Jumat, 14 Januari 2011

Makalah Diskusi Sinematografi-3

“MENUMBUH KEMBANGKAN PEMBANGUNAN PERFILMAN SEBAGAI PRODUK KEBUDAYAAN

DAN INDUSTRI KREATIF DI KABUPATEN/KOTA SE JAWA TIMUR” *

Oleh : SYAHLAN HUSAIN*


Sebaiknya film juga diposisikan sebagai produk kebudayaan. Film juga merupakan variable yang mampu menggali serta mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya (multiculturism). Fungsi audio visual film sangat berperan sebagai medium budaya yang efektif dalam memaknai wawasan kebangsaan (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (character-building). Disinilah posisi strategis dalam mengoptimalkan film dalam pembangunan kebangsaan.

Film merupakan produk daya cipta manusia yang berhubungan dengan lingkungan dan tata nilai hidup. Pikiran ini menunjukkan betapa film Indonesia hendaknya memiliki idiom yang lahir dari nilai-nilai kearifan tradisi lokal. Lokalitas tradisi jangan diartikan anti modernitas, karena lokalitas tradisi juga dinamis, kontemporer. Lokalitas tradisi juga tidak anti rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Lokalitas tradisi seyogyanya dimaknai sebagai identitas.

Lokalitas bila dimasukkan “frame demografi” film di Indonesia, juga mengajak untuk melihat potensi perfilman di seluruh wilayah Indonesia. Ada perspektif desentralisasi. Artinya dinamika  pembangunan atau produksi film yang selama kusut ini terkesan hanya “bermukim” di wilayah Jakarta dan sekitarnya – terpusat  (sentralisasi) –  saatnya harus mulai diurai porsi penempatannya melalui pembagian kesempatan kepada wilayah-wilayah lain diseluruh Indonesia yang masih menyimpan potensi originalitas. Ada wacana desentralisasi. Pemahaman desentralisasi : proses produksi, ekshibisi dan distribusi film dapat lahir dari setiap daerah dan berada pada posisi setara. Jadi tidak ada lagi ini produksi pusat ini produksi daerah, ini creator pusat ini kreator daerah dan tidak lagi pemahaman ini artis ibukota  ini artis daerah. Semua berada posisi setara selama masuk ke wilayah spektrum kualitas.

Perkembangan teknologi digital yang sedemikian pesat dan terjangkau oleh masyarakat umum juga seharusnya menjadi factor yang mempermudah kreatifitas produksi. Apalagi dengan dukungan UU. No. 33, tentang perfilman yang sangat mendorong potensi seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk berkarya di bidang perfilman. Apalagi saat ini film juga dicanangkan sebagai salah satu dari empat belas sector ekonomi kreatif yang harus diorong pertumbuhan dan perkembangannya.

Lalu bagaimana dengan pembangunan perfilman di Jawa Timur? Dengan potensi sumber daya sangat melimpah,  membangun potensi film Jawa Timur adalah sebuah harapan prospek yang sangat menjanjikan.  Disinilah tantangan dan tanggung jawab seluruh stake holder (pemangku kepentingan) dalam mengambil peran mulai dari produksi, promosi, ekshibisi dan distribusi.

Seyogyanya ekonomi kreatif dapat direspons secara positif peluang-peluangnya. Ekonomi kreatif yang mulai ramai dibicarakan sejak tahun 2006, ketika Dr. Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan meluncurkan program Indonesia Design Power, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia.  Dari segi definisi, ekonomik kreatif dirumuskan sebagai “industri-industri yang mengandalkan kreatifitas individu, ketrampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan peciptaan tenaga kerja melalui pencitaan (gagasan) dan eksploitasi Hak Kekayaan Intelektual”.

Film sebagai bagian Subsektor Industri Kreatif perlu dikembangkan di Jawa Timur karena:
  1. Membangun citra dan identitas Jawa Timur (mampu menjadi Ikon, Kepariwisataan, membangun budaya, warisan budaya & nilai lokal)
  2. Memberikan kontribusi Ekonomi yang signifikan (meningkatkan• Product Domestic Regional Bruto, menciptakan lapangan pekerjaan,  membuka peluang ekspor)
  3. Menciptakan Iklim bisnis yang positif (penciptaan lapangan usaha, berdampak bagi sektor lain, peluang pemasaran)
  4. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa (Ide & Gagasan, penciptaan nilai).
  5. Berbasis kepada Sumber Daya yang terbarukan (berbasis pengetahuan, kreatifitas, dan green community).
  6. Memberikan dampak sosial yang positif (peningkatan kualitas hidup, pemerataan kesejahteraan, dan tolereansi sosial).
Pengembangan industri kreatif perfilman tidak lepas dari peran triple helix cendikiawan, pemerintah dan bisnis yang saling bersinergi mutualis, untuk melahirkan kebijakan-kebijakan.
 
Secara umum komitmen triple helix ini bila diterjemahkan dalam konteks Jawa Timur harus meliputi 5 hal utama yaitu:
  • Kuantitas dan kualitas sumber daya insani sebagai pelaku dalam industri kreatif film, yang membutuhkan perbaikan dan pengembangan: lembaga pendidikan dan pelatihan, serta pendidikan bagi insan kreatif;
  • Iklim kondusif untuk memulai dan menjalankan usaha di industri kreatif, yang meliputi: sistem administrasi negara, kebijakan & peraturan, infrastruktur yang diharapkan dapat dibuat kondusif bagi perkembangan industri film. Dalam hal ini termasuk perlindungan atas hasil karya berdasarkan kekayaan intelektual insan kreatif;
  • Penghargaan/apresiasi terhadap insan kreatif film Jawa Timur dan karya kreatif yang dihasilkan, yang terutama berperan untuk menumbuhkan rangsangan berkarya bagi insan film Jawa Timur dalam bentuk dukungan baik finansial maupun non finansial;
  • Percepatan tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi, yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, bertukar pengetahuan dan pengalaman, sekaligus akses pasar kesemuanya yang sangat penting bagi pengembangan industri kreatif film, antara lain: implementasi dari UU Transaksi Elektronik;
  • Lembaga Pembiayaan yang mendukung pelaku industri kreatif film, mengingat  lemahnya dukungan lembaga pembiayaan konvensional dan masih sulitnya akses bagi entrepreneur kreatif untuk mendapatkan sumber dana alternatif seperti modal ventura, atau dana Corporate Social Responsibility (CSR)

Kata kuncinya adalah semangat dan niat. Harus ada upaya melahirkan karya-karya yang kualitatif, dan inovatif ; baik dari segi thema maupun “kenakalan-kenakalan” estetika baru. Kualitas tersebut, juga harus dimulai dari konsepsi ide sampai pada pasca produksi (ekshebisi dan distribusi), yang pada akhirnya mampu melahirkan sebuah “kebudayaan menonton produksi film nasional”, minimal oleh audiens dalam negeri.

 ---------

* Makalah ini disampaikan dalam diskusi film Jombangan 2010 tanggal 28 Desember 2010 di aula PSBR
** SYAHLAN HUSAIN  (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jawa Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar