Jumat, 14 Januari 2011

Makalah Diskusi Sinematografi-3

“MENUMBUH KEMBANGKAN PEMBANGUNAN PERFILMAN SEBAGAI PRODUK KEBUDAYAAN

DAN INDUSTRI KREATIF DI KABUPATEN/KOTA SE JAWA TIMUR” *

Oleh : SYAHLAN HUSAIN*


Sebaiknya film juga diposisikan sebagai produk kebudayaan. Film juga merupakan variable yang mampu menggali serta mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya (multiculturism). Fungsi audio visual film sangat berperan sebagai medium budaya yang efektif dalam memaknai wawasan kebangsaan (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (character-building). Disinilah posisi strategis dalam mengoptimalkan film dalam pembangunan kebangsaan.

Film merupakan produk daya cipta manusia yang berhubungan dengan lingkungan dan tata nilai hidup. Pikiran ini menunjukkan betapa film Indonesia hendaknya memiliki idiom yang lahir dari nilai-nilai kearifan tradisi lokal. Lokalitas tradisi jangan diartikan anti modernitas, karena lokalitas tradisi juga dinamis, kontemporer. Lokalitas tradisi juga tidak anti rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Lokalitas tradisi seyogyanya dimaknai sebagai identitas.

Lokalitas bila dimasukkan “frame demografi” film di Indonesia, juga mengajak untuk melihat potensi perfilman di seluruh wilayah Indonesia. Ada perspektif desentralisasi. Artinya dinamika  pembangunan atau produksi film yang selama kusut ini terkesan hanya “bermukim” di wilayah Jakarta dan sekitarnya – terpusat  (sentralisasi) –  saatnya harus mulai diurai porsi penempatannya melalui pembagian kesempatan kepada wilayah-wilayah lain diseluruh Indonesia yang masih menyimpan potensi originalitas. Ada wacana desentralisasi. Pemahaman desentralisasi : proses produksi, ekshibisi dan distribusi film dapat lahir dari setiap daerah dan berada pada posisi setara. Jadi tidak ada lagi ini produksi pusat ini produksi daerah, ini creator pusat ini kreator daerah dan tidak lagi pemahaman ini artis ibukota  ini artis daerah. Semua berada posisi setara selama masuk ke wilayah spektrum kualitas.

Perkembangan teknologi digital yang sedemikian pesat dan terjangkau oleh masyarakat umum juga seharusnya menjadi factor yang mempermudah kreatifitas produksi. Apalagi dengan dukungan UU. No. 33, tentang perfilman yang sangat mendorong potensi seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk berkarya di bidang perfilman. Apalagi saat ini film juga dicanangkan sebagai salah satu dari empat belas sector ekonomi kreatif yang harus diorong pertumbuhan dan perkembangannya.

Lalu bagaimana dengan pembangunan perfilman di Jawa Timur? Dengan potensi sumber daya sangat melimpah,  membangun potensi film Jawa Timur adalah sebuah harapan prospek yang sangat menjanjikan.  Disinilah tantangan dan tanggung jawab seluruh stake holder (pemangku kepentingan) dalam mengambil peran mulai dari produksi, promosi, ekshibisi dan distribusi.

Seyogyanya ekonomi kreatif dapat direspons secara positif peluang-peluangnya. Ekonomi kreatif yang mulai ramai dibicarakan sejak tahun 2006, ketika Dr. Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan meluncurkan program Indonesia Design Power, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia.  Dari segi definisi, ekonomik kreatif dirumuskan sebagai “industri-industri yang mengandalkan kreatifitas individu, ketrampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan peciptaan tenaga kerja melalui pencitaan (gagasan) dan eksploitasi Hak Kekayaan Intelektual”.

Film sebagai bagian Subsektor Industri Kreatif perlu dikembangkan di Jawa Timur karena:
  1. Membangun citra dan identitas Jawa Timur (mampu menjadi Ikon, Kepariwisataan, membangun budaya, warisan budaya & nilai lokal)
  2. Memberikan kontribusi Ekonomi yang signifikan (meningkatkan• Product Domestic Regional Bruto, menciptakan lapangan pekerjaan,  membuka peluang ekspor)
  3. Menciptakan Iklim bisnis yang positif (penciptaan lapangan usaha, berdampak bagi sektor lain, peluang pemasaran)
  4. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa (Ide & Gagasan, penciptaan nilai).
  5. Berbasis kepada Sumber Daya yang terbarukan (berbasis pengetahuan, kreatifitas, dan green community).
  6. Memberikan dampak sosial yang positif (peningkatan kualitas hidup, pemerataan kesejahteraan, dan tolereansi sosial).
Pengembangan industri kreatif perfilman tidak lepas dari peran triple helix cendikiawan, pemerintah dan bisnis yang saling bersinergi mutualis, untuk melahirkan kebijakan-kebijakan.
 
Secara umum komitmen triple helix ini bila diterjemahkan dalam konteks Jawa Timur harus meliputi 5 hal utama yaitu:
  • Kuantitas dan kualitas sumber daya insani sebagai pelaku dalam industri kreatif film, yang membutuhkan perbaikan dan pengembangan: lembaga pendidikan dan pelatihan, serta pendidikan bagi insan kreatif;
  • Iklim kondusif untuk memulai dan menjalankan usaha di industri kreatif, yang meliputi: sistem administrasi negara, kebijakan & peraturan, infrastruktur yang diharapkan dapat dibuat kondusif bagi perkembangan industri film. Dalam hal ini termasuk perlindungan atas hasil karya berdasarkan kekayaan intelektual insan kreatif;
  • Penghargaan/apresiasi terhadap insan kreatif film Jawa Timur dan karya kreatif yang dihasilkan, yang terutama berperan untuk menumbuhkan rangsangan berkarya bagi insan film Jawa Timur dalam bentuk dukungan baik finansial maupun non finansial;
  • Percepatan tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi, yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, bertukar pengetahuan dan pengalaman, sekaligus akses pasar kesemuanya yang sangat penting bagi pengembangan industri kreatif film, antara lain: implementasi dari UU Transaksi Elektronik;
  • Lembaga Pembiayaan yang mendukung pelaku industri kreatif film, mengingat  lemahnya dukungan lembaga pembiayaan konvensional dan masih sulitnya akses bagi entrepreneur kreatif untuk mendapatkan sumber dana alternatif seperti modal ventura, atau dana Corporate Social Responsibility (CSR)

Kata kuncinya adalah semangat dan niat. Harus ada upaya melahirkan karya-karya yang kualitatif, dan inovatif ; baik dari segi thema maupun “kenakalan-kenakalan” estetika baru. Kualitas tersebut, juga harus dimulai dari konsepsi ide sampai pada pasca produksi (ekshebisi dan distribusi), yang pada akhirnya mampu melahirkan sebuah “kebudayaan menonton produksi film nasional”, minimal oleh audiens dalam negeri.

 ---------

* Makalah ini disampaikan dalam diskusi film Jombangan 2010 tanggal 28 Desember 2010 di aula PSBR
** SYAHLAN HUSAIN  (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jawa Timur)

Makalah Diskusi Sinematografi-2

“KUNCINYA, BEBASKAN IDE”

Oleh : Tophan Tohary*


Indie…indie…indie

Seiring bangkitnya film Indonesia, gerakan film indiepun menjadi sangat fenomenal. film indie menjadi sebuah momentum bagi kaum muda sebagai sebuah ruang ekspresi yang membebaskan serta tidak dibelit dengan persoalan birokratis didalamnya. Menjadi media yang mewakili jatidiri kaum muda; bebas dan bersemangat. Sebuah pergeseran wacana dari penonton, menjadi pembuat. Lahirnya sejumlah komunitas film di berbagai pelosok Indonesia merupakan salah satu parameter bahwa film Indonesia memang sedang menjadi wabah kreatif saat ini. Dana dan fasilitas yang terbatas bahkan pengetahuan yang kurang memadai tidak lagi menjadi persoalan, demi sebuah produksi film.

Film indie akan dicari penikmat film jika sanggup menyuguhkan hal yang berbeda dari suguhan film komersial, kelebihan film indie adalah lebih idealis jika dibandingkan dengan film komersial, karena film komersial sudah tercampur tuntutan untuk sukses di pasaran. Pesan yang disampaikan oleh film indie biasanya masih murni, berbeda dengan pesan dalam film komersial yang sudah dicampuri kepentingan pemilik modal, Perkembangan film indie tentu tidak lepas dari hambatan yang mengiringinya. Hambatan utama dalam perkembangan film indie akhir-akhir ini adalah kurangnya forum, wahana atau sarana untuk mengapresiasi film indie,

Ada beberapa kebiasaan kurang baik yang dilakukan oleh seniman-seniman pembuat film indie. Setelah film mereka sukses, mereka lantas meloncat pada pembuatan film komersil dan melupakan pembuatan film indie. Akibatnya, film-film indie yang mereka hasilkan sebenarnya bukan dibuat dengan semangat ”ke-indie-an”, melainkan dihasilkan dengan harapan bisa mendapat proyek-proyek film komersil.

Memang, pada mulanya mereka membuat film indie, tapi ’timik-timik’ mereka beralih ke film-film ’indie-ustri’ (baca: industri). Yang patut disayangkan, ketika mereka sudah menggarap film ’indie-ustri’, mereka tak lagi menghasilkan film-film indie.

Selain pembuatan film indie masih didasari tujuan terselubung untuk menuju film komersil, para seniman film indie juga masih menghasilkan film-film yang kurang kuat secara sinematografi. Film-film indie yang mereka hasilkan, rata-rata masih didominasi oleh dialog-dialog daripada bahasa kamera. Padahal, film-film berkualitas dari luar negeri, selain memiliki dialog-dialog berkualitas, juga sangat kaya dengan bahasa-bahasa kamera.

Kendati rata-rata film indie masih memiliki banyak kelemahan, untuk memproduksinya juga bukan perkara sederhana. Masalahnya, selain seniman harus menanggung biaya sendiri, mereka juga harus mencari aktor dan kru yang mau bekerja sukarela, serta harus memikirkan bagaimana mendapatkan gambar yang baik dengan peralatan yang serba terbatas.

Jadi meskipun film indie hanya mengangkat kisah-kisah sederhana, untuk membuatnya tetap saja butuh biaya. Bila yang membuat bukan orang yang benar-benar cinta pada dunia film, pasti akan berpikir ulang untuk memroduksi sesuatu yang jelas-jelas tidak ada nilai provitnya. Hal-hal sederhana seperti inilah yang kadang tidak pernah kita perhitungkan dari seniman-seniman pembuat film indie,

Dokumenter…

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama kali digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.

Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.

Sebenarnya proses pembuatan sebuah film dokumenter hampir-hampir lebih rumit. Karena harus ada riset terlebih dahulu, dan riset tersebut tidak hanya berlangsung sehari dua hari. Bisa jadi berbulan atau bahkan bertahun tahun. Semisal dalam pembuatan dokumenter tentang kehidupan singa di padang Afrika. Maka perlu riset panjang meneliti sang singa dan lingkungan tinggalnya. Belum lagi saat ekseskusi gambar, pembuat dokumenter sudah harus paham resiko perubahan cuaca dan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses tersebut.

Tidak heran bahwa film dokumenter dirasa adalah film yang hanya bisa di kerjakan oleh “orang tua”. Dengan demikian teman-teman pelajar remaja jarang yang tertantang untuk bisa menghasilkan film dokumenter. Namun saat bicara format indie, sebuah film dokumenter dengan segala tetek bengeknya dikembalikan kepada si pembuat. Kuatkan kembali idealisme, semangat, lalu mulai. Sekarang!


BELAJAR LAGI, JOMBANG MAMPU MADJU!!!
------------

* Penulis adalah pegiat film indie di kelompok belajar seni SUKARMADJU
 

Otobiografi Tophan Tohary :
Nama                           : Taufan Latief Alimudin Akbar
Terlahir                        : Topan Peggy Megalies Tohary
Tempat lahir                : Majalengka
Tanggal lahir               : 5 Maret 1986
Domisili                       : Desa Mojokendil Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk
Istri                              : Nana
Anak                           : Zea Mays Muhammad Tohary
Orang tua                    : Totang Tohary
                                      Liesnawati Mega Puspa
Saudara                       : Badai Gale Megalies Tohary
                                      Ram S.
Pendidikan saat ini      : Semester 7 Pertanian di Unisda Lamongan
Kelompok kesenian     : Kelompok Belajar Seni SUKARMADJU


Karya yang sempat tercatat (Film)
  1. KACAMATA ( 2006)
  2. KADO BUAT EMAK (2007)
  3. OMAH DEBOG (2007)
      bersama kelompok Galuh Wening, sebagai Kamera Person
  1. JOMBANG XYZ (2008)
  2. SMS (2008)
  3. NAMAKU SELEBRITI (2008)
  4. SI TOMPEL (2008)
  5. REMAJA MEMBARA (2009)
  6. SUKARTI MADJU (2009)
  7. MARTO (2009)
  8. MATAHARI DI PUSAT BUMI ( 2010) dokumenter
  9. SETENGAH MALAIKAT SEPARO IBLIZ (2010)
  10. ORANG TERAKHIR (2010)
  11. PENCULIK MIYADI (2010)

Makalah Diskusi Sinematografi-1

Film Indie dan Sorotan Kecil Film Indonesia

Fahrudin Nasrulloh*

            Dewasa ini pertumbuhan di dunia sinema di tanah air begitu meriah dan rambahan kreativitas serta jenis-jenisnya mengalami perkembangan yang luar biasa. Melihat itu semua, di perbagai daerah segala macam kreatifitas pembuatan film independent juga bertebaran berbarengan pula dengan komunitas-komunitas film di dalamnya. Bagaimana semua elemen yang mendukung serta persoalan-persoalan apa saja yang dialami di berbagai daerah itu? Tentu saja para pelaku filmlah sendiri yang memiliki catatan-catatan proses pembuatan film itu yang dapat berbagi pengalan bersama kita.

            Di sini saya ingin mencoba menautkan dunia film yang digeluti para pelakunya (film indie) dengan dua hal: sastra dan teater. Saya sempat menangkap apa yang tersirat dalam perkembangan belakangan ini tentang dunia perfilman Indonesia. Sejauh manakah kontribusi dan pengaruh sastra maupun teater di dalam sebuah produksi film? Slamet Rahardjo pernah menyitir hal ini dengan mengatakan, yang kurang lebih, seperti ini: “Jika sastra jelek, maka teater juga jelek. Jika keduanya demikian, bagaimana film Indonesia kita bisa maju.” Tentunya ekplanasi lebih luas diperlukan dalam mengurai statemen sutradara kawakan yang mulai bersinar ketika ia menggarap film Rembulan dan Matahari ini.

            Maka fungsi sastra, pemahaman dan upaya penghayatan dalam mengeksplorasi skenario menjadi pertaruhan yang tidak gampang, tidak asal-asalan dalam pembuatannya. Kemampuan peran juga demikian, dan teater sebagai kawah penggodokan bagi para pemain film menjadi hal yang niscaya.

Melongok Suara dan Setengah Malaikat Separo Iblis

            Dua film indie yang dibesut para sutradara dari Jombang bisa dijadikan telaah, bagaimana sineas lokal kuasa menyodorkan hasil karyanya untuk diperbincangkan dalam berbagai aspek tilikan. Pertama film berjudul Suara. Film berdurasi 7 menit 19 detik ini dibuka dengan menghadirkan lanskap pagi yang cerah. Dari pemilihan judul mungkin penyimak bertanya-tanya, “suara” apakah yang bakal muncul? Seorang gadis tiba-tiba menyibak jendela dengan perlahan. Musik melankolia mengiringi. Lalu muncul seorang lelaki berambut gondrong (Andy) berjalan di teras rumah yang berasitektur agak lawas dan kemudian terdengar sepentil suara yang mendeskripsikan sosok ini:

Pagi, seperti juga pagi-pagi yang kemarin. Seperti juga seribu pagi yang kemarin. Ah, menjengkelkan. Hidup memang busuk, menggumpal, lantas berpendar buyar bagai asap. Ah, siapa, siapa yang menginginkan duka. Siapa yang sanggup menderita penyakit aneh yang bersarang di tubuhku.

            Selang sekian detik, muncul dua orang datang yang disambut penjaga kebun yang menanyakan lelaki itu kenap belum juga diusir dari rumah tersebut. Tidak dijelaskan. Dan hal itu memang sengaja dimaksudkan demikian, sebagai keringkasan alur. Di akhir fragmen, si lelaki dengan wajah kusut pucat duduk di kursi teras lalu saat menuangkan air aqua ke dalam gelas dan hendak meminumnya, dengan tangan gemetar, ia begitu tak berdaya, hingga gelas itu terjatuh pecah dan ia ambruk. Penutup fragmen ini dilambari dengan sepentil suara yang mengalun: “Andai semua bersahabat. Seperti angin, seperti daunan dan air.” Agak bisa ditebak, si lelaki ini adalah si pesakitan akut yang karenanya penyakitnya ditakuti sebagai wabah ganas dan sebab itu dibenci.

            Nuansa panggung berteater dalam film pendek Suara ini sangat kental. Mencoba menggambarkan situasi pengidap penyakit akut dengan baluran puitisasi dalam iringan “suara batin” si aktor. Film ini dibesut oleh Fananie, dengan beberapa kru pendukungnya. Pemain: Andy, Diryo, Yatno, Maria, Ana. Diproduseri oleh Nasrul Ilahi. Copyright: Lemproduktif 2004.

Film pendek yang kedua adalah Setengah Malaikat dan Separo Iblis yang berdurasi 5 menit 49 detik ini digarap oleh Taufan dari Kelompok Belajar Seni Sukarmadju. Taufan yang sering disebut dengan nama Tophantohari ini telah menggarap sekitar sepuluhan lebih film pendek. Film ini berkisah tentang persoalan anak kos-kosan, atau tepatnya remaja sekolahan. Kehidupan di kos dengan segala petualangannya. Beberapa aktor ditampilkan: Hafidz Subarkah (as him self), Vrisdha AKW (Mona), Tomy S (Udin), Taufan L (Roy), dan Yusi Agusti N (anak ibu kos). Yang ditawarkan film ini menusuk pada libido darah remaja, di mana pada suatu hari Udin dan Roy mengajak mencuri di Barkah. Barkah ogah. Ia ditinggal dan diejek. Ia termenung sendiri di kamar kosnya. Nonton teve. Ada tayangan dangdut. Ia tergairah penyanyi bahenol dangdut yang aduhai. Mencopot celananya. Hendak onani. Ia matikan teve. Berpikir sejenak. Bergegas ke kamar mandi. Keluar, pikiran korat-karit. Masuk kamar mandi lagi. Suara sabun dikucuri air. Suara cekecekecekecek!! Alah, sepintas penonton dibuat gerah. Kurang ajar anak ini. Tapi tidak. Ia mengosok-gosok mukanya. Bukan batangnya. Ia keluar kamar mandi. Menuju kamarnya: sholat. Dan seterusnya. Hingga sepersekian detik film ditutup dengan iringan 2 lagu: “Harga Diri” (dari Wali Band), “Shalawat” (dari Trio Tampan).

Mamang ada beberapa kewaguan atau kejanggalan dalam satu atau dua adegan. Misalnya saat si salah satu teman Barkah yang mengajak mencuri. Aksen ajakan yang tiba-tiba itu seolah benar-benar hapalan dari teks. Ada sedikit tegang yang belum terkendali, segingga situasi kewajaran berlum maksimal. Mungkin perlu ada sedikit obrolan padat tapi berkesan tanpa kepanjangan untuk menggambarkan suasana kos saat itu. Film ini menegaskan bahwa persoalan anak yang beranjak dewasa bukanlah masalah sederhana. Mereka harus benar-benar berhati-hati pada perubahan-perubahan zaman yang kian mendesak kepribadiaannya. Namun, uapaya pada diri sendiri untuk berbuat benar dan tidak neko-neko tersirat pada film ini. Kita diajak untuk berpikir, bagaimana seharusnya berbuat jika dihadapkan pada keadaan yang demikian.

            Secara tema dan konflik kecil yang dibangun dalam film ini jika ditilik dalam kajian sastra (baca:cerpen) telah menampilkan keunikan tersendiri: letupan humor dan ironi. Pertanyaan kecil saya: apakah 2 film indie tersebut mengembangkan imajinasi anda dalam berbagai perspektif atau sebaliknya? Baiklah mari kita cermati sebagai bandingan di ladang film Indonesia yang lebih luas.

Sorotan Kecil Film Indonesia

Saya mencoba mengkritisi sejumlah film yang digarap beberapa waktu lalu. Terasa ada yang membuat ambleg (rontok) imajinasi saya. Pertama film Lari dari Blora (sutradara Ahlis Suryapati) yang dibintangi oleh WS Rendra. Teman yang di Jogja juga bilang, “Semua film yang dibintangi Rendra nggak ada yang masuk festival. Berarti jelek semua!” Respon semacam itu hanyalah sebagian kecil dari beberapa orang yang punya perhatian akan perkembangan film di tanah air saat ini. Ketika para sineas makin bertebaran dan industri film kian berkembang pesat, maka, apa pun jenis film bisa saja diproduksi. Film-film seperti Merah Putih (sutradara Yadi Sugandi), Merantau (Sutradara G. Evans) diniatkan si produser sebagai tawaran meski spekulatif pada publik yang selama ini dihamburi film-film horor dan komedi “ngesek” yang jelas-jelas tidak bermutu itu.

            Sepinya kritik dan kritikus film sebagaimana dulu pernah ditulis dengan tajam dan membangun oleh semisal Asrul Sani atau Salim Said, kini sudah jarang dilakukan. Paling-paling hanya ulasan kecil atau resensi film di beberapa media atau koran. Maka, hal penting apakah sekarang jika kita mencermati film-film Indonesia dengan mendasarkannya pada nilai-nilai keindonesiaan yang sebenarnya, bukan yang dibuat-buat? Ini tercermin semisal pada Lari dari Blora. Tokoh Simbah, sesepuh warga masyarakat Samin, yang diperankan oleh WS Rendra tidaklah menghadirkan secara wajar dan sesungguhnya sebagai tokoh panutan warga Samin. Karakter Rendra yang “Rendra” sangat kuat di sana. Kita tidak melihat Simbah Samin, tapi Rendra yang orator dan kritis sebagaimana di panggung-panggung pementasannya. Keseluruhan isi cerita mendesakkan tampilan Blora, sementara jalinan cerita dan tokoh-tokohnya terasa “hampa” dan penuh “khotbah” tentang gawatnya pengaruh asing terhadap warga Samin serta kekhawatiran daerah Samin yang bebas nilai tapi santun dan saling menghargai itu dijadikan sarang teroris.

            Tidak disangkal bahwa film adalah juga barang dagangan selain tema garapan, pangsa pasar, sutradara, sponsor, penyutradaraan, pemasaran, teknik sinematografi, keaktoran dan lain-lain. Film memang merupakan seni ajaib yang tak pernah habis membangkitkan inspirasi bagi siapa pun. Namun adakah semua itu dapat menghasilkan film yang bermutu, yang dapat mengimbangi serbuan sinetron dan reality show yang nyata-nyata tidak mendidik itu? Arifin C Noer menegaskan, “Jika semangat membikin film untuk dagang, maka rata-rata hasilnya akan buruk dan membodohi penonton. Sebab film adalah seni yang mencakup kompleksitas kreativitas, maka semangat seninya hari dieksplorasi terlebih dahulu, baru setelah itu semangat dagang. Film yang baik akan menghasilkan respon yang baik, dan yang demikian itu merupakan nilai komersil yang berharga tinggi pula.” Tentu modallah yang berkuasa. Corak film dan animo pasar bergantung pada pemegang modal yang selama itu jadi pijakannya itulah yang menentukannya.

            Maka, dari beberapa paparan di atas, bagi kaum sineas, semangat untuk terus berkarya dan belajar dari banyak hal merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Untuk itu semboyan remeh dari seorang penggila nonton film ini perlu dicamkan: “Kalau kau belum nonton 1000 film, apapun film itu, jangan banyak komentar ngalor-ngidul soal film!” Dan terus terang, saya termasuk pembual itu, sebab film yang terakhir saya tonton adalah Shutter Island. Dan itu film yang ke 907 yang saya tonton sejak awal 2008. Jadi, ditambah 2 film di atas, baru 909 film yang saya tonton. Yah, demikianlah, semoga ada pengalaman yang bisa dipetik darinya.

-----
*Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan bergiat di Majavanjava Cinema Club. Lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan  Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang: 2009); kumpulan cerpen Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tajungpinang, 2010); kumpulan cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto: 2010); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009); kumpulan esai Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Email: surabawuk@gmail.com. Kontak person. 081578177671.

Makalah Bedah Antologi puisi “sajak kupu-kupu”

Proses Kreatif Itu Melahirkan Barisan Kupu-kupu*

Jr Dasamuka**


“bahwa untuk dapat memberi makna karya sastra, bahasa merupakan prioritas utama yang harus dikuasai ”  
-- A. Teeuw --

 Sebelum menyimak Antologi puisi “sajak kupu-kupu” karya mahasiswa program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang angkatan 2007;2010 ini, saya berusaha membayangkan seperti berada di pesantren, seperti bayangan saya ketika mendengar  Jombang Kota Beriman . Ketika saya masuk ke dalamnya ternyata saya tidak mendapati gambaran tentang pesantren seperti yang saya harapkan. Tapi buru-buru saya harus mencegah pikiran saya untuk “menyesal”, karena keinginan saya terlalu berlebihan dan begitu menghakimi. Bukankah penulis yang ada di Jombang belum tentu menulis tentang sastra pesantren, dan sastra pesantren juga belum tentu berasal dari Jombang.

Namun, saya melihat ada puisi-puisi berbentuk bangunan yang rasanya belum sempat dibangun sempurna tapi itu cukup membahagiakan. Semoga pembacaan ini hanya kecurigaan saya sebatas dan pembaca lainnya tidak. Setidaknya ketika melepas keinginan yang berlebihan, kesederhanaan dalam antologi sajak kupu-kupu ini bisa terbaca dan menjadi menarik.   

aku/
juga kau…/
adalah barisan kupu-kupu/
ketika sayap-sayapnya menjelma…./
bertebaran kesegala penjuru/
dan tertembak mati peluru mesiu//

Puisi berjudul sajak kupu-kupu tersebut diambil sebagai nama antologi ini. setelah membaca keseluruhan puisi, rasanya tepat jika judul tersebut dijadikan pengantar bagi pembaca untuk memasuki buku ini. Dari puisi tersebut saya khususnya (dituntun) menuju sebarisan kupu-kupu dengan berbagai sayap warna-warni, lalu sayap itu menjelma puisi dan bertebaran kesegala penjuru dengan segala bahasa kibasannya. saya jadi ingin berdo’a seperti yang mereka puisikan, tapi, semoga sajak dalam antologi ini tidak bernasib sama seperti kupu-kupu yang tertembak mati peluru mesiu –pada akhirnya-.  Sebagai seorang penulis puisi, kita bebas terbang kemana saja (seperti kupu-kupu), juga bebas menentukan apa saja untuk dijadikan objek tulisan. Tetapi sebagai puisi (karya sastra), nasibnya ditentukan oleh pembaca (masyarakat). Terkadang mereka seperti orang yang membawa tembak dan bubuk mesiu. bebas menembaki hasil karya kita(kritik).

Perlukah menulis puisi sampai berdarah-darah?
Dalam pengantarnya, buku ini adalah klimaks dari perjuangan yang berdarah-darah. Sesungguhnya hampir tiap puisi mengandung paradoks. Pada satu titik puisi mengusung kenyataan dan di titik yang lain mengandung reaksi terhadapnya (ada hal lain yang ditawarkan). Menjadi mudah jika hanya menuliskan kenyataan yang lazim namun, menjadi sangat susah jika harus menuliskan reaksi atas kenyataan tersebut. Dalam antologi “sajak kupu-kupu” ini, kebanyakan dari mereka mengusung kelaziman realitas yang ada dalam wilayah batin mereka. Meski beberapa berusaha mencoba memberikan reaksi atas realitas dengan bahasa puisi yang coba dibangunnya. Kalau boleh saya katakan, mereka menulis puisi untuk wilayah pribadi –sebagai tahap awalnya-

Persoalan kemudian muncul dialami oleh penyair, soal pertama adalah bagaimana menyampaikan apa yang dialami atau dirasakan penyair itu (dunia dalam) kepada pembaca (dunia luar). Karena dunia umum memiliki banyak variabel dan kemungkinan. Pada saat itulah penyair memerlukan bahasa. Sebagai penyair harus menguasai bahasa agar dapat memberikan makna kata dalam teks puisinya. Soal kedua adalah bagaimana memilih kata atau diksi yang sesuai(karena kata adalah roh puisi) ada pendapat klasik dan melegenda(saya lupa siapa yang menulisnya) bahwa inti puisi adalah kata-kata, bagaimana menata kata agar menjadi wadah yang tepat bagi imajinasi dan perenungan sehingga membentuk bahasa puisinya sendiri, dan soal-soal lain yang muncul berikutnya. Dalam tahap inilah menulis puisi menjadi terasa susah, puisi sebagai respon atas kepekaan penyair dalam membaca objek yang ada disekitarnya atau kenyataan yang dialaminya.

Kepekaan itu tidak datang dengan sendirinya tapi membutuhkan proses yang panjang. Namun, akan menjadi mudah jika hanya menuliskan apa yang dirasakan dengan kata-kata indah saja tanpa memikirkan adanya reaksi atas apa yang terjadi. Ruang terbatas pada puisi, membuat kata-kata yang dibangun mempunyai beban untuk menyampaikan pengertian atau makna. seperti yang ditulis oleh Tjahjono Widijanto  dalam epilog untuk kumpulan sajak salam mempelai Tengsoe Tjahjono “bagi penyair mengolah kata adalah pengembaraan tanpa akhir”. Ruang terbatas itu membuat kita menjadi pengembara dalam bait dan baris.

Seorang penyair tidak secara tiba-tiba menulis puisi, meski momen menulisnya bisa tiba-tiba datang begitu saja. Banyak fase dan pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri, sebelum berhadapan dengan pena dan kertas atau keyboard dan monitor. Keutuhan bangunan teks puitik hanya akan terjadi jika struktur pembangun puisi yang digunakan sudah dalam proporsi  yang tepat (kata) sebagai wujud dari kematangan berbahasa penyairnya.

Stuktur karya sastra (puisi) seperti bahasa, fantasi, plot, realitas, pengalaman dsb, harus disajikan secara utuh dan tidak bertentangan dengan logika. Setidaknya logika sangat penting karena puisi harus bisa dipertanggung jawabkan, minimal logika yang dibangun.  Dianggap penting karena pembaca selalu menuntut penyair agar karyanya yang imajinatif sesuai dengan realitas kehidupan. Karena penyair bukan sekedar penulis tapi juga pembangun. Dalam hal ini karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai sejarah. Dalam catatan kecil perjalanannya, Timur Budi Raja menuliskan “sebuah karya kreatif (seni) dapat disajikan kepada publik pada saat karya tersebut telah matang karena perjalanan proses penciptaannya. Demikian pula karya sastra (baca: puisi) yang lahir memiliki nilai kesejarahan”. Senada dengan  Octavio Paz, ia pernah menulis “tiada puisi tanpa sejarah, tapi puisi tidak bisa memiliki misi lain kecuali mengubahnya”. Kawan saya yang lain Fahrudin Nasrulloh pernah bercerita tentang beberapa karyanya yang harus dibuang, diotak-atik lagi, setelah beberapa lama ia simpan dan ia tulis. 

Proses perjalanan panjang dalam menerbitkan buku antologi “sajak kupu-kupu”, menunjukkan bahwa para penulisnya membutuhkan proses kreatif dalam kepenulisan. Sebagian berhasil menjadi karya yang utuh dan sebagian lagi membutuhkan proses yang lebih panjang karena dianggap “gagal” dalam tanda kutip. Kegagalan pertama yang dialami oleh penyair dalam membangun bahasa, menghadirkan realitas tertentu dan gagasannya. Dalam menyampaikan gagasan kedalam karyanya, antara penyair yang satu dengan yang lain menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Hal ini tidak lepas dari pribadi itu sendiri yang mempengaruhinya. Dalam buku ini semua akan sepakat jika keragaman bahasa penulisan mereka berbeda-beda.

Karya sastra yang dihasilkan selebihnya berada ditangan pembaca, karya yang terdapat dalam antologi ini akan membuktikan apakah masing-masing karya itu berbobot atau tidak, perlu dibaca atau sebaliknya. Ataukah mati tertembus peluru dalam perjalanannya.

Setidaknya lagi, sajak kupu-kupu (antologi puisi angkatan 2007;2010) ini akan menjadi sejarah tersendiri bagi proses penulisan kreatif penyair-penyair baru yang ada di STKIP PGRI Jombang, menjadi jalan bagi penyair-penyair baru dalam perjalanannya menjadi penyair besar nantinya, menjadi dokumentasi karya sastra Jombang seperti buku-buku pendahulunya Jagad berkata-kata (antologi puisi angkatan 2006;2009), sebelum surga terbakar (antologi puisi angkatan 2005;2008).
SEMOGA……

------------ 
*  Makalah ini disampaikan pada acara bedah buku “sajak kupu-kupu” STKIP PGRI Jombang, tanggal 29 Desember 2010
**    Penyair. Berproses di Pondok Kopi Komunitas Sastra Mojokerto

Makalah Bedah Bedah Buku Kebokicak-1

Kembangan Versi Cerita Kebokicak

Fahrudin Nasrulloh*

Bagi si penelurus cerita rakyat, cerita kuno Kebokicak yang telah berkembang menjadi cerita tutur di wilayah Jombang bukanlah perkara gampang untuk dibabar-tuliskan. Satu sisi “sang cerita” telah menempat terutama pada ingatan orang-orang sepuh, dan hal itu sangat memungkinkan untuk terceritakan kembali pada orang lain, pada generasi selanjutnya. Satu kesulitan lain adalah cerita tersebut hingga saat ini tak tertuliskan, atau seandainya sudah ada yang menuliskannya, kita belum mengetahuinya. Artinya dalam konteks filologis adakah manuskrip ihwal cerita Kebokicak nyata-nyata tertemukan dan memiliki jarak masa tertentu sebagaimana yang secara akademis memenuhi persyaratan sebagai sumber keilmuan yang otentik dan akurat, misalnya naskah tersebut telah diserat oleh seorang pujangga di masa lampau, mungkin masanya bisa seratusan tahun silam, dan karenanya jika memang itu ada dapatlah dijadikan rujukan.

Maka yang fiksi dan yang fakta atas nama sebuah cerita, untuk sementara, kita posisikan dulu cerita Kebokicak itu di tengah-tengahnya. Boleh jadi cerita ini adalah dongeng, dan dongeng merupakan jalinan pengisahan dari masa ke masa yang berfungsi sebagai klangenan atau penandaan dari ritus sosial dan muasal lokus yang melatarinya.

Terkait itu, satu gerakan literasi dalam bentuk pelacakan cerita Kebokicak yang dilakukan mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2007, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, patut diapresiasi. Mereka melakukan penelusuran ke berbagai narasumber di Jombang, untuk selanjutnya dibukukan dengan judul Kebokicak Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).

Ada 13 versi cerita Kebokicak di sini yang tidak mengisahkan secara keseluruhan, namun dalam bentuk fragmen atau petilan: 1. Kebokicak Karang Kejambon (Versi Ketoprak). Narasumber: Ki Waras, usia 56 tahun, pimpinan ketoprak dan campursari dari Kedung Doro, Kecamatan Tembelang. 2. Hitam Tidak Menutup Putih (Kemenangan Surontanu), narasumber: Mohammad Kosim, 80 tahun, pemain ketoprak dari Dusun Tengaran RT 1/RW 1, Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan. 3. Desa Randu Watang. Narasumber: Ponari, 58 tahun, tokoh masyarakat dari Dusun Dero, Desa Kedung Betik, Kecamatan Kesamben. 4. Mati Satu, Harus Mati Semua (Mukti Siji Mukti Kabeh). Narasumber: Ki Harya Yahmad Hadi Pranoto, 58 tahun, seorang dukun dari Desa Brangkal, Kecamatan Bandar Kedung Mulyo. 5. Relikui Kebokicak Mosaik Jombang. Narasumber: Pariyadi, 64 tahun, seniman ludruk dari Gudo, dan Mbah Nur, 66 tahun, seorang guru spiritual dan pemuka agama Hindu dari Jl. Kandangan 24, Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. 6. Telatah Surontanu. Narasumber: Purwito, 57 tahun, ia mengaku sebagai keturunan ke-4 Surontanu yang tinggal di Dusun Sumonyono, Desa Cukir. 7. Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon). Narasumber: Sukono, 58 tahun, Jl. Mojoanyar Gang 7, Bareng. 8. Banteng Tracak Kencana. Narasumber: Jamadi, 80 tahun, Desa Sumber Nangka, Kecamatan Tunggorono. 9. Legenda Jombang (Pertarungan Kebokicak Surontanu). Narasumber: Ngaidi Wibowo, 63 tahun, lahir 10 Oktober 1947, Desa Dukuh Klopo, Kecamatan Peterongan. 10. Kebokicak Karang Kejambon. 11. Napak Tilas Joko Tulus. Narasumber: Abdul Hafidz, 80 tahun, tokoh masyarakat Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang. 12. Perebutan Kidang Tracak Kencana. Narasumber: Katijan, 70 tahun, ia adalah seorang dalang, guru karawitan dan guru sinden, tinggal di Jombatan Blok O No. 19, Kecamatan Jombang. 13. Dewi Mangurin dan Joko Tulus. Narasumber: Saleh, 81 tahun, di Desa Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.

Dari semua petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut menghadirkan corak yang berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada juga yang untuk sementara perlu diperjelas manakah pakem atau cerita baku dari keseluruhan cerita Kebokicak. Sebab tak ada otoritas yang bisa dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem dari kisah Kebokicak ini. Kiranya perlu pula upaya penulisan cerita ini terus dieksplorasi lebih dalam, konprehensif, dan bagaimana memilih informan yang benar-benar tepat yang selanjutnya data-data wawancara tersebut paling tidak mendekati pada semacam keselarasan dan “satu arus” yang merujuk pada kisahan Kebokicak yang akurat dan yang sebenarnya. Ini menjadi penting untuk pengembangan penelitian ke depan.

Jika merujuk pada penelitian skripsi yang dilakukan oleh Puspita Indriani, mahasiwa Unesa, dengan judul Pengaruh Cerita Rakyat Kebokicak Karang Kejambon Terhadap Masyarakat Pendukungnya (2003), menyebutkan bahwa versi cerita Kebokicak dibagi menjadi dua. Pertama versi abangan, dan yang kedua versi santri. Versi pertama menitik-beratkan pada masa kerajaan Majapahit saat rajanya adalah Brawijaya V. Yang kedua, versi santri yang menyiratkan masa Brawijaya V juga, namun anasir pesantren di daerah yang kini disebut Tebuireng itu dimunculkan dan menjadi lokus sentral.
Selain kita bisa membaca dan menilai dari 13 cerita tersebut, saya ingin melongok sisi lain dalam versi santri serta selubung silsilahnya dan cerita Kebokicak yang sudah pernah ditulis dalam bahasa Jombangan (ludrukan) oleh tokoh ludruk Jombang, Ngaidi Wibowo.

            Pada kisaran akhir 2008, saya melakukan wawancara perihal cerita Kebokicak dengan Kiai Hafidz dari Dapur Kejambon. Tuturan kiai ini saya susun demikian:

Tersebutlah sosok yang bernama Ki Nur Khotib, ia adalah menantu Kebokicak yang kala itu menjadi demang Karang Kejambon, yang ditunjuk oleh kerajaan Majapahit. Istri Ki Nur Khotib adalah putri Kebokicak, namanya Wandan Manguri. Wandan Manguri ini merupakan cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning. Wandan Kuning memiliki 2 anak. Yang pertama yakni Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng. Yang kedua adalah Wandan Wangi. Semenjak Wandan Kuning mengandung jabang bayi berupa Wandan Wangi, Brawijaya V sebagai suaminya menyerahkan istrinya tersebut kepada Mbah Pranggan di daerah Karang Kejambon. Ketika Wandan Wangi dewasa dikawinkanlah ia dengan Demang Kebokicak. Maka, Kebokicak merupakan menantu dari Brawijaya V. Mbah Pranggan adalah bapak tiri Wandan Wangi, dan Kebokicak adalah mantu tirinya (silsilah ini atas anjuran Kiai Hafidz perlu ditaskhihkan kepada Kiai Jamal di Ponpes Al-Mihibbin Tambak Beras Jombang, di mana beliau dianggap memiliki rekam-jejak yang baik terkait itu).

Kiai Muchtar konon berasal dari Banyuarang, Ngoro. Ia memiliki putra bernama Kiai Nur Khotib. Kiai Nur Khotib kemudian berhijrah ke Gembong Lekok, Pasuruan, dan dimakamkan di sana. Ia memiliki 2 putra: pertama Mbah Suropati atau Mbah Angklung. Yang kedua adalah Mbah Ali. Mbah Ali memiliki putri bernama Rubaniyah yang diperistri oleh santri pondok pesantren Mimbar dari Sambong yang bernama Nuruddin asal Sendang Duwur, Lamongan. Nuruddin dimakamkan di Desa Banggle, dan nama makamnya dikenal dengan sebutan Makam Mbah Surgi. Putra kedua Mbah Ali adalah Kiai Umar di Kapos. Mbah Ali wafat di Mekah sewaktu menjalankan ibadah haji bersama 4 putranya. Pulang dari Mekah tinggal 3 orang anak: Mbah Kiai Zen, Mbah Kiai Idris, dan Mbah Kiai Abdullah. Kiai Ali konon merupakan syekh pertama dari Jawa Timur. Menurut cerita tersebar, putra Kiai Umar adalah Kiai Farhan, dan Kiai Farhan adalah kakek Kiai Hafidz.

            Baiklah, sekarang, saya coba memasuki cerita Kebokicak dari versi ludruk yang pernah dipentaskan dan disutradarai oleh Kiai Farhan, Pak Ngaidi Wibowo, dan beberapa sutradara ludruk lainnya pada tahun 1970-an. Pada pengujung 2008, saya melakukan wawancara untuk penulisan Sejarah Ludruk Jombang, saya menyambangi Carik Karsono di Dusun Jalinan. Ia adalah tokoh gaek Ludruk Kopasgat yang pernah jaya di tahun 1980-an. Sudah lama ia meludruk bahkan sebelum Gestok 1965. Ketika itu ia sempat bercerita sekelumit tentang lakon Kebokicak yang pernah diludrukkan. Pada dan dari orang lain, adalah Agus Gundul, ia tak lain adalah putra Carik Karsono. Pada malam yang sama, setelah saya tak bisa secara lengkap mewawancarai Carik Karsono karena sesuatu hal, maka saya teruskan ngobrol “saut manuk” (tentang apa saja) dengan Agus Gundul. Ia menceritakan bahwa bapaknya memiliki manuskrip Kebokicak atau sebut saja serat Kebokicak. Nama penyeratnya tidak diketahui. Carik Karsono tidak pernah menunjukkan padanya, hanya menceritakannya. “Serat” itu dianggapnya gaib, karena kadang muncul, kadang menghilang sendiri. Jadi, ada kesan klenik dari potongan cerita ini. Tapi abaikan saja untuk sementara.

Mari kita tengok apa yang ditulis Ngaidi Wibowo sebagai sutradara ludruk yang menurutnya pernah sampai 2 atau 3 kali mementaskan lakon Kebokicak dan ternyata berhasil. Mitos membuktikan, bahwa ada beberapa grup ludruk yang tidak mencukupi syarat-syarat sesajen saat memanggungkan lakon Kebokicak, maka terkenalah mereka bala atau bencana. Jelas tanggapan ludrukannya bubrah, karena ada 1 atau 2 penonton atau pemainnya yang kerasukan entah oleh dedemit atau arwah Kebokicak.

Nah, Pak Ngaidi ini kira-kira mulai menulis sekitar tahun 2000-an. Terbilang sangat jarang orang ludruk mampu meluangkan waktu untuk menulis, selain rendahnya tingkat pendidikan mereka. Cerita Kebokicak yang ditulisnya tersebut terdiri dari 31 adegan. Adegan di sini dimaksudkan sebagai tulisan lakon ludruk yang dinarasikan, bukan yang telah dihafal terutama maupun oleh para pemainnya, yang kemudian antar pemain ini sudah tahu spelan (urutan dialog apa dan dengan siapa)-nya. Saya cuplikkan 2 adegan dari naskah Pak Ngaidi:

Adegan I

Amiluhur Lembu Peteng nrimo wisik soko Hang Murbeng Dumadi. Sak gugure Tumenggung Surono ilang ono Brantas Mojopait perbatasan Kediri. Koyo-koyo Mojopait sisih kulon kocak lan goncang. Akeh poro penduduk sing podo wedi lan ngungsi. Lan wisik sing ditrimo Lembu Peteng iku nyoto tur bener, ning nyatane sak wetane Brantas Mojopait ono sorot utowo ndaru rutuh kang warnane ijo lan abang tumibo ono alas Mojopait kang sisih kulon. Mulo Gusti Lembu Peteng nugasno lan mertopo ono nggone ndaru kang tumibo ono ing kunu.

Adegan 19

Ladang. Surontanu bebedak bawa Banteng Tracak Kencono ono alas kidul wilayah Mojopait ing kunu ketemu Kebokicak sing dikawal poro prajurit Mojopait. Terus Kebokicak ndangu adine Surontanu Adiku Di Surontanu suweh anggonku ngupadi marang kuwe Di sak metune soko dempokan aku kaprentah Bopo Guru Sopoyono toleki kuwe Di mung butue aku diutus nyuwun utowo njaluk ameng-amengmu yo Banteng Tracak Kencono minongko kanggo kekah lan digawe tumbal ono Dempok Cukir yo Tebuireng.

Critane ganti. Surontanu nyambung. Kakangmas Kebokicak kulo mboten bakal mulungaken Banteng Tracak Kencono ten sinten kemawon senajan toh Bopo Guru piambak engkang nyuwun. Sebab kulo sampun sumpah kaliyan Banteng Tracak Kencono mati Surontanu mati Banteng Tracak Kencono saboyo urip lan saboyo pati. Mulo Kakangmas Kebokicak kulo mboten saget pisah serambut kalian ameng-ameng kulo.

Kebokicak ndangak, langsung nyambung. Adi Surontanu berarti kuwe ora mesakake kawulo ing dempokane Bopo Guru Sopoyono. Mulo Adimas Surontanu, Banteng Tracak Kencono iku kewan wis jamak digawe lumprah nek kenek digawe kekah ono dempok Tebuireng kunu lan kanggo tumbale pedempokane kuwe lan aku. Mulo Adi Surontanu oleh tak jaluk ora oleh tetep tak suwun Banteng Tracak Kencono.

Surontanu ngadek sambil nyandak keluane Banteng Tracak Kencono, baru nyambung. Kakangmas Kebokicak ing ngarep aku wis ngomong sopo wae njaluk banteng ameng-amengku iki ora bakal tak wulungake.

Kebokicak ngadek samujajar marang adine Surontanu sambil ngomong keras sampek dadekno geger. Hee, adiku Surontanu jelas kuwe ora mesak ake sedulurmu seng ono padempokan kono. Mulo dino iki Banteng Tracak Kencono oleh tak jaluk ora oleh bakal tak rebut. Akhirnya geger Surontanu lan Kebokicak. Surontanu kasoran yudo Banteng Tracak Kencono disaut digowo mlayu lan playune Surontanu ngalor nyasak tanduran parine wong karang perdesan. Perjalanan Kebokicak mbujung lakune Surontanu. Kebokicak bengok kanti Bende Tengoro ing kunu ngrapal Aji Begandan. Kebokicak ngerti playune Surontanu. Ehladalah, playune Surontanu ndadak nyasak parine wong karang perdesan. Ngertenono prajurit Mojopait lan wong karang perdesan kene iki besok keno diarani Deso Parimono kaseksanan bumi lan langit, suket lan gegodongan. Kebokicak langsung mbujung lakune Surontanu.

Ganti perjalanan Surontanu. Ing alas kunu Surontanu ape gawe delikan. Ben ora dingerteni marang Kakang Kebokicak. Ing alas kunu ono uwit mojo sing cacahe songo. Surontanu urung sampek klakon gawe plindungan tiba-tiba Kebokicak dikawal prajurit Mojopait lan Surontanu siap mentang panah. Busur panah diluncurno arepe manah Kebokicak. Ning nyatane keno prajurit Mojopait sing cacahe songo nemoni praloyo pati. Terus Surontanu mlayu ngulon tolek dedelikan kanggo nylametno Banteng Tracak Kencono.

Lari. Sak mlayune Surontanu, Kebokicak tambah ngamuk, eleng-eleng prajurit seng ngawal Kebokicak cacahe songo mati keno panahe Surontanu. Kebokicak langsung ngomong marang sesah prajurit sing ngawal pati, hee, prajurit sing ngawal aku kabeh ngertenono kanggo tetenger besok rejane jaman papan kene kenek diarani Deso Mojo Songo. Mulo prajurit saksenono. Sabanjure Kebokicak jenengake deso langsung bujung lakune Surontanu lan Banteng Tracak Kencono.

Dua penggalan adegan di atas selanjutnya dalam tilikan sastra tutur maupun sastra tulis menjadi rangkain plot dan konflik dari cerita geger Kebokicak memburu Surontanu. Dari versi santri, diceritakan bahwa tersebutlah nama Padepokan Pancuran Cukir yang kala itu diserang pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki Ageng Sopoyono, dapat wangsit berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu satu-satunya cara adalah dengan menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki Ageng Sopoyono memiliki dua murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki Ageng Buwono memiliki anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh Pamulang Jagad. Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki Ageng Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari peristiwa pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan untuk mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng yang bisa tata jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama Banteng Tracak Kencana yang  tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo dan Bantang Boyo. Karena Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana, dan ia melarikan diri, maka Kebokicaklah yang kemudian diperintah untuk merebut rajakaya itu. Kebokicak mempunyai ajian: Bende Tengoro (Canang Baung), Singo Begandan (Singa Pelacak), Rompi Lulang Kebo Landung (Rompi Kekebalan Kulit Kerbau), dan Gedruk Gongseng (Krimpyingan Penggedruk). Sedangkan Surontanu hanya punya Ajian Kekebalan dan Banteng Tracak Kencana.

Tukang Cerita dan Jejak Kampung

            Cerita Kebokicak yang lebih masyhur salah satunya adalah saat pengejaran Kebokicak terhadap Surontanu untuk memperebutkan Banteng Tracak Kencana. Jejak-jejak pengejaran itu menilaskan nama-nama kampung atau desa yang hingga kini nyata ada dan menjadi bagian admistratif struktur pemerintahan Kabupaten Jombang. Riwayat kampung, rangkaian pencerita dari masa ke masa, kadar orisinalitas, validitas, pun susupan-susupan yang berkelindan, turut serta membentuk sebuah unggunan naratif yang membuka lebar beragam sumber yang saling mengisi. Seperti apakah para tukang cerita mengudar si cerita, yang tak lepas dari tendensi dan subyektifitasnya, menggelar pengisahan Kebokicak dari waktu ke waktu, hingga dari cucu ke cucu? Yang pasti, tukang cerita bergerak di ambang yang mistis dan di sisi lain tak lebih imajinatif belaka. Di bawah ini beberapa nama kampung atau desa yang menjadi arena pengejaran itu:

(1) Parimono: Surontanu lari bersama Banteng Tracak Kencono. Tibalah ia di sebuah persawahan nan luas. Kebokicak datang bersama 9 nawabayangkari. Terkejut melihat Kebokicak, Surontanu mengentakkan tali banteng dan nyasak pepadian yang menghampar. Kebokicak menggeleng geram menyaksikan itu. Maka lahirlah sebutan Parimono (padi yang disasak hingga rusak).
(2) Mojosongo: Surontanu membikin persembunyian dari akar-akaran, ranting-ranting, dan daun-daun klaras, sementara di sekitarnya dikitari pepohonan maja. Ia membawa panah. Kebokicak datang bersama 9 nawabhayangkari. Pertarunganpun berkecamuk. 9 prajurit Kebokicak binasa oleh panah Surontanu.
(3) Jambu: Surontanu terbirit-birit ke arah barat. Mengikat bantengnya di sebuah pohon jambu milik Ki Dumadi. Belum sempat beristirahat nyenyak, Kebokicak pun datang.
(4) Jombang: Surontanu lari ke utara. Menemukan kolam. Ada rumah beratap jerami, alang-alang, lalu ada pemandian kerbau. Ada cahaya ijo dan abang dari dasar kolam melesat ke langit dan menebarkan cahaya yang terang cemerlang. Keduanya bertemu dan terjadilah percekcokan. Pertarungan sengit. Surontanu terpukul mundur. Ia lari ke arah timur. Kolam jadi acak-acakan.
(5) Ringincontong: Ada pohon beringin raksasa. Seumpama ada 10 orang mengitarinya dengan membentangkan kedua tangan maka tak bakal mencukupinya. 9 nawabhayangkari dating membantu Kebokicak. Mereke bertempur lagi. Mereka tak kuasa mengatasi kanuragan Surontanu. Kebokicak turun tangan. Ia mengeluarkan aji Singo Begandan, dan Bende Tengoro. Surontanu kewalahan. Ia lari ke tenggara.
(6) Mojongapit: Ada sekelompok tayub menggelar pertunjukan. Surontanu masuk ke situ. Menyamar. Lalu muncullah siluman Sardulo Onggo Bliring (berupa macan loreng). Ternyata siluman ini adalah kawan Kebokicak. Si Bliring mencekik Surontanu. Menjepit lehernya dengan kayu randu. Surontanu meronta-ronta. Kebokicak muncul. Bliring terkaget sebentar, dan jepitannya terlepas. Surontanu sedikit dapat bernapas, lalu ia lari lagi ke tenggara.
(7) Sumber Peking: Tampaklah rumbukan pring yang rimbun. Terdengar mata air yang jernih yang menggemericik deras bak bunyi alat peking. Surontanu bermalam di situ, di sebuah rumah seorang janda bernama Nyi Gulah. Kebokicak datang. Namun Surontanu telah pergi ke barat kala terbit fajar.
(8) Sumber Sapon: Di pagi yang mulai terik itu ada seorang janda menyapu halaman rumahnya, ketika Kebokicak datang dan menanyakan padanya adakah seorang lelaki berbaju hijau lewat di situ. Si janda mengiyakan. Sardulo Onggo Bliring yang mengikuti Kebokicak menyarankan untuk terus mengejar. Mereka bergerak lagi dan singgah di Desa Karang Kejambon. Kebokicak meminta Bliring untuk jalma menus (menjadi manusia) seperti dirinya. Ini diniatkan Kebokicak untuk sementara waktu menggantikan posisinya untuk mengatur desanya. Kebokicak meminta penduduk agar atap rumah  mereka dpasangi welit atau daduk tebu. Bliring sendika dawuh atas perintah itu. Kebokicak bergegas mengejar Surontanu.
(9) Bantengan: Sejak mula desa ini memang bernama Bantengan. Surontanu sembunyi di situ. Di rumahnya sendiri. Tampaknya Niluh Padmi, ibu Surontanu, sedang memberikan sebungkus nasi pada anaknya itu. Surontanu tak menceritakan apa yang terjadi. Sehabis makan, ia pamit. Tak lama kemudian, Kebokicak tiba. Perbincangan singkat. Niluh padmi terperanjat mendengar cerita Kebokicak. Ia menangis dan meminta pada Kebokicak agar berdamai dengan Surontanu. Kebokicak berjanji akan bertindak yang terbaik, jika Surontanu mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Lalu Niluh Padmi menunjukkan bahwa Surontanu lari ke barat.
(10) Tamping Mojo: Ada arak-arakan temanten yang merayakan perkawinan Joko Tamping dan Siti Wulanjar. Surontanu menyusup ke dalam arak-arakan. Kebokicak datang memberitahu bahwa di dalam rombongan itu ada perusuh bernama Surontanu. Joko Tamping tahu lalu melawan Surontanu. Ia dikeplekkan Surantanu sampai pingsan lalu mati. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh memeluk mayat Joko Tamping. Kebokicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa bertindak. Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
(11) Ngrawan: Kebokicak tak segera mengejarnya. Ia memulangkan Siti Wulanjar ke rumah orang tuanya. Lalu daerah si pengantin malang itu diparabi Desa Ngrawan.
(12) Nglungu: Kebokicak kemalaman, dan plonga-plongo (tolah-toleh), di jalan dan melihat arah barat dengan mata ngungun. Lamunannya melendot panjang ke entah.
(13) Petengan: Kebokicak tampak putus asa, ia duduk lesu di sebongkah bangkai kayu, langit terasa gelap menyelimuti hatinya. Membayangkan angkasa terasa pahit dan berkabut tebal di Karang Kejambon.
(14) Glugu: Surantanu lari ke utara. Ia menemukan glugu yang roboh melintang di kali Konto (anak sungai Brantas). Kebokicak datang. Surantanu mecetat  (lari cepat) ke timur.
(15) Dukuh Klopo: Di tempat ini Surantanu membangun benteng dari batang-batang kelapa. Pancang-pancang yang kokoh. Kebokicak tiba. Ia lari ke timur.
(16) Tengaran: Ini tempat Surontanu memasang umbul-umbul berwarna-warni. Kebanyakan berwarna hijau. Ketika Kebokicak menyusul, ia kabur ke arah utara.
(17) Ndero: Surontanu memasang bendera perang warna merah. Lalu ia lari ke barat saat Kebokicak datang.
(18) Kandang Sapi: Banteng Surontanu menyelinap di kandang sapi milik Ki Wongso. Kebokicak datang. Dialog dengan Ki Wongso. Surontanu lari ke utara.
(19) Kedung Betik: Surontanu mandi di kedung atau telaga yang banyak ikan betiknya. Kebokicak datang. Surontanu lari ke barat.
(20) Tenggulukan: Surontanu sembunyi di Rawa Perning. Surontanu ketemu dengan siluman Celeng Kecek yang mengusili si banteng Tracak Kencana. Lalu Celeng Kecek dibunuh Surontanu. Kebokicak datang. Surontanu lari ke utara. Celeng Kecek ditengguluk (dipanggul) Kebokicak, sebab ia dianggap telah membantunya, lalu dikuburkan di dekat kali Brantas.
(21) Keboan: Banyak orang mengguyang (memandikan) kerbau. Surontanu dan Kebokicak bertarung sampai tewas di situ. Dua siluman Bantang Boyo dan Lirih Boyo keluar dari Banteng Tracak Kencana lalu membenamkan banteng itu di dasar kali Brantas. 9 nawabhayangkari yang barus saja datang hendak membantu Kebokicak langsung dibinasakan oleh dua siluman itu. Batu gilang, siluman Buntung Boyo.

Ihwal 13 Versi Kebokicak

Dari 13 versi cerita Kebokicak yang disusun mahasiswa STKIP PGRI Jombang di atas, ada beberapa versi yang patut dicermati, selain beberapa versi lain yang serupa. Seperti versi Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon) dengan narasumber Sukono. Versi ini agak ganjil dari versi umum. Saya coba rangkum point pokoknya:

Sosok Joko Tulus berasal dari Tulungagung, dekat Gunung Kelud. Ia ingin mengembara demi menguasai suatu wilayah di utara yakni Jombang. Lalu dilarang ibunya, tapi ia membangkang, maka ibunya mengutuknya jadi Kebokicak. Kebokicak ini tetap meneruskan kembara ke Jombang. Di tengah jalan bertemu kakek sakti bernama Ki Surontanu lantas ia menjadi gurunya. Kebokicak lalu melamar putri Majapahit (tidak disebutkan nama sang putri) dalam bentuk sayembara. Ia menang, tapi lamarannya ditampik. Ia balik ke padepokan Bantengan, dan diberi pusaka Kalung Kuning oleh Ki Surontanu. Kalung ini dapat direbut oleh Putri Majapahit dengan muslihat halus. Kebokicak tak berdaya, namun tak dibunuh dan pulang ke Bantengan. Ki Surontanu membawanya ke Kiai Muchtar di Banyuarang untuk disembuhkan. Ia sembuh, lalu masuk Islam. Karena di Banyuarang terjangkit pagebluk, ia diutus Kiai Muchtar untuk pinjam pusaka Tracak Kencana kepada Ki Surontanu sekaligus mengajaknya masuk Islam. Ki surontanu menolak seraya nyumpah-nyumpah. Terjadilah perang tanding antar keduanya. Ki Surontanu kalah. Pergi bertapa. Ia nantang Kebokicak lagi dengan membawa keris saktinya dan mampu menebas leher Kebokicak. Jasad Kebokicak digotongnya dan ditenggelamkannya ke wilayah berlumpur di Sendang Biru. 

Coba kita simak lagi versi Banteng Tracak Kencana dengan narasumber Jamadi yang saya sarikan berikut ini:

Disebutkanlah Raja Wijaya di masa Majapahit mengalami kemunduran di bawah bayang-bayang serangan Demak. Ia memiliki selir namanya Arum Sari. Mereka punya 3 putra: Jaka Samar, Jaka Suwana, dan Jaka Suwandi yang tinggal di Desa Karang Jambu. Ketiga putra ini memperdalam ilmu ke wilayah selatan di perguruan Eyang Sandi atau Kiai Soponyono di Desa Sumonyono. Waktu belajar silat, Jaka Suwandi hilang dan dicari-cari. Eyang Sandi mengutus Jaka Samar mencarinya. Sampai ke utara. Menjelang petang baru ketemu. Jaka Samar marah, lalu menyemprot adiknya itu dengan sebutan Jaran Kecek. Suatu kali Arum Sari nyambangi mereka. Di pendapa perguruan ia menyaksikan dua pemuda berlatih tarung. Arum Sari berteriak coba menghentikan mereka. Namun tak dipedulikan. Ia amat jengkel dan meneriaki kelakuan mereka seperti kerbau. Seketika salah seorang pemuda yang tampak piawai bertarung itu kepalanya menjelma menjadi kepala kerbau. Ia tak lain adalah Jaka Samar yang kemudian berjuluk Kebokicak yang sakti. Eyang Sandi menghadiahi Jaka Suwandi karena budi pekertinya berupa hewan bersebut Banteng Tracak Kencana. Suatu hari Kebokicak ingin meminang Pandan Sari. Tapi dengan syarat harus menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Kebokicak menyanggupi. Namun Surontanu menolak menyerahkannya. Ia lari. Dikejar Kebokicak. Mereka bertarung. Surontanu lari lagi. Tarung lagi. Surantanu keteter, lari ke rawa-rawa bertebu di barat Desa Sumonyono. Dalam pengejaran Kebokicak itu, jajaran lebat tebu itu seketika menjadi hitam warnanya sebab pengaruh Ilmu Panglimunan Kebokicak. Jadilah kelak daerah itu diparabi Tebu Ireng. Surontanu terus lari ke barat, istirahat di mata air yang berwarna biru yang kemudian tempat itu bersebut Balung Biru. Lalu ia terus berlari dan bersembunyi di jajaran rimbun pohon nangka. Daerah itu kelak berjuluk Sumber Nangka. Kebokicak dapat mengejarnya. Tanding lagi. Surontanu lari ke daerah utara yang dipenuhi daun talas. Bau si banteng dapat dikenali Kebokicak di balik rimbunan daun talas dan tempat ini kemudian bersebut Desa Bantengan. Mereka tarung lagi. Surontanu berhasil membelah jadi dua tubuh Kebokicak. Dengan ilmu Pancasunya, Kebokicak bangkit dari kematian dan mengubah dirinya menjadi macam putih. Ia mengejar Surantanu kembali ke utara di daerah Karang Jambu. Mengubah dirinya lagi menjadi manusia bersebut Sargula. Mengejar lagi. Bertemu. Tarung lagi. Si pengejar kembali lagi ke ujud asalnya: Kebokicak. Pertarungan makin dahsyat dan menghebat hingga memercikkan cecahaya hijau dan merah sampai membelah langit malam yang kian menggelap. Daerah itu karena bertabur berpercikan cahaya ijo dan abang yang menakjubkan maka di kemudian waktu diparabi menjadi Jombang. Si Banteng Tracak Kencana tewas terkena panah Kebokicak. Surantanu kalap. Kebokicak juga kalap. Mereka bertarung kian menggila. Sampai sama-sama tak berdaya. Hingga sama-sama mati keduanya.          

            Dalam versi cerita Telatah Surantanu, bernarasumber Purwito, yang menyebut dirinya sebagai keturunan ke-4 dari Surantanu, tampaknya perlu dipertanyakan. Surantanu yang mana? Adakah kaitannya dengan asal-usul Jombang, yang sebagian besar dari 13 versi cerita menyebut itu walau dengan fragmen, plot, dan tokoh-tokoh, tempat kejadian, munculnya sisipan tokoh lain, nama samaran, yang perlu dicermati kembali sebab ada yang sama juga ada yang berbeda? Pada versi itu Surontanu dimunculkan di masa Majapahit yang mengalami penjajahan Belanda. Ini jelas ahistoris. Lalu cerita bergeliat hingga muncul sosok warok Suromenggolo dari Ponorogo. Lalu pada versi cerita Desa Randu Watang, diceritakan bahwa Jaka Tulus alias Kebokicak memiliki bapak seorang panglima bernama Siro Manggu. Akhir cerita menyebutkan soal pertarungan kebokicak melawan Surontanu yang juga menilaskan jejak persabungan mereka misalnya meninggalkan nama kampung Gedangan dan sungai Gelugu, lalu muncul Walang Kecik yang memusuhi Kebokicak, juga lahir Desa Ngemprak, perkelahian terus berlanjut ke timur lalu beralih ke utara, sampai dua orang ini sama-sama mati di tengah-tengah pertempuran. Tubuh mereka disaksikan orang-orang yang lewat di situ. Di antara warga ini menggoyang-goyangkan jasad mereka dengan sebatang watang (dari ranting pohon randu) untuk membuktikan apakah mereka telah mati. Maka lahirlah Desa Randu Watang atas kejadian itu.

Bagaimanakah pembaca yang, setidaknya, pernah akrab dengan cerita Kebokicak versi santri yang saya cuplikkan di awal menilai 2 versi lain dari narasumber Sukono dan Jamadi? Ada kembangan cerita lain di sana, bergerak sendiri, bersemayam jauh di kedalamannya, saling susup-menyusupi, yang tentunya menyimpan “dunia sunyi” masing-masing dalam ingatan kolektif sosialnya. Satu anggapan, yang sebenarnya sah-sah saja namun terkesan gegabah, kala mengaitkan cerita Kebokicak dengan lahirnya daerah Jombang. Tradisi lisan dan mitos tentang sosok ini begitu dominan, walau tidak semua warga Jombang tahu. Karena itu tetap membutuhkan kajian historis spesifik secara akademis, bukan sekadar beranjak dari legenda untuk menautkan dan selanjutnya menemukan titik-terang kesejarahan sebuah wilayah.   

---
Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Esai Kompas

Cak Durasim, Peacock, dan Senjakala Ludruk

Fahrudin Nasrulloh*

Konon, pada 1943, Cak Durasim mati ditembak tentara Jepang saat suatu malam dia mentas ludruk di Peterongan, Jombang. Demikianlah salah satu versi cerita. Pasalnya sepele, malam itu dia berkidungan begini: Pegupon omahe doro/Melok Nipon tambah sengsoro (Pegupon rumahnya burung dara/Ikut Nipon tambah bikin menderita). Sudah lama Nipon telah dibikin geram oleh kidungan Cak Durasim yang nylekit itu. Ternyata, kata-kata, pada momen itu, menggoreskan luka dalam ingatan kolektif. Menjadi subversif, saat kekuasaan bertakhta.

Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah itu, sejarah mencatat bahwa keberadaan ludruk muncul 1932 sebagai suatu bentuk pemberontakan kaum petani (atau rakyat jelata) terhadap hegemoni tiranik juragan penindas, penjajah dan antek-anteknya. Hal demikian sudah terjadi sejak penjajahan bercokol di negeri ini. Pasca 1945 ludruk semakin berkembang pesat. Ironisnya, masa itu ludruk dimanfaatkan parpol sebagai kendaraan politik. Pada 1965 banyak group ludruk menjadi onderbouw-nya LEKRA. Setelah Gestapu surut, ludruk mengalami kemerosotan fatal. Dan pada 1967, atas gagasan TNI dan POLRI, ludruk dibangkitkan kembali.

Selanjutnya, kenyataan ini pula yang menggerakkan James L. Peacock untuk melakukan riset serius terhadap 82 kelompok ludruk di Surabaya pada era 60-an. Dan baru 2005, buku karya jebolan Universitas Nort Caroline yang berumbul Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (Desantara: Jakarta) ini terbit. Dalam buku tersebut Peacock mengapresiasi ludruk sebagai klasifikasi secara simbolik dalam aras tindakan-tindakan sosial dan sebagai ajang-tawar bagi penonton untuk “terlibat” secara emosional. Karya Peacock ini telah dijadikan kajian penting terhadap seni pertunjukan Indonesia, disamping karya James R. Brandon (Theatre in Southeast Asia), Claire Holt, R.M. Soedarsono, Jennifer Lindsay, dan lain-lain. Melalui buku ini Peacock menunjukkan seproletar apa pun, seperti halnya komunitas ludruk, komunitas-komunitas yang tak pernah dinyana dari kacamata modernitas, ternyata mujarab memerankan diri dalam menjembatani dan mengawal suatu nilai urgensif dalam perubahan sosial.

Namun kini apa terjadi dalam jagat ludruk kita? Memang perlu studi baru pasca penelitian Peacock itu. Yang terang, spirit kesenian ini begitu menggugah kesadaran saya ketika semalam suntuk saya menyaksikan pergelaran ludruk Mustika Jaya dari Jombang berlakon Geger Pabrik Kedawung di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) pada 12 April 2007. Sebelumnya, di tempat yang sama, juga dipentaskan lakon Sawunggaling dari group Karya Budaya Mojokerto pada 8 Maret 2007.

Pergelaran ludruk ini akan berlangsung hingga 2008, yang akan disemarakkan oleh sejumlah group ludruk terkemuka mulai dari lakon Pak Sakerah (Timbul Jaya, Probolingga: 24 Mei 2007); Babad Suroboyo (Warna Jaya, Sidoarjo: 14 Juni 2007); Joko Sambang (Bangun Tresna, Lumajang: 12 Juli 2007); R.M. Branjang Kawat (Taruna Budaya, Malang: 9 Agustus 2007); Sogol Pendekar Sumur Gumuling (Irama Budaya, Surabaya: 8 September 2007); Maling Caluring (Orkanda, Malang: 29 November 2007); Sarip Tambak Oso (Budhi Wijaya, Jombang: 6 Desember 2007); Untung Suropati (Perdana, Pasuruan: 10 Januari 2008).

Alangkah menarik untuk disimak, ketika sehabis pementasan tersebut diadakan semacam ‘bedah ludruk’ secara dialogis antara penonton dan pemain ludruk. Dialog yang cukup debatable itu dipandu oleh Pak Sinarto dari TBJT. Banyak tokoh dan pemain ludruk yang urun-rembuk malam itu seperti Pak Edi (pimpinan ludruk Karya Budaya, Mojokerto), Cak Supali, Cak Agus Kuprit, Cak Bawong, dan lain-lain. Perhelatan tersebut menyoal seputar nasib masa depan ludruk; ihwal regenerasi aktor, manajemen pengelolaan, inovasi cerita, revitalisasi berupa adanya museum ludruk untuk pengembangan riset dari pelbagai sudut pandang (seperti riset yang cukup berbobot dari Sindhunata berjudul Ilmu Gletek Prabu Minohek [Galang Press, 2005, Yogyakarta]: tentang makna sosial dalam kidungan dan jula-juli group ludruk Kartolo; juga buku Gendhakan: Visualisasi Parikan Ludruk [Bentara Budaya, 2007]). Di sini pula peran pemerintah diperhitungkan untuk menakar seberapa jauh ludruk masih menjadi hiburan unggulan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, jika seksama dicermati, penelitian Peacock puluhan tahun silam tersebut sebenarnya cuma berkutat pada “isi” dan “bentuk”. Dan tentu saja dia bukan ahli nujum yang dapat meramalkan keberlangsungan ludruk yang di zaman ini tengah diserbu hiburan yang menggiurkan yang semata-mata hanya menawarkan “leviathan” dunia modern yang instan, hedonistik, mewah tapi murah, tontonan TV yang menyihir di mana klimaksnya segala hasrat serentak terpuaskan. Dalam kubangan ironik tersebut, sepertinya secara sadar dan tidak, spirit kreatif ludruk betul-betul telah didaur-ulang dan dibongkar-pasang oleh industri hiburan kapitalistik dengan menyulapnya (dengan ragam acara) menjadi semisal tayangan Bajaj Bajuri, OB, Empat Mata, Extravaganza, atau Ketoprak Humor, dan seabrek metamorfosa produk lawakan lainnya. Ludruk, dengan begitu, telah dikloning sedemikian rupa menjadi jejaring kapitalisme yang niscaya dan mustahil dibendung. Ludruk tidak lagi sebagai media pemberontakan kaum proletar terhadap kekuatan penguasa yang hegemonik sebagaimana dicerminkan dalam tragedi Cak Durasim.

Sampai kapan ludruk sebagai citra seni rakyat yang adiluhung dapat bertahan di bawah bayang-bayang membanjirnya hiburan TV misalnya? Apa yang terjadi dengan ludruk, katakanlah, 20 hingga 30 tahun ke depan? Sementara warisan seni rakyat yang lain seperti “jaran-kepangan”, “jatilan”, “bantengan”, perlahan-lahan juga mulai sekarat di tengah arus deras hiburan zaman sekarang.

Sementara, di ranah perludrukan, sebenarnya kita cukup salut dan bertabik atas sejumlah seniman ludruk yang tetap konsisten menjalani dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi keberlangsungan warisan kesenian ini. Lepas dari desakan tuntutan ekonomi, kendati perkara itu juga patut dijadikan catatan penting. Sederet tokoh ludruk seperti Kartolo, Basman, Sapari, Sidik, Markeso, Markuat, Munawar, Kecik, Kirun, Supali, hingga Trubus dan Sulabi tetap terus berjuang menghidupkan tradisi ludruk ini. Bahkan peran pelawak perempuan tidaklah bisa dikesampingkan begitu saja kontribusinya semisal Umi Kalsum (di ludruk RRI Jatim), Kastini, Surya Dewi, Lasiana, Sutatik, hingga Marliyah (grup ludruk Karya Baru, Mojokerto). Konsistensi mereka-mereka ini sepatutnya mendapatkan perhatian dan penghargaan yang layak dari pemerintah. Sebab jarang orang sekarang memilih hidup berprofesi di dunia ludruk yang dianggap tak menjanjikan masa depan yang cerah.

Terkait dengan itu, saya yakin, jika di antara generasi muda sekarang ditanya apakah ada yang mau memilih hidup berkesenian di ludruk? Saya kira hanya orang putus harap yang memilihnya, untuk tidak mengatakan mustahil. “Perempuan mana yang mau main ludruk seperti saya? Apalagi generasi muda sekarang. Bahkan di group saya, saya sering mendorong mereka yang muda-muda untuk melawak. Tapi sungguh sulit melawak, apalagi ‘ngidung’ dan jula-juli, kata mereka,” demikian cerita Marliyah kepada saya pada 15 April 2007, di rumahnya di Girang, Bakalan, Krian. “Penari remo sekarang jarang. Sebenarnya jika dipelajari dengan telaten, semua orang bisa. Sampai saat ini saya tidak menemukan siapa yang dapat meneruskan ilmu ‘ngremo’ saya ini,” tambah Hadi Wijaya, suami Marliyah.

Di sisi lain, memang jumlah kelompok ludruk sekarang terbilang banyak. Di Jombang misalnya ada sekitar 38 grup ludruk. Dan biasanya setiap group mengklaim punya anggota kisaran 50 sampai 70 orang. Jika dihitung secara matematis, katakanlah per-group ada 50 personil. Maka 38 x 50 = 1900 orang. Tapi kenyataan di lapangan semua seniman ludruk di Jombang kira-kira hanya 400-an orang. Sebab yang banjir tanggapan hanya sekitar 3 group ludruk. Dan itu mungkin juga terjadi di daerah lain. Ini satu kondisi yang tidak sehat, terkait dengan manajemen dan mutu kerja kreatif, lebih-lebih minimnya minat generasi muda untuk menekuni bidang ini.

Dan yang paling memprihatinkan adalah kelompok ludruk model tobong yang berpentas keliling dari kampung ke kampung dengan penghasilan sekali gelar sekitar 300-an ribu. Lalu hasil dari penjualan karcis (2000/orang) dibagi seluruh kru yang rata-rata jumlahnya 40-60 personil. Group tobong memang hampir sudah tidak ada. Hanya beberapa gelintir yang tersisa. Menurut pengakuan Cak Yusuf Hidayat (ketua grup ludruk tobong Mandala dari Ngusikan, Jombang), bahwa dia akan tetap menjalani profesinya tersebut sampai kapanpun, karena ludruk tobong adalah warisan dari kakek buyutnya. Namun dia juga merasa diserbu kekhawatiran bahwa masyarakat mulai tak tertarik lagi menikmati model ludrukan ini. Memang banyak kasus yang telanjur jadi benang kusut dalam dunia perludrukan kita. Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil contoh.

Walhasil kini dan mendatang ludruk seolah di ambang senjakala kesirnaannya. Tersebab jika pelestariannya tidak diupayakan dengan kesadaran kolektif untuk nguri-nguri dan ngopeni secara bersama dengan kesungguhan yang penuh-seluruh (atau justru malah diabaikan?). Barangkali benar, secara perlahan-lahan, ludruk mulai terkikis oleh keniscayaan perubahan dan, akhirnya menjadi situs sejarah yang mengenaskan. Bisa jadi Peacock akan mengamini ramalan Schiller ini: Yang lama musnah. Masa pun berubah. Dan di atas puing-puing reruntuhan. Mekarlah kehidupan baru.

Tampaknya di sinilah ujian bagi seniman ludruk agar lebih getol dan sungguh-sungguh dalam menekuni bidang ini sebagai jalan hidup berkesenian. Tapi sejauh mana mereka dapat bertahan dalam arus hiburan yang kian menderas saat ini?

*) Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang. Esai ini dimuat Kompas tanggal 19 Agustus 2007