Rabu, 12 Januari 2011

Makalah Geladak Sastra # 10

AS DHARTA DAN SEDIKIT HARGA MATI POLITIKNYA
[Sekadar Pengantar Diskusi] 

Oleh: Aguk Irawan
      
Kita berdua sama-sama tidak bebas
Kau terikat pada dirimu
Aku pada Manusia dan zaman kini!

      Beberapa larik diatas diambil dari "Antara Bumi dan Langit" sajak AS Dharta yang ditujukan untuk H.B. Jasin. Merupakan kenyataan sejarah, bahwa tempo dulu sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius pada politik. Bahkan ada yang lebih menonjol dikenal publik sebagai politikus daripada sastrawan, dua diantaranya seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi.
      Demikian juga para pengarang pujangga baru dan pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Boejoeng Saleh Poeradisastro, Soedjatmoko, Buya Hamka, Rifai Apin, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Umar Ismail,Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip, Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass,  Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, , Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, dan tentunya AS Dharta merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan punya kesadaran politik yang bisa dibilang tingkat tinggi.
      Akan tetapi ada yang berbeda, kalau hampir semua sastrawan tersebut mengalami pasang surut dalam kesadaran politiknya, bahkan pindah haluan dan menyusut, hingga tak terdengar lagi, AS Dharta salah seorang yang menunjukkan kepada kita keteguhan garis politik-kebudayaannya, sampai di akhir hayatnya (2007).
      Realisme sosialis atau realisme aktif, bahwa sastra untuk rakyat menjadi pegangan AS Dharta, terutama dalam sajak-sajak dan banyak esai-esainya yang langsung berhubungan dan menyentuh hati rakyat. Menurut Budi Setiyono, hampir semua karya AS Dharta bermuara pada keindahan emosi dan intuisi, bersumber pada rasionalitas, bersenyawa dengan derita manusia-manusia yang tertindas.
      AS Dharta meyakini bahwa dalam lembar sejarah panjang peradaban, sajak atau puisi terus-menerus  hidup bersama perjuangan. Ia bebas berjuang tanpa terikat batasan waktu, ruang dan tempat, mengalir bagai air dan bergulir laksana angin merasup ke tiap-tiap celah. Ia telah menjadi wujud atas perkawinan akal dan perasaan, sel-sel majas baik konotatif maupun denotatif yang sering menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya politik. Karenanya tak mengherankan, banyak puisi yang dihasilkannya terutama dalam "Rangsang Detik" (kumpulan sajak, 1957) berisi tentang pemberontakan demi pemberontakan.
      Jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin matang saat masuk sekolahNationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah asuhan Douwes Dekker. Dari Okayaman dan Douwes Dekker itu ia mengagumi penyair legendaris a begitu Perancis di Abad XIX sVictor Hugo, dan Arthur Rimbaud.
      Dari dua orang itu, ia belajar ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, hanya puisi yang bisa diandalkan untuk maju sebagai penggugat dan pembelanya.  Menurutnya kedua penyair itu telah berhasil menjadikan puisi seolah menjadi pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu. Dan dua penyair itu dianggap sebagai pelopor gerakan romantis sekaligus sosialis dalam pembaruan sistem negara di Perancis, ketika nafas zaman dimana masyarakat feodalis mulai tergeser oleh kapitalis dengan munculnya kaum borjuis.
      Hugo didaulat oleh rakyatnya sebagai pejuang yang anti-otoriterisme, dengan antara lain puisinya berjudul "Napoleon le petit". Puisi ini ditulis saat ia eksil di Brussel, yang masyhur dengan isinya yang secara tajam mengkritisi kekuasaan Louis Napoleon Bonaparte. Sementara Arthur Rimbaud dipuja sebagai salah satu kaum komunal (kaum pembela Komune Paris dalam Revolusi Perancis), kaum bolsyewis dengan puisi-puisinya yang kritis.
      Semangat Hugo dan Rimbaud tersebut benar-benar mengalir dalam darahnya. Karenanya, realisme sosialis adalah harga mati, dan untuk memudahkan cita-citanya itu, ia mendirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), bersama M.S. Azhar dan Njoto, pada 17 Agustus 1950. Dharta pula yang menempati posisi sekretaris jenderal (Sekjen) dan redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi milik Lekra. Sebagai gerakan kebudayaan, Lekra sendiri perlahan tumbuh. Dalam empat tahun saja, Lekra bisa begitu mapan, meski tanpa sistem keanggotaan.
      A.S. Dharta bukan orang yang berhenti di satu jalan. Dia selalu bergerak. Bahkan bercabang-cabang. Di masa revolusi, dia tak ragu-ragu untuk memikul senjata dan bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, ia keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.
      Pada 1960-an,  di Jakarta dia membentuk Masyarakat Seni Djakarta Raja, di Bandung dia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat. Presiden Soekarno, yang meresmikannya mengatakan bahwa inilah universitas yang pertama di Indonesia dalam bidang social-humaniora.  
      Di luar kegiatan kebudayaan, dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas-bekas kolonialisme.
      Karena dia mempunyai pandangan politik kebudayaan dengan harga mati itulah, dia harus berpolemik dengan sejawatnya seperti HB Jassin, dan rekan-rekannya dalam gerakan manifes kebudayaan (manifestan) yang berselogan humanisme universal atau yang lebih kita dengar dengan istilah seni untuk seni. HB Jassin dan sejawatnya itu menegaskan  sastra hanya boleh berurusan dengan sastra, sebab jika sastra  membawa-bawa urusan politik, bisa mencemari kesucian sastra. Karenanya mereka menolak dominasi politik ke dalam gerbong kesusastraan dan kebudayaan.
      Buah dari harga politik realisme-sosialis itu, dikemudian hari A.S. Dharta terpaksa mendekam di penjara Kebonwaru, Bandung tahun 1965-1978. Membaca pikiran dan biografi AS Dharta berarti meninjau kembali polemik hebat pada tahun-tahun itu, ada intrik penguasa disana, juga tentunya jungkir balik sejarah, karena setelah itu penulisan sejarah berpihak pada penguasa yaitu Orde Baru, yang turut memberengus pikiran AS Dharta dan sejawatnya. Barangkali pengantar yang sekelumit ini bisa memicu diskusi kita untuk membedah kumpulan esainya yang kini sedang di genggaman tangan kita: Kepada Seniman Universal! Wallahu alam bissawab!

[Aguk Irawan MN]
Kasongan, 18 November 2010

Esai Serambi Budaya

Jurus ”Tapak Dewa Molor” Dekajo *

Oleh: Fahrudin Nasrulloh **

Berbaring di sana
Seperti babi dalam selimut
(Nathaniel Anthony Ayers)

Sebuah dewan kesenian di sepanjang sejarahnya di Indonesia tak pernah sepi dari persoalan-persoalan yang dihadapinya terlebih di wilayah interen di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya bermain atas nama kepentingannya masing-masing. Artinya ada kepentingan yang secara umum demi “kesenian” di daerah itu sendiri, ataupun “kepentingan” di balik niat yang tersembunyi.

Tulisan ini merupakan respon untuk menanggapi sekian “semonan” dan kasak-kusuk dari luar yang sebenarnya sepele tapi menohok perihal: bagaimanakah kelanjutan Dekajo (Dewan Kesenian Jombang). Apa saja agenda 2010 dengan anggaran dana 500 juta itu.

Mengurus kesenian di Dekajo, adalah awal yang berat. Tapi apa yang membuat berat? Kelak orang akan tahu mental orang Jombang yang kadang-kadang ”molor” dalam bekerja. Tidak taktis, realistis, dan efektif. Suatu watak penyakit kronis yang khas Indonesia yang pas dan benar sebagaimana dalam buku Manusia Indonesia-nya Muchtar Lubis. Dalam tulisan ini saya coba mencatat dengan agak teliti peristiwa-peristiwa rapat Dekajo dan persoalan-persoalan yang berslintutan di sekitarnya. Kita memang perlu pukulan telak di tengkuk. Molor lagi.

Jurus ”Kerja Molor” Jilid Pertama

Persis, seketika, wajah saya jadi agak merah. Karena saya berada di dalam sistem dewan kesenian ini pada jajaran Komite Sastra. Tentu hal ini jadi beban psikologis, tapi saya pikir “prek” saja atas semua gunjingan itu. Jawaban sementara saya yang terlontar hanya: menunggu SK Bupati Suyanto turun! Ada yang menyahut, kenapa tidak turun-turun, apa menunggu Desember 2010? Wah, bisa hangus 500 juta itu! Demikian komentar balik mereka, yang terkesan apatis, sinis, dan menyayangkan, tapi saya melihatnya itu sebagai kritik pedas atas kemandekan yang bagi saya susah dinalar bagaimana Dekajo yang sejak dikukuhkan pada 25 Februari 2010, dengan talangan dana 30 juta. Bagaimana dengan rapat-rapat yang sudah diadakan beberapa kali terkait penyusunan AD/ART dan penyusunan program yang telah dirancang masing-masing komite? Belum juga terumuskan sampai detik itu. Padahal raker Dekajo yang dihelat pada 23 Mei 2010 setidaknya menjadi acuan agar agenda masing-masing komite segera dijalankan. ”Tapi dananya mana? Mana?” seloroh seseorang itu. Terus molor lagi.

Jurus ”Mata Molor” Jilid Kedua

Baiklah, saya coba hadirkan hasil perumusan sementara pada 23 Mei 2010 itu dari program masing-masing komite yang mana semua penyusunan program tersebut berpijak pada beberapa prioritas ini: realistis, proporsional, penguatan data-data kesenian, penguatan kantong-kantong kesenian, fasilitasi, dan pengembangan kesenian. Ada 7 komite yang akan bergerak di sini. Komite Sastra yang diketuai Hilmi As’ad (meski pada raker itu ia tidak hadir) merumuskan anggaran sebesar 67 juta, dengan ancangan prioritas bagaimana menumbuhkan gairah bersastra di Jombang, menggali potensi kreatif penulis, membangun jaringan sinergis antara komunitas dan penulis baik di Jombang maupun di luar, sebagai upaya menjalin keragaman dan wawasan. Agenda ini berupa penelurusan dan pendataan komunitas dan penulis di Jombang, bedah buku (dari penulis Jombang maupun dari luar), diskusi tematik (dengan menghadirkan dan memberdayakan penulis lokal dan juga mengundang dari luar), penerbitan buku sastra dan yang terkait itu, workshop dan pengenalan berbagai program sastra ke sekolah-sekolah, dan perhelatan lomba penulisan puisi, esai, dan prosa.

Komite Tari yang diketuai Dian Sukarno mengajukan anggaran sebesar 61 juta, dengan agenda melakukan data base pelaku tari, pelatihan tari Jombangan, fasilitasi tari regional, diklat dan workshop, dan fasilitasi pementasan mandiri. Komite Seni Rupa menyodorkan anggaran 102.275.000, untuk: pengadaan sarana dan prasarana sketsel, demo lukis (on the spot), apresiasi (mengunjungi kegiatan pameran di luar Jombang), hunting fotografi, pameran lukisan di Jombang dan di luar Jombang. Komite Sinematografi mengagendakan prioritas kegiatannya pada program bulanan yang meliputi: sosialisasi dan maping pelaku film pelajar, sosialisasi dan maping pelaku film di kalangan mahasiswa dan umum, pembentukan wadah, apresiasi karya sinematografi lokal, apresiasi karya sinematografi luar Jombang. Program tahunan: pelatihan sinematografi, pengadaan proyektor, dokumentasi kegiatan seni-budaya Jombang. Mereka menganggarkan dana senilai: 84.385.000.

Komite Musik, mengagendakan anggaran senilai 59.150.000. Mereka akan bekerja dalam pendataan dan menganalisa hasil pendataan pelaku musik, pementasan dan apresiasi, fasilitasi kegiatan musik untuk pelajar dan umum. Komite Teater, mereka berfokus pada hal pokok. Pertama, penguatan institusi teater, yang meliputi: pemetaan pelaku teater, kelompok dan potensinya. Kemudian penelitian, seminar, penerbitan buku panduan kepelatihan teater, dan penerbitan sejarah singkat teater di Jombang. Kedua, penguatan karya atau keproduksian teater dalam bentuk diklat dan workshop, fasilitasi pementasan, hibah yang kompetitif, fasilitasi event festival teater. Kesemua rancangan itu mereka mengajukan dana sebesar: 66 juta. Yang paling buncit adalah Komite Seni Tradisi. Ada tiga pokok agenda mereka. Pertama, pementasan dalam bentuk antara lain remo missal, festival ludruk se-Jatim yang semua ini akan diadakan setahun sekali. Lalu uji kelayakan kelompok ludruk untuk mendapatkan nomor induk kesenian dari pemerintah. Kedua, pelatihan SDM dan keterampilan seniman tradisional. Ketiga, sarasehan yang melibatkan organisasi kesenian tradisional secara regular dan usah untuk membentuk organisasi bagi kelompok-kelompok kecil. Mereka menyorongkan anggaran sebesar 158 juta.

Total dana yang diajukan tiap komite tersebut mencapai 597.810.000. Namun semua pengajuan program beserta nominal anggaran itu akan dievaluasi kembali. Siapakah yang mengevaluasi dan menentukan pos-pos anggaran yang proporsional dan realistis? Ya jelas ketua Dekajo, Agus Riadi, bersama-sama dengan wakilnya, bagian program, seperti Ali Arifin dan kawan-kawan. Paparan agenda per komite itu, kemudian, hanya jadi cerita angin lalu. Selalu molor. Lagi.

Jurus ”Perut Molor” Jilid Ketiga

Beberapa waktu setelah itu, ada pertemuan antara Dewan Kesenian Jawa Timur dengan Dekajo pada 2 Juli 2010 yang disorong oleh Disporabudpar Jombang. Pertemuan ini sebenarnya penting untuk mengevaluasi program dan lebih menukikkan langkah visioner Dekajo ke depan, saling berbagi problem dan solusi, meski agenda utamanya adalah pematangan acara Pekan Budaya Panji yang akan digelar di GOR Merdeka Jombang pada 9 sampai 15 Juli 2010. Saat itu banyak anggota Dekajo yang tidak hadir. Karena acara itu sangat mendadak pemberitahuannya, saya tidak bisa hadir sebab saya mengisi diskusi 12 buku Tapol di Solo. Jadi ada masalah apa ini? Lha apa yang mereka kerjakan sampai berlarut-larut seperti ini? Ini menyangkut nama baik Jombang juga. Nama baik Baginda Agung Bupati Suyanto. Nama baik Agus Riadi, sang pemomong Dekajo yang termulia dan terhormat. Lagi-lagi molor.

Jurus ”Lidah Molor” Jilid Keempat

Nyaris di sepanjang Agustus dan September 2010 banyak seniman baik di dewan kesenian kabupaten lain maupun dari DKJT yang menanyakan kelanjutan agenda Dekajo. Masak saya tiap kali kunjungan bersastra ke berbagai wilayah terutama ke Surabaya harus bikin “cerita gelap” atau “tebar ketidakberesan” atau enteng-enteng saja karena pusing juga dengan menjawabnya begini: “Gak ngurus Mas, orang-orang di atas mbulet koyok entut nggak tahu kerjanya dan bagaimana seharusnya mengelola dewan kesenian.” Sebagai bandingan, Dekajo harus tabik dan malu misalnya pada DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto) yang tiap tahun anggarannya 75 juta dan setiap komite kebagian 2,5 juta, tapi mereka mampu menggelar banyak even kesenian, terutama Festival Wringin Lawang yang digelar tiap bulan di Trowulan. Padahal tiap agenda itu membutuhkan dana 10 juta-an lebih. Bagaimana mereka dapat ajeg menggelar even itu? Panjang kalau diceritakan di sini. Yang pasti jaringan berkesenian mereka luas dan solid.

Soal tidak berdayanya sebuah dewan kesenian sepenuhnya bukan tanggung jawab pemerintah, tapi para pelaku seni sendiri. Tidak perlu nyrocos muluk-muluk dan berharap terlampau besar pada sokongan pemerintah, sebab mereka punya pola kerja sistemik tersendiri, dan untuk menemukan kinerja bersama membutuhkan pemikiran dan pemahaman berkesenian yang saling akomodatif dan fleksibel. Maka, saat itu saya berpikir dan coba beri saran kepada Pak Agus Riadi: perjelas dan selesaikan ketidakjelasan itu! Pak Agus ini orangnya baik, demi kesenian, di awal-awal setelah dibentuknya Dekajo, karena 500 juta belum cair, ia rela menalangi dana beberapa agenda komite yang sudah siap gelar. Ada sekitar belasan juta yang sudah ia keluarkan dari dompetnya, dan setelah itu ia tidak sanggup lagi dimintai dana talangan. Ini juga niatan baik, tapi kayaknya kurang tepat dan kurang benar. Benar-benar terus molor.

Jurus ”Kuping Molor” Jilid Kelima

Di seputar September 2010. Terkait molornya Dekajo ini, apa sampeyan berpikir di dalam tubuh Dekajo ada si Tukang Ngolor? Jangan sembrono sampeyan berpikir begitu? Bisa diolor kuping sampeyan! Tapi itu terasa bukan, buktinya banyak kawan-kawan di dalam sistem Dekajo yang grundel, bisik-bisik: “Sudahlah! Tak perlu kita mati-matian memperjuangkan Dekajo. Dunia perut itu banyak lubang anginnya.” Memang ada yang cas-cis-cus demikian. Tak perlu tahu siapa orangnya. Tidak salah pula bila ada yang kesal seperti itu. Jadi memang ada yang bikin ngambang Dekajo ini? Tapi gak kelihatan manusianya kan? Mungkin ada yang suka main petak-umpet. Atau main topeng-topengan. Jadi teringat lagu Ariel Peterporn, ”Buka dulu topengmu!”

Molornya kuping yang memanjang-manjang dari 25 Februari 2010 tampaknya terjawab dalam rakor Dekajo tertanggal 20 September 2010 di gedung Dewan Pemeriksa Keuangan Anggaran Daerah (DPKAD) Jombang. Sekitar 2 atau 3 hari sebelumnya juga ada rapat. Modusnya sama: mendadak. Semua serba mendadak. Dan banyak yang tidak hadir. 2 hari setelah tanggal 20 September itu, diadakan launcing kegiatan Dekajo sekaligus pemastian logo dan alamat email.

Pak Agus Riadi pada rakor tanggal 20 September tidak hadir. Diskusi tetap berjalan berpusingan di seputar bagaimana dana 500 juta itu dikelola. Banyak kepala sudah mulai mengasap, asapnya hingga dikesiur gerimis yang membacok dengkul. Semua urun gagasan, dari soal-soal administratif yang dipaparkan Ali Arifin hingga persoalan teknis agenda Komite Senirupa yang disorong Pak Eko Utomo yang tampaknya belum terpecahkan dan berbenturan acaranya. Tidak ada yang mencoba memusatkan satu pikiran yang berlandas pada persoalan riil dan konkrit akan kesenian Jombang. Pemikiran yang mengemuka, dan itu yang kerap menjebak untuk berpikir pragmatis, selala saja muncul. Perumusan dan pengalokasian dana kembali dipeributkan. Tanggal 20 September ini sangat menentukan, ketika semua anggota rapat ngalor-ngidul berargumen. Menanggapi bola api kesengakrutan itu, Robin Al-Kautsar (dewan pleno dari Komite Sastra Dekajo) menyodorkan solusi: ”Dari dana 500 juta, kita langsung alokasikan anggaran misalnya 30 juta per komite, total 210 juta. Terserah tiap komite mau diapakan dana itu. Porsi ini bisa dianggap tidak adil. Sebab tiap komite kebutuhannya berbeda. Tapi solusi ini hanya jalan salah satu jalan keluar untuk memecahkan telur besi perdebatan kita. 90 juta untuk adimistrasi dan kesekretariatan de el-el. Yang 200 juta untuk apa yang akan diselenggarakan dengan sebutan semacam Festival Seni Jombang (FSJ), seperti yang ada di Kota Surabaya yang tiap tahunnya menyelenggarakan Festival Seni Surabaya (FSS), atau agenda tahunan yang ada di Yogyakarta dengan bendera Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).” Untuk yang disebut terakhir belum dibahas agenda konkritnya apa bahkan belum disepakati sebutan kegiatannya. Sedang yang 30 juta perkomite disepakati. Molor demi molor lagi.

Jurus ”Dewa Linglung” Jilid Keenam

Sampai akhir September 2010 tak ada kelanjutan rapat. Memasuki Oktober 2010 juga sama. Kosong. Tenang. Seperti kentut yang disemproti deodoran casanova. Seperti ada yang menyimpan sekam. Sekam yang menyembul-menyelinap. Kasak-kusuk dan seolah ada yang makin muntap. Menginjak November 2010 masih tak tampak tanda-tanda. Lilin redup bergoyang-goyang di cafe Garuda. Mungkin ada yang menggalang gerakan protes. Latu rokok menggunungi asbak. Tapi ada saja yang setia menunggu sesuatu. Pulang ke barak lagi. Berita kecil berembus. Semacam petanda dan ada yang teringat kembali bahwa Dekajo itu ”ada”. Dan memangkah ada? Ada! Sampeyan ini bagaimana. Lalu tergeraklah. Menuju sesuatu itu. Yang samar, untup-untup, tapi dari kejauhan kok seperti keledai Nasruddin Hoja. Dan muncullah tiba-tiba undangan rapat sekaligus berita pencairan dana 30 juta per komite itu yang digelar pada Jumat tanggal 12 November 2010 di ruang biru gedung Bappeda Jombang. Rapat langsung dipimpin Pak Agus Riadi.

Pemaparan anggaran disampaikan. 30 juta dicairkan. Ada yang gembira pol. Ada yang mrengut. Ada yang biasa-biasa. Ada yang masih ditelikung tanya. Lalu makanan kotakan keluar. Pak Agus dengan riang mempersilakan makan siang. Serampung makan sego lawu empal ayam itu, semua ketua komite sontak menerima 30 juta dari Mbak Nanik, bendahara Dekajo. Rapat pembahasan sisa anggaran 200 juta untuk agenda semacam FSJ dan 90 juta untuk kesekretariatan tidak dibahas saat itu. ”Nanti kita bahas lagi,” tutup Pak Agus. Yang memolor panjang kian mengkeret.

Jilid Pamungkas Jurus ”Kantong Bolong”

Harapan kita orang-orang Dekajo yang ”mengurusi” kesenian tidak menjadikan Dekajo sebagai ajang mesin politik tertentu dan memicu konflik kepentingan di dalamnya. Jika itu terjadi, maka hasilnya Dekajo bakal menjadi sarang ternak: tempat berkumpulnya manusia dagelan dan keseniannya tak lebih asesoris proyekan, lahan empuk taktik orang dalam mendongkrak anggaran, saling rebutan, yang sebenarnya untuk diri sendiri. Maka, penting ditegaskan kembali bahwa Dekajo harus mencatat dengan lidah dan batinnya bahwa tugas utama dan tanggung jawab ini sebagai pijakan bertindak: realistis, proporsional, penguatan data-data kesenian, penguatan kantong-kantong kesenian, upaya fasilitasi yang baik dan benar, dan tidak seenak udelnya dalam pola pengembangan kesenian Jombang.

Kita boleh bertanya kembali misalnya, jika tidak ada kucuran duit 500 juta, apa Dekajo akan ada? Apa kesenian di Jombang akan mati? Apa seniman-senimannya juga mampus perlahan-lahan? Dan setelah dana segede itu digrojokkan, pastinya tidak sembarang cara menghabiskan dan memanfaatkannya, bukan?

Omah Pring, 17 November 2010

----
* Esai ini telah dimuat harian Radar Mojokerto, Minggu, 28 November 2010
** Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Makalah diskusi sastra "LAUNCHING ANTOLOGI PUISI dan CERPEN BULAN PURNAMA MAJAPAHIT 2010"

Menoreh Jejak Sastra di Tlatah Majapahit *

Oleh: Fahrudin Nasrulloh **

Intermezzo: Sastra “Tahu Solet” dan Sastra “Kentut”

Perkembangan sastra dewasa ini di tanah air terus berdetak di beberapa wilayah tertentu dengan segala pernak-pernik kegiatan dan yang dicita-citakan. Kondisi ini patut diapresiasi sekaligus dipertanyakan, apakah “manusia Indonesia” membutuhkan sastra sebagai sepercik “sari kehidupan” dan sumbangsih tersendiri di batin maupun perannya di masyarakat. Yang tampak dunia sastra sekarang seakan-akan semata ritus bagi mereka-mereka yang menggelutinya, seiring situasi bangsa yang sungsang dan dihajar disorientasi, carut-marut politik dan krisis jati diri bangsa yang akut tak henti terasa benar menyurukkan kita pada ketidakpastian. Meneguhi sastra sebagai “jalan hidup” dan meyakininya menjadi obor menuju perubahan yang diimpikan ibarat membacok hantu di siang bolong. Atau berdebat dengan anjing buduk.

Meyakini apa? Dengan pemikiran apa sastra kini begitu ngotot diperjuangkan dengan berkeringat dan penuh pertengkaran? Seperti kerjaan wong edan jika itu diyakini sebagai “iman” yang mahaluhung dan bersepaham untuk melabeli sekisaran itu dengan cap-capan: sastrawan dan karya sastranya. Apa ampuhnya semua sebutan itu? Penjual tahu solet di gerbang Desa Jatipasar itu coba ditanya: sastra itu jenis “makanan” apa dan makhluk jenis apa sastrawan itu? Baginya yang penting tahu soletnya laris-ludes. Menjaga racikan petis, air, lombok, kadar godokan, dengan baik. Secara istiqomah. Tidak berpaling kerja. Apakah puisi dan cerpen seberharga tahu soletnya? Lebih tinggi sebagai camilan atau obrolan kemaruk di status facebook? Sastra memang tak perlu diagung-agungkan dan disunggi sampai memuprulkan rambut kepala. Ia hanya bagian dari “kegembiraan teringan” dalam hiruk-pikuk kompleksitas hidup. Adakah sastra kita terasing dari masyarakatnya ataukah kitalah yang terasing sebab menekuni sastra? Mboh-lah.

Sastra lalu kian menjadi terasa “ada” manakala diangankan sebagai kekuatan penyangga di kedalaman batin tersunyi di balik kian keras-umupnya dunia. Dan inilah tampaknya yang diperjuangkan para pengarang terdahulu, yang melalui sastra, dunia tulis-menulis itu, mereka seolah menyimpan “daya api”. Dan itulah yang kurang lebih dikatakan Rendra: “hidup yang tidak hidup ketika kita kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya”.

Dari situlah apa yang kita sebut sastra kian dikokohi pesastranya lebih karena di dalamnya memberi makna akan apa yang bakal hilang dan apa yang tak tertebuskan. Jadi, baik “daya hidup” maupun ikhtiar merenggut fitrah yang seringkali raib itu, juga mengada dan bergelora saat menyantap tahu solet. Si penyantap merasa laziid benar, dan si penjual puas dapat nafkah untuk anak-bininya. Maka sastra musti jadi bagian hidup yang paling konkrit, riil, dan terasakan bersama orang lain. “Sastra keterlibatan”: harus benar-benar mengalir dalam keseharian dengan menggali persoalan di lingkungannya sendiri, tidak cuma di kolong khayalan, di jumbleng imajinasi, tapi dari keduanyalah wajib termanifestasikan jadi ruh, jadi napas, jadi getar darah, jadi detak jantung, jadi langkah-langkah menuju karya-karya yang sungguh-sungguh diperjuangkan supaya memberikan pencerahan. Tujuannya remeh saja, agar hidup tidak kotor-dikotori, seperti babi busuk atau presiden lembek bin bahlul yang keblasuk. Agar manusia tidak hidup sebagai “ternak” tuhan, yang melulu makan-berak makan-berak lantas bila gemuk disembelih buat slametan. Sastra, bukan hajatan, bukan perayaan untuk berhala-berhala yang membodohkan itu.

Sastra pun, sebagai wujud atau bayangan, sebenarnya tidak ada. Ia ada, sebab si pesastra berpikir dirinya ada lantas berimpen-impen ihwal dirinya melalui perkara itu (sastra) demi pemenuhan dimensi lahir-batinnya. Sastra hanyalah bikinan, yang dikhayalkan dan lalu dituliskan, jadi tilas. Sastra hanya kentut yang malah jadi penyakit bila tidak dikentutkan. Maka berkentutlah ramai-ramai dengan riang gembira. Brruuuutttz!!! Ya, cuma angin lewat, kan? Tidak kurang, tidak lebih. Mangkanya, tak perlu dipikir panjang-panjang dan meruwet-ruwetkannya. ojo methentheng, poro sederek sodoyo!

Jembatan Keledai” Di Langit Wringin Lawang

Manusia seniman Mojokerto, bagi saya, seperti “keringat” yang tidak pernah kering. Gak peduli campur minyak dan air. Seperti kelapa tua yang dikuatkan oleh kabut tengah malam. Seperti perasan semangat “jembatan keledai” si pelarian Tan Malaka yang tak pupus harap kala buku-bukunya dirampas atau ditilep intel-londo jalanan. Seperti Petruk si Kantong Bolong, ada dana tidak ada dana: kesenian harus tetap digerakkan. Tema “Majapahit dalam Sastra” yang menghadirkan kumpulan cerpen (94 judul) dan puisi (620 judul) ini pada 23 Oktober 2010 merupakan agenda yang ke 7 sejak April lalu yang diselenggarakan saban bulan di area Candi Wringin Lawang, Desa Jatipasar, Trowulan, oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto.

Spirit yang menguatkan konsistensi mereka pantas dicatat, lepas dari bermutu atau dangkalnya agenda. Tapi kata “Majapahit” dan kejayaan sejarah yang telah ditorehkannya sekian abad ke seantero nusantara itulah yang memicu gairah mereka berkesenian. Sikap dan tindakan memaknai sejarah itu, sekali lagi, dibuktikan dengan terbitnya 2 antologi ini. Para penggerak di dalamnya, seperti jaringan berkeseniannya, ibarat “marsuse”, istilah Tan Malaka, yang setiap detik setiap kedip sedia berangkat, meninggalkan apapun yang mengikat diri dari berlapis-lapisnya kepentingan pribadi. “Berangkat pagi, pulang menjelang pagi”, begitulah mereka. Dan keberanian itu dirawat dilakoni dengan keringat dingin dan mencret-mencret. Bayangkan, penerbitan gendeng mana yang mau bikin buku sastra setebal 825 halaman (puisi) dan 706 halaman (cerpen)? Hanya penerbit berkocek tebal dengan beridealisme besar atau lembaga tertentu yang digrojok dana founding yang mampu melakukan itu. Pendek kata, di luar itu, penerbitan macam begini adalah seperti bunuh diri. Bagaimana orang-orang Mojokerto bisa melakukan itu? Rukun agawe santosa, Gusti Allah Foundation, dan kebaikan donator-donatur itulah sebagian kecil jawabannya.

Karena itu, detak kesenian, lebih khusus sastra, di Mojokerto seperti percik yang terus dinyalakan. Selalu ada dan coba dipletikkan. Penerbitan 2 buku ini, yang tebalnya melebihi kitab suci, bisa dijadikan catatan: pertama, perkembangan sastra di Jatim sejatinya bertumbuh di sejumlah wilayah yang tidak semata berpusat di Surabaya. Meski, definisi geografis bukan ukuran mutlaknya. Kedua, upaya memunculkan penulis-penulis muda maupun yang tergolong lawas di mana porsi pemuatan dalam antologi ini lebih besar. Tentu perkara kualitas karya, terserah waktu dan pembaca.

Cakupan pemuatan ini bisa dijadikan bahan lacak untuk menilik corak dan potensi karya. Sekaligus referensi pemetaan sastra Jatim dan luar Jatim. Ketiga, penghargaan dan apresiasi dari penyelenggara terhadap karya sangatlah tinggi. Ketulusan menerbitkan dan kesetiaan berkarya bertemu di sini: di Gapura Wringin Lawang. Ada degup yang berpengharapan, ini sekedar “taman kecil”, yang semoga memberi arti bagi masa depan sejarah sastra Indonesia.

Karya yang sempurna itu tidak pernah tercipta. Kesempurnaannya itu berproses dalam masyarakat dan zamannya.

Jombang, 23 Oktober 2010


------
** Makalah ini telah disampaikan dalam diskusi sastra "LAUNCHING ANTOLOGI PUISI dan CERPEN BBULAN PURNAMA MAJAPAHIT 2010", dalam Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Edisi Sastra, tanggal 23 Oktober 2010, di pelataran Gapura Wringin Lawang, Ds. Jatipasar, Trowulan, pukul 19.00 Wib.

* Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

Makalah Geladak Sastra # 08

Membaca Rajegwesi—Puisi-puisi Tak Terduga Fatah Yasin Noor *

M.S. Nugroho**

Ketika Fahrudin meminta saya untuk membahas puisi-puisi Fatah Yasin Noor dalam kumpulan Rajegwesi, saya agak keberatan. Selain pengalaman saya sangat terbatas juga puisi itu bentuk seni yang sangat pribadi sekaligus sangat bebas, bahkan Filsuf Aristoteles mendeklarasikan konsep licentia poetica atau aturan berekspresi adalah kebebasan itu sendiri, sehingga pembahasan untuknya menjadi kurang bermakna.

Bagaimana membahasnya? Bukankah puisi adalah cabang seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas? Elemen-elemen seni ini ialah kata. Kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri. Sedangkan puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan-pembentukan baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis. (:Dresden). Ditambah lagi saya tidak kenal pengarang, jalan pikirannya, harapannya? Bagaimana saya bisa menjelaskannya? Saya tentu seperti membawa obor hitam di tengah belantara gelap. Namun kalau saya dan yang lain tidak bersedia, tentu diskusi semacam ini tidak akan terjadi.

Puisi Tak Terduga?
Agak aneh membaca judul Rajegwesi—Puisi-puisi Tak Terduga Fatah Yasin Noor, menurut saya, bukankah salah satu tahapan penulisan puisi memang tak terduga? Ini karena media bahasa itu sangat rumit prosesnya. Untuk bahasa saja bisa dimulai simbol bunyi bahasa ke simbol bahasa lagi prosesnya beberapa tahap. Dan keluarnya satu-satu kata (atau kelompok kata) saja. Tentu saja tak terduga. Kalau ada orang-orang khusus yang bisa skanning bunyi/ simbol bahasa, bisa dipastikan dia tidak sedang membuat puisi yang orisinal. Kalau semua tak terduga, kata tak terduga ini tidak perlu ditulis atau mungkin, bisa digunakan untuk keperluan lain. Supaya penasaran atau supaya berbeda, misalnya.

Kemudian saya buka puisinya. Puisi pertama “Elegi Perjalanan Hidup”, saya tidak menangkap adanya elegi, bahkan seberkas sikap semangat hidup. Demikian juga puisi kedua, “Ia Mendengar Suaraku”, si “ia pendengar suara” tidak terbahas sama sekali. Dan banyak lagi. Apakah ini yang dinamakan tak terduga? Misalnya karena kepala dan badan tidak terhubung dengan benar? Tunggu, mungkin pernyataannya sendiri bisa menjelaskan.

Mungkin aku bukan penulis yang benar-benar penulis. Belum banyak yang terkagum-kagum dengan sejumlah tulisanku, apalagi aku mendapat penghargaan. Kalau kamu bilang cocoknya aku jadi penulis, itu gak benar. Sejak dulu, aku gak punya bakat jadi penulis. Selama ini aku menulis hanya sepintas lalu.()Kadang aku menulis hanya sekadar menulis, tanpa konsep dan perencanaan segala. Aku menulis mengalir begitu saja, yang aku sendiri kadang heran dan gak tahu apa-apa. Seringkali aku tersendat dan kehabisan ide. Tulisan kreatif memang gak sama dengan eksepsi yang sudah baku itu. Ilham bisa ditunggu. Ketika ia datang, aku langsung menggarapnya. Tapi kamu bukan ilham, jadi aku tak mungkin bisa menggarapmu di atas meja. Apa ada perempuan yang minta digarap? Aku nyatakan saja di sini, bahwa engkau perempuan cantik.

Ketika ia sendiri heran dan tidak tahu apa-apa, sebenarnya tidak benar-benar begitu. Dia bisa menahan, menghentikan, atau mengarahkan. Kata-kata tidak datang begitu saja dari kekosongan (A.Teeuw). Kata-kata itu lahir dari berbagai proses pengalaman hidup. Semakin beragam dan matang pengalaman dan kuatnya dorongan puitik, semakin memungkinkan melahirkan puisi yang berbobot. Seperti halnya larik “Surat Cinta” Rendra: Kau tahu dari dulu : tiada lebih buruk / dan tiada lebih baik / dari yang lain ....../penyair dari kehidupan sehari-hari,/ orang yang bermula dari kata/ kata yang bermula dari/ kehidupan, pikir dan rasa.

Rajegwesi
Buku Rajegwesi-Puisi-puisi Tak Terduga FatahYasin Noor ini memuat 70 puisi yang diurutkan berdasarkan tahun pembuatan. Dimulai pencantuman tahun 1991 (13 puisi), 1992 (6 puisi), 1997 (1 puisi), 1998 (2 puisi), 1999 (1 puisi), 2007 (15 puisi), 2008 (8 puisi), dan 2009 (24 puisi). Pada tahun 2000—2006 (0 puisi), ada apakah? Apakah Fatah Yasin Noor pada tahun tersebut tidak menulis puisi? Atau puisi pada tahun itu sudah diambil untuk kumpulan puisi pilihan, misalnya untuk kumpulan puisi tunggal Gagasan Hujan (PSBB, 2003), sehingga puisi dalam kumpulan ini merupakan puisi-puisi sisa?

Dengan puisi-puisi Fatah Yasin Noor mencatatkan sejarah pribadinya, sikapnya, dan pemikirannya, tanpa terasa menyembunyikan emosi dan pikiran yang liar, meskipun kadang menyembunyikan peristiwanya itu sendiri. Rajegwesi, Kemiren, Rinjani, dan daerah setempat menjadi latarnya. Perasaannya sebagian serupa wisatawan yang suka mengeluh dan sinis.

Di dalam puisi ini bertebaran kata-kata sepi, sunyi, kini, gerimis, hujan, embun, katamu, bahkan kata penampakan berfrekuensi 16 kali. Apakah penggunaan kata-kata ini untuk karakterisasi atau sebagai keterbatasan kosa kata?
Pengarang berani menerobos kata-kata yang biasanya dihindari oleh banyak penyair karena dianggap kurang konkret dan imajinatif, misalnya penggunaan kata-kata umum dan abstrak seperti cinta, sepi, sedih, perbuatan, kenangan, kekuasaan, kejujuran, kesedihan, kebahagiaan, kesusahan, kemudahan, dan kemenangan. Mungkin pengarang ingin keluar dari konvensi umum untuk menuju ke pola estetik yang lain. Hanya dasar puitiknya saja yang perlu digali lagi lebih dalam.

Bencana Orientasi

Beberapa puisi mengalami pemecahan orientasi, semisal Ia Mendengar Suaraku, Laut, Rona Merah Pipimu, dan Perihal Makan dan Bepergian. Coba perhatikan kata ganti dan orientasinya pada kutipan puisi Bencana berikut ini.

Bencana// Kita bisa menjadi ragu dengan bencana. Hari demi/ hari seperti puisi yang berjalan di atas air. Orang-/ orang memakai bahasa untuk keramaian pasar/ wacana. “Kali ini mari kita hindari memperbincang-/ kan masalah kekuasaan,” katamu. Maka orang-orang saling membisu. Sebagian besar...malah terus saja bicara. Untuk yang sekian kalinya, ia mencoba bersabar. Lihatlah, kali ini kami mencoba tak/ mempersoalkan waktu. Tapi, kami sesekali masih di rumah buku. Tentu saja kata-kata berloncatan di/ situ, bersama kertas-kertas yang bersampul biru./ Kami makan bersama, dengan menu yang setiap/ hari selalu berbeda-beda. Rasanya waktu kembali/ datang terlambat. Kami pikir, pikiran mereka pastilah/ mengusung sejumlah waktu: kenangan, impian, dan keinginan. Kadang kita dipermainkan oleh kenangan. Tak jarang kita dipermalukan karena punya/ mimpi. Kenapa banyak orang punya keinginan?// Aku bertemu Ramadhan di kafe. Kami saling melem-/par senyum. Di hadapan Ramadhan telah berjajar/ botol minuman di atas meja. Mungkin Ramadhan/ ingin menikmati dunia malam ini dengan mencari se-/suatu yang lebih segar. Bahwa malam memang se-/ lalu menciptakan perasaan-perasaan tertentu yang/ mungkin syahdu. Aku bosan dengan istilah sepi, ke-/sepian. Malam hari selalu merambat pada ranting/ hati. Sebongkah sangsi yang harus diurai. Kenapa engkau meninggalkanku di saat aku masih menginginkan malam dan enggan bersentuh Fajar?//2009

Perubahan orientasi dari kita, orang-orang, sampai pada aku, Ramadhan dan engkau ini membuat posisi komunikator dan komunikan labil. Penarasian yang goyah ini tentu tidak kuasa membawa pesan yang utuh. Pada beberapa kasus terasa juga pergeseran orientasi ini sebagai digresi dan inkoherensi.

Kalau kelabilan orientasi ini memang disengaja oleh pengarang, ini bisa menjadi sebuah makna. Sebuah cermin yang buram untuk kebudayaan kita. Betapa kita sangat cair dalam orientasi. Tidak punya kerangka pijak yang jelas sekaligus tidak punya visi yang jernih. Pikiran kita semrawut tidak ujung pangkalnya. Sama seperti serangan iklan-iklan di jalan-jalan dan media massa yang sangat ekspansif dan kritis.

Revisi

Di dalam kumpulan puisi ini, ada sebuah puisi dengan versi yang berbeda.


Rona Merah Pipimu

Pagi hanya rona merah di pipimu, selamat pagi
Selamat pagi juga pada cericit burung
Dan lambaian daun pisang
Mungkin aku masih mengantongi
Mimpimu semalam,
Kini engkau menampakkan senyum buah nangka.
Aku bisa membayangkan apa yang tersembunyi
Di balik bajumu yang coklat kemerahan
Adalah lambaian kepundan yang menyimpan belerang

Aku berangkat pagi-pagi
Bersama burung dalam igauku
Nilai matahari semakin bersinar saat semburat
Merah kekuningan mencangkuli mataku
Ada marabahaya lain yang masih tak nampak
Yang semestinya kita sadari sejak dulu
Tapi, mega-mega terus saja berjalan beriringan.

2007 (halaman 51)


Daun Pisang

Pagi itu hanya rona merah di pipimu, selamat pagi
Selamat pagi juga pada cericit burung dan
Lambaian daun pisang
Mungkin aku masih mengantongi mimpimu semalam,
Kini engkau menampakkan senyum buah nangka.
Aku bisa membayangkan apa yang tersembunyi
Di balik bajumu yang coklat kemerahan itu

2009 (halaman 64)


Sebagai puisi, saya melihat bahwa puisi ke dua tampil lebih baik dilihat dari unity, rytme, dan misterinya.
Membuat revisi sebuah karya sastra yang diterbitkan memang suatu kewajaran, namun membuat revisi dalam satu kumpulan merupakan ketidak laziman. Kalau ini suatu kesengajaan, semestinya ada nilai tawar seperti yang di lakukan Sutardji dalam O, Amuk, Kapak.

Sepintas juga saya melihat puisi dari versi sebelumnya di sebuah blog Fatah Yasin Noor, misalnya puisi “Sabda” 2008 di Rajegwesi merupakan versi yang lain dari halaman Rabu, 26 Maret 2008, “Adam Tanah Basah” 2008 dari Selasa, 18 Maret 2008, “Daun Waktu” 2009 dari Selasa, 25 September 2007, “Perihal Makan dan Bepergian” 2009 dari Selasa, 25 September 2007, “Sampiran Setan” 2009 dari Selasa, 1 Januari 2008, dan “Duren” 2009 dari Senin, 10 Maret 2008. Melihat kenyataan bahwa sebagian puisi di Rajegwesi itu sudah pernah ditulis dalam versi lain, mungkin judul puisi-puisi tak terduga perlu dipertanyakan kembali.

Penutup
Selamat kepada Fatah Yasin Noor atas diterbitkannya kumpulan puisi tunggal untuk ke sekian kalinya. Pendokumentasian seperti ini tentu akan lebih abadi dibanding kalau hanya disimpan dalam laci. Biarlah karya akan menjadi parodi diri sendiri (George Louis Borges). Saya berharap tidak ada tubuh dan jiwa yang terluka (“Mengupas Apel”: 40). Tidak ada niatan untuk menyakiti kecuali menguatkan. Maaf. Maaf. Maaf. Terima kasih.

Sebagai penutup, saya kutipkan dialog Mr. Keating dalam film Dead Poets Society, “Kita membaca dan menulis puisi bukan karena puisi itu bagus, kita membaca dan menulis puisi karena kita anggota umat manusia, umat manusia penuh dengan gairah.”

----------
* Makalah ini disajikan dalam acara Geladak Sastra # 08; Bedah Buku Puisi Rajegwesi, karya Fatah Yasin Noor, hari Ahad, 26 September 2010 yang diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring kerja bareng dengan Sanggrah Akar Mojo.

** M. S. Nugroho, staf pengajar di SMP Negeri 3 Peterongan di Darul Ulum. Tinggal di Jalan A.Yani 110 Mojolegi Mojoagung. Pernah mendapatkan penghargaan untuk bidang lukis, teater (aktor, sutradara, kelompok), baca puisi, penulisan puisi, penulisan drama, dan penulisan cerita pendek.

Makalah Geladak Sastra # 08

Puisi, Sejarah, Santet*
(Sebentuk ‘Surat Kreatif’ kepada Fatah Yasin Noor, Penulis Kumpulan Puisi Rajegwesi)

Oleh: Mashuri **

Sejarah adalah mimpi buruk
- James Joyce -

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.

Mungkin kita belum pernah bersua, namun dalam kesempatan ini aku berikhtiar bersua denganmu lewat puisi-puisimu. Siapa tahu aku dan dirimu bertemu atau berpapasan di teks-teks puisimu, dan pertemuan itu bisa aku untai menjadi buah pikiranku. Jika aku tak bisa menemuimu di sana, aku akan merangkum kealpaan itu dalam praduga yang berlatar pada sosio-kultur yang melahirkan teks-teks puisimu, juga sosiokultur yang mematri nilai-nilai dan kearifan ke jiwamu.

Oleh karena itu, aku akan bertumpu pada ingatan-ingatan kolektif, kearifan dan kenaifan tradisi, juga mungkin sebentuk hasrat yang tergurat di bait-baitmu, yang kadang lancar. Kadang patah-patah. Dan, seringkali membuat aku harus menakik alur pikir dan perasaanku untuk membalik teks-teks puisimu, agar aku bisa mengintip rahasia dan misteri yang tersimpan di sana. Mengingat topografi dan historiografi tradisi dan budaya Banyuwangi, aku melihat beberapa puisi patah-patahmu adalah niscaya. Aku teringat saat A. Solzeynistin, mengakui tulisan tentang pulau penjara pada masa-masa rezim komunis berkuasa di Rusia: ‘Gulag’, yang tak senada, dan mungkin patah-patah, karena kondisi saat menulisnya sambil berlari dan itu adalah keniscayaan dari kesusastraannya. Mungkin aku terlalu gegabah, tetapi ini adalah salah satu caraku untuk bersua denganmu.

Ah, lupakan soal itu. Yang jelas, apapun alasannya puisi tetaplah penting, apalagi untuk zaman kini, ketika suara-suara begitu banyak yang mendesak ingin menguasai ruang kita dan menuntut untuk didengar. Dan, itu yang aku tangkap dari spiritmu: adanya keyakinan yang begitu penting pada puisi. Tak peduli kata orang, ihwal akhir romantik peran penyair. Aku menangkap begitu banyak kesungguhan dalam puisimu yang menegaskan bahwa puisi itu juga masih sangat penting dalam lingkar sengkarut realitas yang demikian hiperreal, dan kondisi kekinian kita yang rapuh.

Mungkin ini adalah problem akut kita bersama yang masih meraba-raba arah gerak dunia dan menjadi pengekor yang teguh. Aku menangkap puisimu bermain dalam wilayah itu. Spirit puisimu ingin ‘mendamaikan’ masa lalu dan masa kini. Apalagi realitas sejarah ‘lokal’-mu begitu luka. Jika dalam konteks sosio-kulturmu, itu sebagai cara terapi dalam merakit trauma-trauma sejarah, karena kita memang tak cerdas untuk ihwal itu dan selalu mengulang hal-hal yang sama, meski di masa lalu hal itu sering berperistiwa.

Sebagaimana yang dianggit Octavio Paz, bahwa puisi adalah penyembuh bagi sebuah ‘luka sejarah’. Hal itu karena sejarah Brang Wetan/ Blambangan, selalu saja menempati wilayah periferi dalam sejarah mapan Jawa. Pada masa Majapahit, ia juga berada di ruang-ruang subordinat, terutama dalam kisah perseteruan Damarwulan-Menakjinggo. Pada lanskap kultur Jawa, Damarwulan adalah pahlawan. Tetapi aku yakin dalam kultur Brang Wetan/Blambangan, terdapat anggapan yang berbeda, dan hero itu Menak Jinggo. Kondisi ‘muram’ itu berlangsung hingga kondisi mutakhir, ketika isu dukun santet merebak. Padahal, selama ini, telah terjadi pemaknaan yang salah kaprah dalam dunia santet. Santet bagi orang Osing berbeda dengan santet bagi masyarakat awam dan dipahami oleh khalayak riuh. Bahkan, lagu ‘Genjer-Genjer’ yang netral itu tiba-tiba begitu subversif pada masa Orde Baru dan disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September, dan dianggap sebagai lagu wajib Gerwani dalam berpesta.

Dengan sedikit latar itu, tak heran, dari baris-baris puisimu, aku melihat begitu banyak warisan yang berusaha kau baca dalam kekinian, dengan tak segan kau berkata: sejarah adalah luka, sebagaimana yang dikatakan James Joyce, bahwa sejarah adalah mimpi buruk. Namun bukan berarti kau abai pada sejarah dan menganggapnya tidak penting. Aku masih meyakini bahwa kau sebagaimana Ortega Y. Gaset, yang tetap ‘gamang’ melihat masa depan, dan menganggap bahwa sejarah itu adalah ‘harta’ yang berharga. Dengan tegas Gaset mengatakan bahwa manusia tak punya kodrat dan yang dipunyai hanya sejarah. Aku melihat kau berada di persimpangan antara kodrat dan sejarah.

Sejarahmu demikian luka dan kau masih bimbang dalam kekinian. Meski demikian, keyakinan begitu besar dalam kekinianmu yang masih carut-marut itu. Ketika membuka bukumu Rajegwesi, aku bersua dengan gelisah dan optimismu itu. Dalam “Elegi Perjalanan Hidup”, yang kautulis pada 1991, aku melihat adanya kegamangan itu. Sebagaimana manusia modern Indonesia, yang masih terombang-ambing antara tradisi lokalnya dengan tradisi dari Barat yang sering disebut modern. Memang sering kali kita mendengar jangan tangisi kematian tradisi, tetapi mengingat zaman kini, sepertinya kita masih begitu butuh pada tradisi. Tentu yang patut ditimba adalah spirit tradisi sebagai progres kreatif. Karena sungguh, seringkali kita asing dengan tradisi kita sendiri. Aku dalam puisimu “Rajegwesi” (hal 50) yang kautulis pada 2007, adalah kita.

…di saat gending itu menggerakkan angin
maka di sanalah aku tahu bagaimana wajahmu
sekian lama menempati peta asing

Hal itu tidak hanya dalam “Rajegwesi” saja. Bahkan, dari sajak-sajak yang kautulis dan bertahun 1991, sebanyak 13, aku melihat adanya rasa gelisah pada ingatan, kenangan, dan kekinian. Dan, aku merasa, inilah ruh yang hidup dan menghidupi sajakmu. Dalam “Laut” (hal 22), kesadaran sejarahmu demikian tinggi: sejarah luka, juga berbagai pendikreditan arketipe budaya sekaligus ‘salah baca’-nya.

Laut yang terhampar di hadapanku
Senantiasa menyentuh luka yang tiada pernah sembuh
Telah terkubur berabad
Abad, sehingga aku tak tahu di mana
Akan kubuang masa laluku. Laut telah
Sesak oleh sejarah

Kau terus ‘Membaca. Mengaji lautan sejarah” (“Manusia Sehari”, hal 18). Kau seakan-akan menunjuk ada sesuatu yang tidak ‘alami’ terjadi di lingkungan budayamu, dan merasa “Di sini waktu berhenti. Jam-jam kehilangan jarum” (“Cerita”, hal 19). Kau begitu menolak kebekuan waktu. Kesadaran yang menguasaimu adalah kesadaran ‘modern’ dengan progres. Tetapi realitas-kekinian seakan membekukan dan waktu seakan berhenti seperti yang kau lontarkan. “Sehari waktu telah berhenti mengenal manusia. Melebur diri. Hanyut oleh kesementaraan waktu yang berhenti. (“Cerita”, hal 19). “O ini abad sudah enggan disapa”. (“Untuk Jari-jari”, 20)

Ingatan, kenangan, sejarah dan panggilan dari ‘Ibu’ menjadi ruh hidup puisi-puisimu yang lainnya. Seperti dalam “Perimbangan” (hal. 17)./Telah kulihat ibu/Memanggil namaku/Agar segera berangkat/Melupakan catatan harian/ Yang hanya menyimpan sunyi/ Telah melukai tubuh sendiri/ Tiap hari.

Dalam “Jalan Alam” (hal. 59) ditulis 2008. /Aku meletakkan telapak tanganku di dadamu/ Juga perlahan-lahan seperti ingin menghapus kenangan/. Begitu pula dalam “Kerinduan” (hal. 66), ditulis 2009: /Aku berupaya menemuimu,/ Karena begitu lama aku mengembara/ Di labirin kesia-siaan./ Engkau adalah rumah yang lama kutinggalkan/.

Dalam sajak lain yang ditulis pada 2009, juga menyangkut ihwal kenangan dan usia. “Dahan Kelapa dalam Dadamu” (hal. 70):/ Ingin segera sampai ke rumahmu./ Meletakkan gerimis./ Atas nama pikiran kosong./ Juga ingatan yang terkotak hijau. Dalam “Dan Waktu” (hal. 78): /usia empat puluh tujuh,/… sejarah puisi yang terlupakan/. Dan, pada “Sampiran Setan” (hal. 80) mengerucut pada hal-hal sublim sekaligus kontradiktif: sebuah perjalanan telah sampai, sekaligus mempertanyakan tentang sesuatu yang dianggap ‘terberi’.

Memang, meski secara umum, bait-bait puisimu tak menyimpan bentuk metrum ‘Sabuk Mangir’, ‘Jaran Goyang’, tradisi ‘Warung Bathokan”, dan lainnya yang memasang atribut identitas kulturmu, tetapi aku menangkap adanya sinyal itu. Bahkan, ada usaha untuk mengembalikan makna santet yang sesungguhnya sebagai sebentuk usaha meraih mahabbah/cinta dan demi cinta. Tentu saja, kau juga merajutnya dengan sajak-sajak cinta yang ciamik, sajak persembahan yang mantap, juga sajak-sajak yang kau sebut ‘puisi-puisi tak terduga’ yang lain.

Sungguh, berpuluh sajak-sajak berbinar ihwal cinta. Tentu cinta di sini, bukan cinta sejoli, birahi, tetapi cinta yang menguniversal dalam kemanusiaamu. Sajak-sajak cintamu demikian banyak. Aku terpaku pada sajak cintamu, yang berjudul “Yashinta Nur Safitri” (hal 82), yang kautulis pada 2009. Aku lalu teringat bahwa kumpulan sajak ini juga kau persembahkan pada nama itu. Aku menduga ia adalah buah hatimu.

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.

Aku termasuk orang yang kagum pada sub kultur Osing, yang tradisi lisan dan tulisannya terus terpelihara. Sastranya terus tumbuh secara mandiri dan kompleks. Bisa jadi karena begitu banyak ‘agen kebudayaan’ di sana, yang membacanya dalam kekinian, sebagaimana engkau membacanya. Mungkin banyak orang yang merasa gelisah ketika sebuah laju budaya berhenti pada ornamen, arketif pasif dan kebudayaan menjadi kata benda. Aku menangkap beberapa puisimu meruju ke situ. Kau ingin membaca warisan bukan dalam kapasitas masa lalu, tetapi dalam kekiniannya. Sehingga terkesan ada nada miris ketika kau bicara warisan masa lalu.

Hal ini kau tegaskan dalam sajak “Kelahiran” (hal. 31). Berikut ini kutipan beberapa bait:

Mataku terpejam diam-diam mengusung
Kemiren dalam tubuhku menjadi fosil
Serupa penari Gandrung yang tengah bermimpi
Tentang bulan dan suara using ditalu-talu

Tapi, di kota aku sempat mengelus patung-patung itu
Jejak masa lalu yang semakin mengabur
Hanya kukenali kembali rintihan-rintihan lembut
Yang nyaris tak terdengar dalam dadaku

O Tradisi pesisir: perahumu dihimpit gunung

<span><span>Hal itu juga juga tampak pada dua sajak yang kau tulis pada tahun 2006, judulnya “Banyuwangi” (hal. 27) dan “Sebentuk Kisah” (hal. 32). Dalam “Banyuwangi”. /Banyuwangi,/ Terasa merdu suaramu di telingaku/ Lantaran jauh aku meninggalkanmu/. Banyuwangi,/ Kesempitan melapangkan jalanku ke duna/ Lantaran dialek Using yang begitu-begitu saja. /Kini sayup-sayup kudengar lagi suaramu/ Mengusung carut-marut penampakanmu/. Adapun dalam “Sebentuk Kisah”, aku lirik ‘hanya’ bersua ‘sebutir pasir’ dalam ‘kamar’ pertaruhan realitasnya, dan selalu dijejali dengan menemukan ‘tv yang selalu menyala.

Dari dua sajak tersebut tersebut, terdapat nada masqul menghadapi ‘yang begitu-begitu saja’ dan ‘carut marut’, dan dirimu berkehendak untuk memberi nilai lebih dari yang sudah ada. Jika Adonis alias Ali Ahmad Said meminjam ‘ruh’ puitik Mutanabbi untuk mendobrak kebuntuan kreativitas bangsa Arab pasca kalah Perang dengan Israil, aku melihat ada hasrat demikian besar dalam puisi-puisimu. Kau begitu luka memahami masa lalumu, dan dengan puisi kau menyurat sebuah kesaksian, bahwa mesti ada yang tetap dan berubah. Tentu warisan masa lalu yang kau angankan itu adalah dinamika Osing, Kemiren, juga Banyuwangi dengan tradisi dan kultur yang begitu kaya dan mandiri. Dan, kau ingin warisan itu tidak hanya ‘begitu-begitu saja’ tapi ‘hidup’.

Kau menegaskan dalam “Elegi Perjalanan Hidup” (hal. 14), puisi pertama dalam kumpulan Rajegwesi.

hidup!
Masih mengais-ngais juga di bumi
Segala hulu yang mengalirkan sejarah
Kini meretas di jari-jariku

Optimisme masih kau pegang meski kau alirkan lewat suara sajakmu yang ironi. /Dan kini secupang cinta telah menodai tujuan yang/ Telah kubangun lewat keping waktu (“Ia Mendengar Suaraku”, hal. 15). Sajak-sajakmu yang lain juga menyebut beberapa tempat, tokoh, mitos, alih kode dan campur kode dan lainnya terkait dengan Osing dan Banyuwangi. Kau juga meruyak wilayah spiritualisme Islam, dengan mengunggah puisi yang yang sunyi dan mengungkai kaidah-kaidah sufisme.

Adapun pada tahun-tahun 2007, sajakmu cukup banyak yang berbicara tentang Kemiren. Di antaranya “Hantu di Kemiren” (hal 41), “Dosa Kemiren” (hal. 43), “Magma Kemiren” (hal. 44), dan “Geriap Kemiren” (45). Nada dan suasana yang terbangun ‘muram’, sebuah introspeksi pada ruang dan waktu yang tak tepat, menyoal perspektif umum/mapan yang riil, tapi ganjil. Ihwal ragam kulturmu juga membukit di ‘Sebukit Rinjani”, yang kau tulis 2009 (hal. 75), meski nadanya berbeda dengan sajak tahun 2007.

Dalam sajak tahun 2007 “Desa-desa di Kemiren” ( hal.47), kau menegaskan gejolak itu dalam di antara dua tanda kutip.

“Di sini tak ada apa-apa, saudara
Pergilah di kota-kota
telah tersimpan riwayatku yang basi”

Dalam “Sebukit Rinjani” (2009), yang bentuknya mirip prosa, sepertinya ada usaha untuk berdamai. “Sudahlah, hanya secangkir kopi. Engkau hanya mencari orang yang terkesima. Menggenggam peninggalan Majapahit erat-erat. Yang dekat dari sini hanya Gunung Ijen.” Suasana yang berbeda dari tahun sebelumnya juga kau tabalkan dengan mengambil ikon Gandrung dalam sajak yang kautulis pada 2009, judulnya “Belerang di Tubuhmu” (hal 77)

Tak ada bau bangkai di sini.
Hanya jejak-jejak Gandrung yang menempel
di beranda rumahmu
Selendang merah yang kusam

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.

Meski berbeda, aku melihat kau tetap memandang ‘jejak-jejak’ itu sebagai hal yang ‘kusam’. Artinya, kau tetap istiqomah dalam memandang masa lalu dan warisan tradisi itu sebagai hal yang harus ditafsir ulang dan diberi notasi dalam kekiniannya yang tidak terjebak pada masa lalu…

Demikianlah, pada akhirnya, beribu maaf aku gelar di sini, karena harus menyudahi pembicaraan yang mungkin terlalu melenceng jauh dari perkiraan dan bertele-tele. Namun bagiku ini adalah sebentuk ‘kenikmatan’ dan ‘rekreasi’ yang menyenangkan. Aku sudah berikhtiar ‘membaca’ 70 puisimu, yang ditulis mulai 1991—2009, dengan jumlah dan jeda yang berbeda. Tak ada sajak dari tahun 1992—1995 dan 2000—2005. Rinciannya: tahun 1991 (13 sajak), 1996 (6 sajak), 1997 (1 sajak), 1998 (2 sajak), 1999 (1 sajak), 2006 (1 sajak), 2007 (14 sajak), 2008 (8 sajak), dan 2009 (25 sajak). Paparan singkat ini adalah hasil perjumpaanku dengan beberapa puisimu.

Aku memang hanya fokus pada hal ihwal yang berbau sejarah, tradisi dan ingatan-ingatan kolektif saja, karena sajak-sajakmu mendedah banyak hal, yang tentu saja tidak kuasa kubaca semua. Bahkan, bisa jadi, banyak hal dari sajak-sajakmu yang luput dan itu karena keterbatasanku yang tak mungkin bisa mendedah seluruhnya dan sempurna. Semoga bermanfaat. Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq. (*)

 ----------
* Makalah telah disampaikan sebagai prasaran dalam acara “Geladak Sastra” di Mojokerto, pada Minggu, 26 September 2010. Belum diedit.

** Penulis puisi, prosa dan esai.

Makalah Geladak Sastra # 09


Teror Maut di Leher Ayam Panggang*

Fahrudin Nasrulloh**

Mari rileks sejenak, pijiti kepala dan ngopi secangkir lagi, sebelum menjejakkan mata menatap sebuah cerita. Atau menempuh sepotong cerita dari cerita yang diceritakan kembali dan lalu dikisahkan lagi. Lama-lama jika hal sepele itu berlangsung terus, dan tetap membosankan, teruskan saja dan biarkan perut diterjang mual, mata pahit, bibir pecah-pecah, dan mencret-mencret di bis kota. Yang pasti, saya tidak dihajar kebrengsekan itu seusai membaca kumpulan cerpen Presiden Panji Laras yang memuat 12 cerpen karya M.S. Nugroho.

Apakah lidah anda terlatih menjelajahi wilayah-wilayah kuliner yang yahud dan mantap pol? Mak nyus-lah istilah Bondan Winarno. Bagi yang tidak, sungguh rugi dalam hidup yang sekejap ini. Ya, itu gambaran kecil yang enteng yang gampangan dan seperti makan cemilan favorit yang tak ada duanya yang bisa saya sebandingkan dengan ketika saya membaca cerpen-cerpen ini. Membaca sekali duduk 12 cerpen itu agak pegel juga. Berkali-kali leher harus sedikit-sedikit dipatah ke kiri dipatah ke kanan. Diongkek ke atas ditekuk ke bawah. Pantat juga musti dipindah-pindah. Kopi harus selalu tersedia. Dingin, diganti lagi. Rokok GG 12, pastinya 3 bungkus amblas. Ya, ini pengalaman tersendiri, kalau dihitung-hitung, ada sekitar 8 jam-an saya membaca, kurang lebih, termasuk perkara selingan tadi yang berekor-ekor sampai lupa mandi dan makan cuma 2 kali.

Baiklah, kembali ke cerpen. Ehmm. Mau apa ya? Kita awali begini saja, ini sekenanya: apa ya kira-kira yang membuat seseorang begitu bergairah membaca cerpen? Apa perangsangnya? Pakek obat kuat apa? Secara umum jawabnya: bisa karena ia suka pengarangnya, atau memang ceritanya bagus bin nakal, atau ia si kutu buku yang baik hati bukan si bibliomaniak. Cerpen Nugroho yang pertama saya baca adalah “Nyanyian Untuk Para Babi”. 20 menit ludes. Selanjutnya bisa anda bayangkan dan rasakan sendiri ketika menuntaskan keseluruhan cerpennya. Kepala saya seolah tiba-tiba melepas sendiri dan menari-nari nakal di bubungan rumah, sambil menikmati gurihnya ayam panggang yang sudah tercakot melambai-lambai di mulut serampung baca cerpen yang terakhir “Jago Sang Presiden”.

Sebagai pembaca, apresiasi demikian wajar saja, dan ungkapan untuk menggambarkan sesuatu kadang terlalu dilebih-lebihkan. Mungkin saya berlebihan. Lebay kata anak muda sekarang. Tapi saya berusaha jujur, dengan sedikit slengekan. Dan tetaplah saya hanya sebagai pembaca sebagaimana orang lain yang juga punya apresiasi lain.

Bagi saya, membaca kumpulan cerpen ini, seperti mencari pintu “rumah besar” di mana cerita-cerita yang dipilin Nugroho dapat membukakan satu dari sekian pintu-pintunya. Entah saya harus mengetuknya terlebih dahulu, memutar dulu lewat dapur, atau ia sendiri yang membukakan pintu, tanpa salam, tanpa sebelumnya dikenal. Saya yakin, ada pintu-pintu, berpuluh-puluh jenis pintu, bagi siapa saja, yang tergerak hendak memasuki “rumah cerita”nya. Mungkin akan menemukan halaman yang sama, ruang tamu yang berbeda, kamar-kamar yang ukurannya sama, tiba-tiba muncul demit, tuyul, wewe gombel, atau langsung diterkam cermin-cermin gaib yang bersilih-ganti bentuknya dan kejernihannya.

Saya tidak tahu sejenis apa momen prosaik itu dan bagaimana menggambarkan dengan tepat isi “rumah” itu. Seperti detektif kelas kambing, saya tetap berusaha mencari yang tampak, tanda-tanda, sinyal dari sorot lampu dan kertap-kertipnya, keraguan-keraguan, kegentingan, akar masalah, muasal cerita, teka-teki tokoh, bla-bla-bla, meski yang pasti keseluruhan dari “rumah cerita” itu hanya Nugroho yang banyak tahu. Dan saya, untuk sementara, menemukan remah-remah ini dari “rumah cerita” itu: Teror Maut, Kelokan Plot dan Bayangan Ulang-aliknya, Detail dan Keluwesan Gaya Bercerita, Cerpen Keluarga, Revitalisasi Cerita Rakyat, dan Panggung dan Ketajaman Karakter. Jadi berpinak-pinak, bukan? Merepotkan juga ya. Kenes sekali. Bahlul. Tak apalah. Memang begitulah cara nyantai saya membicarakan cerpen ini. Dibuat tegang, bisa puyeng dengkul ini. Baiklah, saya akan coba preteli satu per satu.

Teror Maut

Cerpen-cerpen Putu Wijaya, juga naskah-naskah dramanya, dikenal khalayak mengusung teror yang menggedor. Penulis ini sangat produktif di usianya yang sudah 70-an tahun. Teror Putu sungguh mencekat. Dengan narasi yang slow, agak ceriwis, sedikit kocak, dan berlarat-larat. Nugroho juga mengungkai teror hampir di keseluruhan cerpennya. Mengocok “maut” dengan pisau berilat tiga yang menggores ke sekujur jalinan cerita: plot, suasana, konflik, tokoh, dan klimaks. Teror Nugroho bermain lebih padat, minim basa-basi, simpel, tidak berlarat-larat. Coba disimak cerpen “Aku Melihat Kaki Itu Dipotong”, yang menampilkan sisi tergelap dan terbejat kaum gelandangan:

Kematian adalah momok yang paling mengerikan bagi mereka. Atau bukan kematian sebenarnya, tetapi cara mati di sini sungguh menyakitkan.

Dampar harus berlutut pada hidup dan harus patuh untuk bersembunyi dari kematian.

“Anak-anakku, hari ini kita harus melepaskan penyakit di dalam tubuh kita. Kita serahkan ke dalam bumi untuk diasuh kembali, karena di atas bumi dia telah gagal. Penghormatan kepada kegagalan adalah kematian. Untuk itulah Ganden harus mati sebagai pelajaran, ia tidak patut hidup karena tidak patuh dan malas bekerja.”

Beberapa kali pingsan seperti latihan menghadapi kematian. Dan dalam kematian penderitaan akan menjadi hambar.

Makanya kaki-kaki buntung Dampar dan kawan-kawan bentuknya sama. Ukurannya sama. Luka-lukanya sama. Nasibnya sama. Itu karena pabriknya sama. Pabrik pencetak uang yang dibangun dengan menyalahgunakan bahan-bahan dari daging dan nyawa serta nilai-nilai kemanusiaan.

Cerpen “Kadung”, menyimaknya, seperti kita dilempari sejurus fragmen aneh, ada gerak cepat yang dijejalkan ke benak, ke perut, ke tengkuk, ke punggung, tanpa memberi kesempatan bernapas, mengemplang dari belakang. Menguntit tanpa bayangan. Teror maut di sini terlukis pada tokoh Tejo, jongos si tokoh janda, yang tersebab memergoki si majikan bertelanjang di kamar yang salah. Tejo lantas menghukum dirinya sendiri dengan mencubles kedua matanya. Lalu bagaimana kecamuk perasaan si janda? Entahlah. Yang pasti, akhirnya, si janda menikahi Tejo, dengan runutan cerita yang begitu saja mengalir namun ganjil. Sebuah keluarga, dengan anak-anak mereka, yang terlahir dari tragedi. Menatap kengerian yang tak lazim. Teror dengan aroma psikopatik turunan ala pesakitan Nero dan Caligula. Ini penggalannya:

Aku terjatuh dari tidur siang. Di depanku Tejo, pembantuku, tampak sangat tegang. Mulutnya melongo lebar dan matanya memelototi tubuhku. Astaga, aku sedang telanjang bulat dan sedang berada di kamarnya. Jantungku seolah meledak dan darahku menjadi kepingan-kepingan kristal. Kusambar pakaianku. Cepat aku melesat ke kamarku sendiri. Nafasku terengah-engah. Kukenakan kembali seluruh pakaianku. Aku menangis dan sangat malu. Aku merasa mengkhianati almarhum suamiku. Aku kotor dan hina.

Tejo diam sejenak. Kedua tangannya menempelkan ujung pisau di mata kirinya. Lalu ia menjatuhkan kepalanya ke lantai. Berhasil. Pisau menancap di mata kirinya. Ia duduk dan mencabutnya. Cepat-cepat dia mengeluarkan botol. Tangannya gemetar membuka tutup antiseptik itu. Ia siramkan cairan bening itu di kedua matanya. Ia mengerang-erang. Tubuhnya berkelelejatan. Kepalanya seperti terbuat dari darah semua. Tubuhnya juga berlumuran darah. Kemudian satu kali teriakan tertahan, berhentilah geraknya. Tubuhnya melengkung seperti udang kering mati di genangan merah.

Tikungan Plot dan Bayangan Ulang-aliknya

Cerpen “90”3GP” perlu dibaca dan disimak lagi 2 atau 3 kali. Tapi tak perlu bagi pembaca yang terlatih dan terbiasa. Kita seperti dipicu untuk mempertanyakan apa-apa yang telah berlalu, dari semua yang pernah teralami, dan tak terlupakan. Tak tergantikan. Apakah yang tertinggalkan di belakang kita sejenis noda atau hantu laknat dari diri dan akan meringkus kita suatu hari? Akankah ketika kita berjalan mundur, jejak-jejak itu membahagiakan atau justru membayang-bayangi jadi ketakutan yang menguntit setiap saat? Cerpen “90”3GP” ini sederhana: tentang dampak teknologi. Video porno yang, bagi siapapun, bisa menjadi pelaku sekaligus korban. Soal plot mundurnya, Nugroho, dengan padatan alur-peristiwa yang ritmenya terjaga dalam beberapa paragraf, secara kronologis ia cukup<span> </span>menandai strategi berceritanya dengan:

Tujuh hari sebelumnya,
Lima hari yang lalu
Malamnya....
Hari ini....

Pilihan plot demikian tidak hanya membikin sedikit gerah untuk barang sebentar menoleh ke belakang. Jika melongok ke film, Pulp Fiction adalah contoh paling gampang. Di sana plot zig-zag dan ketakterdugaan karakter juga peristiwa seakan-akan tanpa ba-bi-bu langsung membacokkan “peristiwa” itu ke kita dari arah mana saja. Kok bisa tiba-tiba begitu? Sepele sekali, kenapa ia dibunuh? Kenapa juga pusing-pusing mengutip Alkitab, bab pembalasan di surah Hezekial, sebelum meletuskan pistol di kepala si pengedar narkoba? Mencari kopi di dapur, yang dicari dikiranya sudah pergi, tapi ia lagi asyik baca-baca di toilet, lalu terdengar suara-suara mencurigakan, saling tatap, sama-sama terperanjat dan... dar-der-dor-trat-trat-trat-tat-tat-tat. Mampus! Getih bersemburan. Ganti fragmen lagi. Tarantino! Uhf, shit mother-fucker!

Dan cerpen “90”3GP” tak sebegitunyalah. Ilustrasi dari Pulp Fiction jelas sengaja saya lambung-lambungkan. Itu keasyikan tersendiri. Sekedar untuk mengurangi efek domino dari pedas-mata dan migren. Bagi siapa saja yang kebetulan mengidapnya. Tapi Nugroho, menciptakan sudut pandang lain. Seperti bermimpi berenang dalam mimpi orang lain lalu rontok. Satu plot mundur, yang mengandaikan suatu “pengabadian”, dari si tokoh, bukan si pencerita (Nugroho). Atau keduanya jadi menubuh: si tokoh sekaligus si pencerita. Maka Nugroho sebagai cerpenis telah “mati”, termakan semiotikanya Barthes. Dan digantikan sosok “yang lain” yang kata-katanya termaktub di paragraf pembuka:

Kalau setiap orang adalah penulis sejarah mereka sendiri, aku tidak hanya penulis sejarah yang bodoh, tetapi juga penulis sejarah yang gila. Aku tidak hanya menulis dengan tinta yang terbuat dari comberan, tetapi juga tidak tahu apa yang aku tulis. Ini tragedi. Tetapi aku punya satu hal. Penulis sejarah itu adalah pelakunya sendiri. Mengapa tidak diubah sendiri? Sayangnya aku sekarang dalam sel penjara. Aku tidak kuasa atas diriku sendiri.

Detail dan Keluwesan Gaya Bercerita

Cerpen yang baik dan mampu mengeram kuat dan lama di benak pembacanya adalah bagaimana pencerita tidak tergelincir pada deskripsi yang boros kata. To the point. Satu tendangan! Telak! Penjelasan yang secukupnya, tapi bisa menggambarkan atau mewakili yang seluruhnya. Ini ukuran standar. Tapi tidak semua bisa. Nugroho berikhtiar ke sana. Saya petikkan contoh dari cerpen “Sayap-sayap dari Langit” tentang pengedar dan pemakai narkoba yang pada akhirnya sama-sama mengalami nasib busuk:

Tangannya merentang dan tegang. Alat bantu pernafasannya terlepas. Mulutnya menganga. Keluar busa dan cairan kuning yang sudah mengering di pipinya. Kulitnya pucat. Matanya melotot. Pupilnya mengecil. Kelopaknya menghitam. Kuku-kukunya juga menghitam. Darah tampak baru saja mengalir dari hidung dan telinganya. Di bawah ranjang tergolek plastik yang biasa dipakai untuk membungkus pil-pilnya.

Joko rasanya sudah mati. Ia melihat pemakai narkoba saja tidak seperti manusia lagi, ia membayangkan pengedar seperti dirinya sebenarnya berwajah seseram iblis yang menyeringai.

Boleh tengok juga pada cerpen “Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Amerika”, yang bercerita tentang kucing kesayangan yang dibuang sebab lancang menyantap oleh-oleh merpati goreng dari si Jena, selingkuhan si tokoh. Dengan gaya bercerita yang sederhana, namun paparan mendetail tentang si kucing itu diceritakan cukup mengena, tanpa bermuluk-muluk metafora:

Salah satu keinginanku sejak kecil adalah punya kucing seperti Sari. Warnanya putih kekuningan. Motif bulunya merah tanah melingkar spiral seperti mahkota kembang mawar. Oleh karena itu kuberi nama Sari. Mukanya proporsional, tidak begitu lonjong dan tidak begitu pesek. Matanya bening seperti kelereng kaca. Pupilnya berwarna coklat tua berlapis-lapis seperti pelangi. Dan matanya seperti sepasang senter menyala dalam gelap. Kata teman-teman, Sari termasuk kucing “samber mawa”, yaitu kucing yang bisa menjatuhkan cecak di dinding hanya dengan menatapnya lama-lama.

Cerpen Keluarga

Dunia Nugroho adalah dunia keluarga. Tenteram dan sejahtera. Ia baik dengan kerabat dan sahabat-sahabatnya. Ihwal yang dekat dengan kesehariaannya. Istri yang setia dan cantik. 2 anak, Hima dan Alya, yang cerdas dan kreatif. Keluarga yang harmonis yang tentu diimpikan banyak orang.

Lain. Lain lagi. Dunia kreatif dan imajinasi Nugroho seperti memiliki jembatan “wingit” jika kita menoleh lalu menyeberang menuju ke cerpen-cerpennya. Ia menggali jagat khayalnya dari “dunia hitam” yang bersarang di nun yang jauh. Di centang-perenangnya kondisi sosial yang lebih kompleks. Mengolah inspirasi dari tumpukan “sampah manusia” dengan segala keunikan dan keruwetannya yang ditolak dunia dan dihinakan takdirnya. Kita menemukan itu di sana, seperti kita didesak dipaksa menjadi bagian dari yang tak tertampikkan itu. Pergulatan hidup sebagai suami-istri, cinta yang tak pernah selesai-selesai, senggama yang tak bertuan gairahnya, dan diri yang, antara terbelah dan bersatu dalam idealisme perkawinan, menjadi kompleksitas problem. Kita bisa temui itu misalnya dalam “Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Australia”, “Kamar Rahasia”, atau “Entropi Jaka Bayawak”. Inilah petilan “Entropi Jaka Biyawak”:

“Tentang kerja ini sebenarnya sampai sekarang aku tidak tahu betul. Sorry. Yang jelas dia mengurus berbagai hal, dari urusan kayu, tanah, mobil, rumah, sampai pembuatan jalan. Dia juga berhubungan dengan banyak orang, termasuk pejabat dan orang luar negeri. Pokoknya dia pengusaha muda yang sangat sukses dan kaya raya. Dan aku menjadi puteri yang berbahagia? Tunggu dulu, seperti dalam roman picisan, aku masih kurang puas. Bukan tidak puas dengan kekayaan, aku bukan tipe matre. Aku hanya ingin dia bisa lembut, bisa mesra, romantislah pokoknya. Jangan kauanggap berlebihan. Perempuan di seluruh dunia pun menginginkan itu. Kau perempuan atau bukan? Makanya....”

“Hidupnya hanyalah warna dalam hidupku dan hidupku mungkin hanyalah hiasan kecil dalam hidupnya.”

Inilah cinta. Atau strategi untuk cinta? Dan mungkin, aku akan menghidangkan untuk suamiku, ramuan yang terbuat dari cinta juga: secangkir racun dari hatiku ....

Lalu, dari petilan “Kamar Rahasia”, tentang si istri yang mengeram bayangan aneh akan suaminya. Terus berkelojotan dalam pikirannya. Kendati, tak terhitung berkelon sesuka mereka, tetap saja, si istri, tak henti menyisakan ragu dan tanya:

Hm, dari jendela angin membawa aroma bunga kamboja dan gumaman aneh. Lalu terbayanglah olehku, akan ada kematian hari ini. Mengapa pikiran buruk berkecamuk terus menerus. Bahkan ketika Mas Prana mengiris roti dan melumuri dengan coklat, aku merasa itu adalah kulitku yang disayat, dicincang-cincang, dan dilumatnya. Ini sungguh keterlaluan.

Jangan-jangan ini bawaan aku hamil muda? Aku hamil? Mungkin saja. Aku tak pernah hamil sebelumnya. Namun kalau hamil perasaanku seperti ini, bisa-bisa anakku menjadi seorang pembunuh yang brutal. Ya, Tuhan, ini jangan sampai menjadi kenyataan!

Di kamar kami, Mas Prana memeluk aku lebih hangat dibanding sebelum pergi. Ciumannya lebih panas dibanding tiga hari yang lalu. Lalu kami menceritakan kerinduan dengan bergairah melalui tubuh-tubuh kami. Tanpa kata-kata panjang dan tanpa tubuh yang berahasia.

Revitalisasi Cerita Rakyat

Mengangkat sebuah cerpen dari penggalian cerita rakyat pada dasarnya berusaha mengingatkan kembali pembaca akan tamsil sekaligus tafsir untuk memberi “makna pelacakan” historis-sastrawi, bahkan bisa jadi sebagai upaya dekonstruksi, baik berasal dari legenda maupun kesejarahan yang lebih luas. Beberapa cerpen Nugroho coba menapaktilasi dengan menghadirkan “dunia ganda”, “waktu ganda”, dengan tokoh-tokoh yang seolah mewujud di kekinian, ataupun yang mungkin dari yang silam menubuh ke yang sekarang. Seperti pada cerpen “Jago Sang Presiden”, “Yuyu Kangkang Kata-kata”, atau “Entropi Jaka Bayawak”. Tiga cerpen ini diunggah-kembangkan dari Cerita Panji sebagai tafsir, atau tepatnya ada proses ulang-alik cerita.

Tafsir di sini, yang dijalankan si cerita, memberi alternatif menguatkan mitos di dalamnya atau memerosokkannya ke entah. Sedang dekonstruksi, membongkar semua elemen dan unsur penting cerita asli, menjadi sesuatu yang beda sama sekali. Maka, Nugroho menghadirkan cerpennya tidak sekedar perspektif, mungkin lebih dari itu, “jarak pandang”: antara ikhtiar menghancurkan atau mengukuhkan yang “asal”.

Panggung dan Ketajaman Karakter

Pengaruh dan inspirasi dunia panggung Nugroho tidak bisa diabaikan, pasti ada yang mengendap dan menjadi “sesuatu yang lain” darinya, atau setidaknya pengalaman dia sebagai sutradara dan penulis naskah drama dapat diterka-terka ataukah menghadirkan suasana tersendiri tatkala kita menikmati cerpen-cerpennya. Cerpen “Jago Sang Presiden” misalnya. Ada beberapa penggal kilasan panggung, yang dikuatkan karakter tokoh utama Nade Garang, juga tokoh Nug (apakah ini Nugroho sendiri?) yang sayup-sayup menyembul sebagai anak yang diwarisi usaha kanisir ban. Dua tokoh ini seperti menyimpan beban besar sekaligus misi hidup yang mengendap pekat di batin masing-masing. Misi (ataukah impian belaka?) untuk memburu pusaka: jago Panji Laras. Seperti ada tangis dalam hati yang getarannya sungguh menggores darah mereka. Setakik ironik di akhir cerita. Demikian kutipannya:

Nug, kamu kelola perusahaan kanisir ban ini baik-baik. Kamu tangkap filosofinya. Kamu tambal ban yang bocor. Kamu tambah ukir ban yang tipis. Kamu menyelamatkan banyak orang. Kamu memperbaiki kehidupan. Kita harus berjuang dan berkorban. Engkau, Puteri, jaga ibumu,” dan seterusnya dan seterusnya.

“Barang bukti telah kita foto, sekarang kita makan ayam panggang,” orang itu tertawa
“Dikiranya kita peternak, ngasih makan ayam setiap hari,” timpal satunya
“Sidang masih sebulan lagi, barang bukti kita simpan di perut kita.”
“Ya sudah jadi tahi!” Suara tawa keduanya semakin menggema.
Nade Garang menjangkau-jangkau ke luar jendela dan berteriak-teriak.
“Tidak, jangan dibunuh. Jangan dibunuh. Itu pusaka Panjilaras!”
Tiba-tiba benturan keras memukul wajahnya dari luar penjara.
“Nih, makan!” hardik seseorang.

Nade Garang terpental. Ia meraba wajahnya. Wajahnya penuh lumuran darah kental. Tangannya penuh darah juga. Ayam itu berkelojotan dan melompat ke lapangan penjara. Dua sipir itu berusaha menangkap ayam itu tapi tidak bisa. Ayam Panjilaras itu terus mengepakkan sayapnya dan terbang bergelombang. Tanpa kepala.

Atau lihat cerpen “Yuyu Kangkang Kata-kata”. Tokoh Yuyu Kangkang hadir sebagai produk tafsir, dengan penguatan karakter yang akan susah dibedakan apakah cermin pemikirannya dibentuk si pencerita atau si Yuyu Kangkang ini menyosok ke benak Nugroho untuk minta dikisahkan. Suasananya, bak sebuah monolog pementasan, yang diracik berulang-kali, menjadikan cerita itu hidup dan menentukan logikanya sendiri:

 Aku melihat kata-kata telah mengepung udara. Menyesaki langit. Menangkapi orang-orang di tepi jalan. Kata-kata meraksasa menghirup dunia menjadi ampas keilahian.)

Gila. Jangan-jangan perempuan itu adalah … Oh, perahuku hilang. Aku berenang mengejar perempuan itu. Aku temukan perahuku tertambat rapi dekat puri. Di pendopo, aku menyaksikan adegan yang dulu berulang: Putri Candra Kirana hendak direngkuh Asmarabangun. Aku sangat marah. Cepat aku renggut keduanya di tanganku. Tidak ada yang bisa melawanku. Inilah puncak kekuasaanku. Aku bisa meremukkan Asmarabangun sewaktu-waktu dan kubawa Candra Kirana semauku. Tapi, ya Tuhan, Asmarabangun memanggil nama kecilku dengan pasrah. Masa kecil jadi kenangan yang indah. Dan lihatlah, tangan mereka bergandengan dengan rapatnya. Mata mereka bersinar begitu sucinya. Aku menyerah. Aku lepaskan mereka. Aku restui mereka dan kuantar melewati sungai besar. Dan aku, aku tetap tinggal di sungai ini. Mendengar bisikan sungai, yang ternyata bicara tentang hakikat diri.

Dan cerpen “Monolog Malam” ini mengurai kegelisahan santriwati menghadapi pinangan yang mustahil ditolaknya. Tapi si tokoh memiliki pemikiran sendiri yang tak terduga, sebagai intermeso pengobat keluh atau protes atas tradisi pernikahan di pesantren:

“Cakep abis, tuh, Ustad Rahman'" kata teman-teman; juga pinter, sabar, wibawa, dan komplit hal positif lainnya sebagai rekomendasi untukku. Telapi aku tidak banyak mempermasalahkan macam-macam itu, bahkan sempat tersembunyi dalam celebrum otakku bahwa suamiku adalah seorang yang kulitnya gelap, matanya juling, giginya tonggos, temperamennya kasar, dan sukanya menghajarku. Sebab dengan begitu ketika aku melayani suamiku aku betul-betul merasa sedang tuwus melayani sang Khalik. Ketika beliau memukulku aku akan merasa sangat dekat dengan-Nya karena ini bagian dan pengabdianku. Tetapi kalau suamiku tampan dan baik budi, akan sangat mudah cintaku pada Allah retak terbagi, dan itu godaan menjadi sangat besar. Barangkali ini menjadi ujian yang harus kutandaskan sampai titik kematianku. Meskipun masih ada hikmah yang mungkin aku dapatkan, karena ustad itu bisa menjadi guru agama seumur hidupku. Insyaallah.

Pembacaan atas cerpen-cerpen Nugroho adalah hiburan yang gurih, maut yang mengasyikkan, dengan sodoran kontemplatif bagi pengayaan estetika cerpen lokal yang jarang digarap. Menembus mitos jago Panji Laras yang tersembelih dan terbang tanpa kepala. Adakah teror “ayam panggang” seharga 100 juta itu menggelontorkan strategi naratif baru?

-------
* Makalah ini disajikan dalam acara GELADAK SASTRA # 09; LAUNCHING dan DISKUSI KUMPULAN CERPEN "PANJI LARAS", KARYA MS. NUGROHO, TANGGAL 22 OKTOBER 2010 di GOR MERDEKA, Jl. MERDEKA No. 1 JOMBANG.

**Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

Ihwal Esais

Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006);Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007);Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Tim Temu Sastrawan Indonesia [TSI] II, Jakarta: 2009); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009). Sekarang sedang menyiapkan kumpulan cerpen Huru-hara Babarong dan Kronik Ludruk Jombang. Email: surabawuk@gmail.com. Kontak person. 081578177671.