Selasa, 22 Mei 2012

Sejumlah Festival, Lomba, Parade dan sejumlah beban untuk masa depan

 Sejumlah Festival, Lomba, Parade
dan sejumlah beban untuk masa depan

Oleh :
Halim HD (Networker Kebudayaan)


Dalam rentang waktu setahun terakhir ini, orang teater mungkin boleh berbangga dengan berbagai acara teater yang ter/diselenggarakan untuk meneguhkan dirinya di dalam kehidupan kesenian. Dan sebagian orang mungkin akan geleng-geleng kepala, bagaimana suatu jenis kesenian (baca: teater) yang boleh dikatakan tak pernah bisa memenuhi – dari segi manajerial – pengembalian biaya produksi namun tetap selalu muncul di tengah-tengah masyarakat. Mungkin teater, bagi sementara orang dianggap sejenis ‘kegilaan’ tersendiri : suatu kerja yang tanpa memperhitungkan sejauhmanakah dampak kepada lingkungan, dan tak jarang seperti menepuk angin di tengah badai kehidupan kebudayaan yang serba konsumtif. Dan orang-orang teater terus mencanangkan apa yang ada di dalam pikirannya : kerja, kerja, dan berkarya.

 Dalam konteks berkarya dan kerja teater itulah kita menemukan enerji yang meluap yang tak pernah putus sepanjang tahun. Di Makassar dengan lomba monolog yang dalam setahun terakhir ini dua kali diselenggarakan. Di Denpasar, dua-tiga kali peristiwa yang sama digelar, dan sementara itu di Semarang dan Yogyakarta mengiringinya, dan masih ditambah oleh forum teater. Sementara di Solo acara teater terus berlangsung setiap bulan, dengan dua-tiga kali pementasan, dan masih ditambah oleh Parade Teater Kampus Kesenian. Kota-kota lain seperti Mojokerto, Jombang, Tasikmalaya. Dan dari seberang pulau seperti Mataram-NTB, Padang Panjang. Sayup-sayup kita dengar juga dari Palu, Kendari, Mandar-Sulbar, Samarinda, Tenggarong. Dan tentu saja Bandung dan Lampung terus mengobarkan api kehidupan teater melalui pencarian pengucapan dan pencarian tehnik, sebagai upaya untuk merentang sejarah teater dari dan dengan kapasitas yang dimilikinya : teater tak cukup hanya dengan sejumlah angka produksi yang akan masuk ke dalam deret hitung biodata dalam sebuah file. Di balik itu, ada proses panjang yang memeras keringat dan enerji, yang tak jarang membuat sebuah grup bubar jalan.

 Dengan kata lain, apa yang ingin saya tegaskan di sini, begitu banyak grup teater khususnya di lingkungan kampus dan bahkan di luar kampus sekalipun yang hanya memajang angka produksi, dan tanpa memberikan sejenis penemuan tehnik atau gagasan panggung yang menggoda dan menggetarkan sanubari. Dalam konteks itulah berbagai acara teater yang saya sebutkan di atas, tanpa berpretensi saya menyaksikan semuanya, dan dengan berusaha untuk mempertimbangkan diskusi dan informasi dari berbagai kalangan yang secara intensif ikut menyaksikannya, ada benang merah yang mencemaskan di dalam begitu banyaknya acara yang diselenggarakan : teater menjadi sejenis untuk menyatakan diri tanpa memahami ‘siapakah diri’ itu, dan bagaimana diri menjadi diri di dalam panggung. Maka tak jarang kita saksikan sebuah monolog begitu encer, enteng dan bahkan banal. Pada sisi lainnya, teater nampaknya hanya dipahami hanya dengan sekedar ‘hafal teks’ dari sebuah lakon. Tak ada pencarian ruang kehadiran melalui tim kerja panggung yang melacak, adakah suatu teks yang diciptakan pada seabad yang lampau memiliki konteks, dan bagaimana konteks diciptakan bukan hanya oleh isu dan masalah tapi juga ruang peristiwa. Maka, misalnya untuk mengambil contoh, ‘Pesta Pencuri’ karya Jean Anoulih saduran Rahman Sabur yang digarap mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada Parade Teater Mahasiswa Kampus Seni, 6 Juli 2001 di kampus Institut Seni Indonesia (ISI Surakarta), menjadi begitu ironis dan tragis. Pementasan ini sungguh kocar kacir, dan cenderung ingin menjadi badut, yang nampaknya mereka dapatkan dari rekan-rekan sesama mahasiswa yang mungkin butuh hiburan dan ngakak tanpa membayar tiket!

 Adakah cuma dan hanya itu? Tak juga. Sebagian besar dari pementasan Parade Teater yang menabalkan kampus seni itu menjadi ajang kangen-kangenan. Well, mungkin kita perlu membuka ruang dada dan pikiran kita, dan memberikan permakluman. Tapi, jenis permakluman apakah yang mesti kita sediakan, jika kita mencintai teater dan kampus seni ingin disebut sebagai induk dari tetasan kaum pekerja seni dan pencipta peristiwa di atas panggung? Atau kita mengikisnya demi kriteria agar ada sesuatu yang bisa kita pegang sebagai penggaris untuk menentukan bahwa sesuatu memang bermakna, dan lainnya memiliki makna namun masih membutuhkan jenis kerja lain. Untuk itu, saya kira, jika saja kaum pekerja dan pencinta teater mau belajar dari sejarah dan biografi – dan juga dokumentasi yang begitu banyak – yang sesungguhnya, rasanya kini masih bisa kita kenal dan kita lacak, sangat mungkin jalannya roda kehidupan teater akan bisa berubah dan perubahannya ke arah yang menggembirakan.

 Dan kegembiraan itu, bukan lantaran begitu banyak pementasan dan acara yang sering dengan semangat menggebu-gebu di antara keluh kesah kekurangan ini dan itu. Tapi juga dibarengi oleh disiplin kerja melalui disiplin berpikir dan komitmen yang mendorong terciptanya etos kerja berkesinambungan. Sebab, panggung yang kini terserak di mana-mana membutuhkan benar isi yang bermutu, agar ada rasa hormat dari publik pembayar pajak.

 ***
 Sumber : DRAMAKALA | Edisi IV/Agustus 2011