.

  Tak terbantah lagi, pesantren memiliki dimensi sosio-kultural yang unik sekaligus problematik jika ditautkan pada landasan etik-moral Syari'ah-fiqhiyyah maupun aqidah-ubudiyah yang memungkinkan hadirnya "setapak jalan" untuk menjalin nilai-nilai ekspresif seni dan budaya, dalam hal ini teater. Mampukah nilai-nilai tersebut oleh pegiat teater di pesantren dapat ditumbuh-suburkan dan dikembangkan tanpa menggedor subtansi keimanan dan prinsip-prinsip etika Islam dan kepesantrenan?
 Walakhir, jika Tuhan dan apa yang diciptakannya adalah dunia yang acak, misterius, dan bak buku terbuka bagi siapa saja, maka tercetusnya seni dan pemikiran manusia tak lain atas sebab-Nya. Lantaran itu, segalanya bakal benderang untuk menuju cahaya-Nya.

Catatan:
Tulisan ini disampaikan pada acara "Orientasi Teater SATU dan Seminar Kekaryaan" yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Bahasa dan Sastra UNIPDU Jombang, pada 24 Desember 2009.

*) Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang