Teror Maut di Leher Ayam Panggang*
Fahrudin Nasrulloh**
Mari rileks sejenak, pijiti kepala dan ngopi secangkir lagi, sebelum menjejakkan mata menatap sebuah cerita. Atau menempuh sepotong cerita dari cerita yang diceritakan kembali dan lalu dikisahkan lagi. Lama-lama jika hal sepele itu berlangsung terus, dan tetap membosankan, teruskan saja dan biarkan perut diterjang mual, mata pahit, bibir pecah-pecah, dan mencret-mencret di bis kota. Yang pasti, saya tidak dihajar kebrengsekan itu seusai membaca kumpulan cerpen Presiden Panji Laras yang memuat 12 cerpen karya M.S. Nugroho.
Apakah lidah anda terlatih menjelajahi wilayah-wilayah kuliner yang yahud dan mantap pol? Mak nyus-lah istilah Bondan Winarno. Bagi yang tidak, sungguh rugi dalam hidup yang sekejap ini. Ya, itu gambaran kecil yang enteng yang gampangan dan seperti makan cemilan favorit yang tak ada duanya yang bisa saya sebandingkan dengan ketika saya membaca cerpen-cerpen ini. Membaca sekali duduk 12 cerpen itu agak pegel juga. Berkali-kali leher harus sedikit-sedikit dipatah ke kiri dipatah ke kanan. Diongkek ke atas ditekuk ke bawah. Pantat juga musti dipindah-pindah. Kopi harus selalu tersedia. Dingin, diganti lagi. Rokok GG 12, pastinya 3 bungkus amblas. Ya, ini pengalaman tersendiri, kalau dihitung-hitung, ada sekitar 8 jam-an saya membaca, kurang lebih, termasuk perkara selingan tadi yang berekor-ekor sampai lupa mandi dan makan cuma 2 kali.
Baiklah, kembali ke cerpen. Ehmm. Mau apa ya? Kita awali begini saja, ini sekenanya: apa ya kira-kira yang membuat seseorang begitu bergairah membaca cerpen? Apa perangsangnya? Pakek obat kuat apa? Secara umum jawabnya: bisa karena ia suka pengarangnya, atau memang ceritanya bagus bin nakal, atau ia si kutu buku yang baik hati bukan si bibliomaniak. Cerpen Nugroho yang pertama saya baca adalah “Nyanyian Untuk Para Babi”. 20 menit ludes. Selanjutnya bisa anda bayangkan dan rasakan sendiri ketika menuntaskan keseluruhan cerpennya. Kepala saya seolah tiba-tiba melepas sendiri dan menari-nari nakal di bubungan rumah, sambil menikmati gurihnya ayam panggang yang sudah tercakot melambai-lambai di mulut serampung baca cerpen yang terakhir “Jago Sang Presiden”.
Sebagai pembaca, apresiasi demikian wajar saja, dan ungkapan untuk menggambarkan sesuatu kadang terlalu dilebih-lebihkan. Mungkin saya berlebihan. Lebay kata anak muda sekarang. Tapi saya berusaha jujur, dengan sedikit slengekan. Dan tetaplah saya hanya sebagai pembaca sebagaimana orang lain yang juga punya apresiasi lain.
Bagi saya, membaca kumpulan cerpen ini, seperti mencari pintu “rumah besar” di mana cerita-cerita yang dipilin Nugroho dapat membukakan satu dari sekian pintu-pintunya. Entah saya harus mengetuknya terlebih dahulu, memutar dulu lewat dapur, atau ia sendiri yang membukakan pintu, tanpa salam, tanpa sebelumnya dikenal. Saya yakin, ada pintu-pintu, berpuluh-puluh jenis pintu, bagi siapa saja, yang tergerak hendak memasuki “rumah cerita”nya. Mungkin akan menemukan halaman yang sama, ruang tamu yang berbeda, kamar-kamar yang ukurannya sama, tiba-tiba muncul demit, tuyul, wewe gombel, atau langsung diterkam cermin-cermin gaib yang bersilih-ganti bentuknya dan kejernihannya.
Saya tidak tahu sejenis apa momen prosaik itu dan bagaimana menggambarkan dengan tepat isi “rumah” itu. Seperti detektif kelas kambing, saya tetap berusaha mencari yang tampak, tanda-tanda, sinyal dari sorot lampu dan kertap-kertipnya, keraguan-keraguan, kegentingan, akar masalah, muasal cerita, teka-teki tokoh, bla-bla-bla, meski yang pasti keseluruhan dari “rumah cerita” itu hanya Nugroho yang banyak tahu. Dan saya, untuk sementara, menemukan remah-remah ini dari “rumah cerita” itu: Teror Maut, Kelokan Plot dan Bayangan Ulang-aliknya, Detail dan Keluwesan Gaya Bercerita, Cerpen Keluarga, Revitalisasi Cerita Rakyat, dan Panggung dan Ketajaman Karakter. Jadi berpinak-pinak, bukan? Merepotkan juga ya. Kenes sekali. Bahlul. Tak apalah. Memang begitulah cara nyantai saya membicarakan cerpen ini. Dibuat tegang, bisa puyeng dengkul ini. Baiklah, saya akan coba preteli satu per satu.
Teror Maut
Cerpen-cerpen Putu Wijaya, juga naskah-naskah dramanya, dikenal khalayak mengusung teror yang menggedor. Penulis ini sangat produktif di usianya yang sudah 70-an tahun. Teror Putu sungguh mencekat. Dengan narasi yang slow, agak ceriwis, sedikit kocak, dan berlarat-larat. Nugroho juga mengungkai teror hampir di keseluruhan cerpennya. Mengocok “maut” dengan pisau berilat tiga yang menggores ke sekujur jalinan cerita: plot, suasana, konflik, tokoh, dan klimaks. Teror Nugroho bermain lebih padat, minim basa-basi, simpel, tidak berlarat-larat. Coba disimak cerpen “Aku Melihat Kaki Itu Dipotong”, yang menampilkan sisi tergelap dan terbejat kaum gelandangan:
Kematian adalah momok yang paling mengerikan bagi mereka. Atau bukan kematian sebenarnya, tetapi cara mati di sini sungguh menyakitkan.
Dampar harus berlutut pada hidup dan harus patuh untuk bersembunyi dari kematian.
“Anak-anakku, hari ini kita harus melepaskan penyakit di dalam tubuh kita. Kita serahkan ke dalam bumi untuk diasuh kembali, karena di atas bumi dia telah gagal. Penghormatan kepada kegagalan adalah kematian. Untuk itulah Ganden harus mati sebagai pelajaran, ia tidak patut hidup karena tidak patuh dan malas bekerja.”
Beberapa kali pingsan seperti latihan menghadapi kematian. Dan dalam kematian penderitaan akan menjadi hambar.
Makanya kaki-kaki buntung Dampar dan kawan-kawan bentuknya sama. Ukurannya sama. Luka-lukanya sama. Nasibnya sama. Itu karena pabriknya sama. Pabrik pencetak uang yang dibangun dengan menyalahgunakan bahan-bahan dari daging dan nyawa serta nilai-nilai kemanusiaan.
Cerpen “Kadung”, menyimaknya, seperti kita dilempari sejurus fragmen aneh, ada gerak cepat yang dijejalkan ke benak, ke perut, ke tengkuk, ke punggung, tanpa memberi kesempatan bernapas, mengemplang dari belakang. Menguntit tanpa bayangan. Teror maut di sini terlukis pada tokoh Tejo, jongos si tokoh janda, yang tersebab memergoki si majikan bertelanjang di kamar yang salah. Tejo lantas menghukum dirinya sendiri dengan mencubles kedua matanya. Lalu bagaimana kecamuk perasaan si janda? Entahlah. Yang pasti, akhirnya, si janda menikahi Tejo, dengan runutan cerita yang begitu saja mengalir namun ganjil. Sebuah keluarga, dengan anak-anak mereka, yang terlahir dari tragedi. Menatap kengerian yang tak lazim. Teror dengan aroma psikopatik turunan ala pesakitan Nero dan Caligula. Ini penggalannya:
Aku terjatuh dari tidur siang. Di depanku Tejo, pembantuku, tampak sangat tegang. Mulutnya melongo lebar dan matanya memelototi tubuhku. Astaga, aku sedang telanjang bulat dan sedang berada di kamarnya. Jantungku seolah meledak dan darahku menjadi kepingan-kepingan kristal. Kusambar pakaianku. Cepat aku melesat ke kamarku sendiri. Nafasku terengah-engah. Kukenakan kembali seluruh pakaianku. Aku menangis dan sangat malu. Aku merasa mengkhianati almarhum suamiku. Aku kotor dan hina.
Tejo diam sejenak. Kedua tangannya menempelkan ujung pisau di mata kirinya. Lalu ia menjatuhkan kepalanya ke lantai. Berhasil. Pisau menancap di mata kirinya. Ia duduk dan mencabutnya. Cepat-cepat dia mengeluarkan botol. Tangannya gemetar membuka tutup antiseptik itu. Ia siramkan cairan bening itu di kedua matanya. Ia mengerang-erang. Tubuhnya berkelelejatan. Kepalanya seperti terbuat dari darah semua. Tubuhnya juga berlumuran darah. Kemudian satu kali teriakan tertahan, berhentilah geraknya. Tubuhnya melengkung seperti udang kering mati di genangan merah.
Tikungan Plot dan Bayangan Ulang-aliknya
Cerpen “90”3GP” perlu dibaca dan disimak lagi 2 atau 3 kali. Tapi tak perlu bagi pembaca yang terlatih dan terbiasa. Kita seperti dipicu untuk mempertanyakan apa-apa yang telah berlalu, dari semua yang pernah teralami, dan tak terlupakan. Tak tergantikan. Apakah yang tertinggalkan di belakang kita sejenis noda atau hantu laknat dari diri dan akan meringkus kita suatu hari? Akankah ketika kita berjalan mundur, jejak-jejak itu membahagiakan atau justru membayang-bayangi jadi ketakutan yang menguntit setiap saat? Cerpen “90”3GP” ini sederhana: tentang dampak teknologi. Video porno yang, bagi siapapun, bisa menjadi pelaku sekaligus korban. Soal plot mundurnya, Nugroho, dengan padatan alur-peristiwa yang ritmenya terjaga dalam beberapa paragraf, secara kronologis ia cukup<span> </span>menandai strategi berceritanya dengan:
Tujuh hari sebelumnya,
Lima hari yang lalu
Malamnya....
Hari ini....
Pilihan plot demikian tidak hanya membikin sedikit gerah untuk barang sebentar menoleh ke belakang. Jika melongok ke film, Pulp Fiction adalah contoh paling gampang. Di sana plot zig-zag dan ketakterdugaan karakter juga peristiwa seakan-akan tanpa ba-bi-bu langsung membacokkan “peristiwa” itu ke kita dari arah mana saja. Kok bisa tiba-tiba begitu? Sepele sekali, kenapa ia dibunuh? Kenapa juga pusing-pusing mengutip Alkitab, bab pembalasan di surah Hezekial, sebelum meletuskan pistol di kepala si pengedar narkoba? Mencari kopi di dapur, yang dicari dikiranya sudah pergi, tapi ia lagi asyik baca-baca di toilet, lalu terdengar suara-suara mencurigakan, saling tatap, sama-sama terperanjat dan... dar-der-dor-trat-trat-trat-tat-tat-tat. Mampus! Getih bersemburan. Ganti fragmen lagi. Tarantino! Uhf, shit mother-fucker!
Dan cerpen “90”3GP” tak sebegitunyalah. Ilustrasi dari Pulp Fiction jelas sengaja saya lambung-lambungkan. Itu keasyikan tersendiri. Sekedar untuk mengurangi efek domino dari pedas-mata dan migren. Bagi siapa saja yang kebetulan mengidapnya. Tapi Nugroho, menciptakan sudut pandang lain. Seperti bermimpi berenang dalam mimpi orang lain lalu rontok. Satu plot mundur, yang mengandaikan suatu “pengabadian”, dari si tokoh, bukan si pencerita (Nugroho). Atau keduanya jadi menubuh: si tokoh sekaligus si pencerita. Maka Nugroho sebagai cerpenis telah “mati”, termakan semiotikanya Barthes. Dan digantikan sosok “yang lain” yang kata-katanya termaktub di paragraf pembuka:
Kalau setiap orang adalah penulis sejarah mereka sendiri, aku tidak hanya penulis sejarah yang bodoh, tetapi juga penulis sejarah yang gila. Aku tidak hanya menulis dengan tinta yang terbuat dari comberan, tetapi juga tidak tahu apa yang aku tulis. Ini tragedi. Tetapi aku punya satu hal. Penulis sejarah itu adalah pelakunya sendiri. Mengapa tidak diubah sendiri? Sayangnya aku sekarang dalam sel penjara. Aku tidak kuasa atas diriku sendiri.
Detail dan Keluwesan Gaya Bercerita
Cerpen yang baik dan mampu mengeram kuat dan lama di benak pembacanya adalah bagaimana pencerita tidak tergelincir pada deskripsi yang boros kata. To the point. Satu tendangan! Telak! Penjelasan yang secukupnya, tapi bisa menggambarkan atau mewakili yang seluruhnya. Ini ukuran standar. Tapi tidak semua bisa. Nugroho berikhtiar ke sana. Saya petikkan contoh dari cerpen “Sayap-sayap dari Langit” tentang pengedar dan pemakai narkoba yang pada akhirnya sama-sama mengalami nasib busuk:
Tangannya merentang dan tegang. Alat bantu pernafasannya terlepas. Mulutnya menganga. Keluar busa dan cairan kuning yang sudah mengering di pipinya. Kulitnya pucat. Matanya melotot. Pupilnya mengecil. Kelopaknya menghitam. Kuku-kukunya juga menghitam. Darah tampak baru saja mengalir dari hidung dan telinganya. Di bawah ranjang tergolek plastik yang biasa dipakai untuk membungkus pil-pilnya.
Joko rasanya sudah mati. Ia melihat pemakai narkoba saja tidak seperti manusia lagi, ia membayangkan pengedar seperti dirinya sebenarnya berwajah seseram iblis yang menyeringai.
Boleh tengok juga pada cerpen “Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Amerika”, yang bercerita tentang kucing kesayangan yang dibuang sebab lancang menyantap oleh-oleh merpati goreng dari si Jena, selingkuhan si tokoh. Dengan gaya bercerita yang sederhana, namun paparan mendetail tentang si kucing itu diceritakan cukup mengena, tanpa bermuluk-muluk metafora:
Salah satu keinginanku sejak kecil adalah punya kucing seperti Sari. Warnanya putih kekuningan. Motif bulunya merah tanah melingkar spiral seperti mahkota kembang mawar. Oleh karena itu kuberi nama Sari. Mukanya proporsional, tidak begitu lonjong dan tidak begitu pesek. Matanya bening seperti kelereng kaca. Pupilnya berwarna coklat tua berlapis-lapis seperti pelangi. Dan matanya seperti sepasang senter menyala dalam gelap. Kata teman-teman, Sari termasuk kucing “samber mawa”, yaitu kucing yang bisa menjatuhkan cecak di dinding hanya dengan menatapnya lama-lama.
Cerpen Keluarga
Dunia Nugroho adalah dunia keluarga. Tenteram dan sejahtera. Ia baik dengan kerabat dan sahabat-sahabatnya. Ihwal yang dekat dengan kesehariaannya. Istri yang setia dan cantik. 2 anak, Hima dan Alya, yang cerdas dan kreatif. Keluarga yang harmonis yang tentu diimpikan banyak orang.
Lain. Lain lagi. Dunia kreatif dan imajinasi Nugroho seperti memiliki jembatan “wingit” jika kita menoleh lalu menyeberang menuju ke cerpen-cerpennya. Ia menggali jagat khayalnya dari “dunia hitam” yang bersarang di nun yang jauh. Di centang-perenangnya kondisi sosial yang lebih kompleks. Mengolah inspirasi dari tumpukan “sampah manusia” dengan segala keunikan dan keruwetannya yang ditolak dunia dan dihinakan takdirnya. Kita menemukan itu di sana, seperti kita didesak dipaksa menjadi bagian dari yang tak tertampikkan itu. Pergulatan hidup sebagai suami-istri, cinta yang tak pernah selesai-selesai, senggama yang tak bertuan gairahnya, dan diri yang, antara terbelah dan bersatu dalam idealisme perkawinan, menjadi kompleksitas problem. Kita bisa temui itu misalnya dalam “Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Australia”, “Kamar Rahasia”, atau “Entropi Jaka Bayawak”. Inilah petilan “Entropi Jaka Biyawak”:
“Tentang kerja ini sebenarnya sampai sekarang aku tidak tahu betul. Sorry. Yang jelas dia mengurus berbagai hal, dari urusan kayu, tanah, mobil, rumah, sampai pembuatan jalan. Dia juga berhubungan dengan banyak orang, termasuk pejabat dan orang luar negeri. Pokoknya dia pengusaha muda yang sangat sukses dan kaya raya. Dan aku menjadi puteri yang berbahagia? Tunggu dulu, seperti dalam roman picisan, aku masih kurang puas. Bukan tidak puas dengan kekayaan, aku bukan tipe matre. Aku hanya ingin dia bisa lembut, bisa mesra, romantislah pokoknya. Jangan kauanggap berlebihan. Perempuan di seluruh dunia pun menginginkan itu. Kau perempuan atau bukan? Makanya....”
“Hidupnya hanyalah warna dalam hidupku dan hidupku mungkin hanyalah hiasan kecil dalam hidupnya.”
Inilah cinta. Atau strategi untuk cinta? Dan mungkin, aku akan menghidangkan untuk suamiku, ramuan yang terbuat dari cinta juga: secangkir racun dari hatiku ....
Lalu, dari petilan “Kamar Rahasia”, tentang si istri yang mengeram bayangan aneh akan suaminya. Terus berkelojotan dalam pikirannya. Kendati, tak terhitung berkelon sesuka mereka, tetap saja, si istri, tak henti menyisakan ragu dan tanya:
Hm, dari jendela angin membawa aroma bunga kamboja dan gumaman aneh. Lalu terbayanglah olehku, akan ada kematian hari ini. Mengapa pikiran buruk berkecamuk terus menerus. Bahkan ketika Mas Prana mengiris roti dan melumuri dengan coklat, aku merasa itu adalah kulitku yang disayat, dicincang-cincang, dan dilumatnya. Ini sungguh keterlaluan.
Jangan-jangan ini bawaan aku hamil muda? Aku hamil? Mungkin saja. Aku tak pernah hamil sebelumnya. Namun kalau hamil perasaanku seperti ini, bisa-bisa anakku menjadi seorang pembunuh yang brutal. Ya, Tuhan, ini jangan sampai menjadi kenyataan!
Di kamar kami, Mas Prana memeluk aku lebih hangat dibanding sebelum pergi. Ciumannya lebih panas dibanding tiga hari yang lalu. Lalu kami menceritakan kerinduan dengan bergairah melalui tubuh-tubuh kami. Tanpa kata-kata panjang dan tanpa tubuh yang berahasia.
Revitalisasi Cerita Rakyat
Mengangkat sebuah cerpen dari penggalian cerita rakyat pada dasarnya berusaha mengingatkan kembali pembaca akan tamsil sekaligus tafsir untuk memberi “makna pelacakan” historis-sastrawi, bahkan bisa jadi sebagai upaya dekonstruksi, baik berasal dari legenda maupun kesejarahan yang lebih luas. Beberapa cerpen Nugroho coba menapaktilasi dengan menghadirkan “dunia ganda”, “waktu ganda”, dengan tokoh-tokoh yang seolah mewujud di kekinian, ataupun yang mungkin dari yang silam menubuh ke yang sekarang. Seperti pada cerpen “Jago Sang Presiden”, “Yuyu Kangkang Kata-kata”, atau “Entropi Jaka Bayawak”. Tiga cerpen ini diunggah-kembangkan dari Cerita Panji sebagai tafsir, atau tepatnya ada proses ulang-alik cerita.
Tafsir di sini, yang dijalankan si cerita, memberi alternatif menguatkan mitos di dalamnya atau memerosokkannya ke entah. Sedang dekonstruksi, membongkar semua elemen dan unsur penting cerita asli, menjadi sesuatu yang beda sama sekali. Maka, Nugroho menghadirkan cerpennya tidak sekedar perspektif, mungkin lebih dari itu, “jarak pandang”: antara ikhtiar menghancurkan atau mengukuhkan yang “asal”.
Panggung dan Ketajaman Karakter
Pengaruh dan inspirasi dunia panggung Nugroho tidak bisa diabaikan, pasti ada yang mengendap dan menjadi “sesuatu yang lain” darinya, atau setidaknya pengalaman dia sebagai sutradara dan penulis naskah drama dapat diterka-terka ataukah menghadirkan suasana tersendiri tatkala kita menikmati cerpen-cerpennya. Cerpen “Jago Sang Presiden” misalnya. Ada beberapa penggal kilasan panggung, yang dikuatkan karakter tokoh utama Nade Garang, juga tokoh Nug (apakah ini Nugroho sendiri?) yang sayup-sayup menyembul sebagai anak yang diwarisi usaha kanisir ban. Dua tokoh ini seperti menyimpan beban besar sekaligus misi hidup yang mengendap pekat di batin masing-masing. Misi (ataukah impian belaka?) untuk memburu pusaka: jago Panji Laras. Seperti ada tangis dalam hati yang getarannya sungguh menggores darah mereka. Setakik ironik di akhir cerita. Demikian kutipannya:
Nug, kamu kelola perusahaan kanisir ban ini baik-baik. Kamu tangkap filosofinya. Kamu tambal ban yang bocor. Kamu tambah ukir ban yang tipis. Kamu menyelamatkan banyak orang. Kamu memperbaiki kehidupan. Kita harus berjuang dan berkorban. Engkau, Puteri, jaga ibumu,” dan seterusnya dan seterusnya.
“Barang bukti telah kita foto, sekarang kita makan ayam panggang,” orang itu tertawa
“Dikiranya kita peternak, ngasih makan ayam setiap hari,” timpal satunya
“Sidang masih sebulan lagi, barang bukti kita simpan di perut kita.”
“Ya sudah jadi tahi!” Suara tawa keduanya semakin menggema.
Nade Garang menjangkau-jangkau ke luar jendela dan berteriak-teriak.
“Tidak, jangan dibunuh. Jangan dibunuh. Itu pusaka Panjilaras!”
Tiba-tiba benturan keras memukul wajahnya dari luar penjara.
“Nih, makan!” hardik seseorang.
Nade Garang terpental. Ia meraba wajahnya. Wajahnya penuh lumuran darah kental. Tangannya penuh darah juga. Ayam itu berkelojotan dan melompat ke lapangan penjara. Dua sipir itu berusaha menangkap ayam itu tapi tidak bisa. Ayam Panjilaras itu terus mengepakkan sayapnya dan terbang bergelombang. Tanpa kepala.
Atau lihat cerpen “Yuyu Kangkang Kata-kata”. Tokoh Yuyu Kangkang hadir sebagai produk tafsir, dengan penguatan karakter yang akan susah dibedakan apakah cermin pemikirannya dibentuk si pencerita atau si Yuyu Kangkang ini menyosok ke benak Nugroho untuk minta dikisahkan. Suasananya, bak sebuah monolog pementasan, yang diracik berulang-kali, menjadikan cerita itu hidup dan menentukan logikanya sendiri:
Aku melihat kata-kata telah mengepung udara. Menyesaki langit. Menangkapi orang-orang di tepi jalan. Kata-kata meraksasa menghirup dunia menjadi ampas keilahian.)
Gila. Jangan-jangan perempuan itu adalah … Oh, perahuku hilang. Aku berenang mengejar perempuan itu. Aku temukan perahuku tertambat rapi dekat puri. Di pendopo, aku menyaksikan adegan yang dulu berulang: Putri Candra Kirana hendak direngkuh Asmarabangun. Aku sangat marah. Cepat aku renggut keduanya di tanganku. Tidak ada yang bisa melawanku. Inilah puncak kekuasaanku. Aku bisa meremukkan Asmarabangun sewaktu-waktu dan kubawa Candra Kirana semauku. Tapi, ya Tuhan, Asmarabangun memanggil nama kecilku dengan pasrah. Masa kecil jadi kenangan yang indah. Dan lihatlah, tangan mereka bergandengan dengan rapatnya. Mata mereka bersinar begitu sucinya. Aku menyerah. Aku lepaskan mereka. Aku restui mereka dan kuantar melewati sungai besar. Dan aku, aku tetap tinggal di sungai ini. Mendengar bisikan sungai, yang ternyata bicara tentang hakikat diri.
Dan cerpen “Monolog Malam” ini mengurai kegelisahan santriwati menghadapi pinangan yang mustahil ditolaknya. Tapi si tokoh memiliki pemikiran sendiri yang tak terduga, sebagai intermeso pengobat keluh atau protes atas tradisi pernikahan di pesantren:
“Cakep abis, tuh, Ustad Rahman'" kata teman-teman; juga pinter, sabar, wibawa, dan komplit hal positif lainnya sebagai rekomendasi untukku. Telapi aku tidak banyak mempermasalahkan macam-macam itu, bahkan sempat tersembunyi dalam celebrum otakku bahwa suamiku adalah seorang yang kulitnya gelap, matanya juling, giginya tonggos, temperamennya kasar, dan sukanya menghajarku. Sebab dengan begitu ketika aku melayani suamiku aku betul-betul merasa sedang tuwus melayani sang Khalik. Ketika beliau memukulku aku akan merasa sangat dekat dengan-Nya karena ini bagian dan pengabdianku. Tetapi kalau suamiku tampan dan baik budi, akan sangat mudah cintaku pada Allah retak terbagi, dan itu godaan menjadi sangat besar. Barangkali ini menjadi ujian yang harus kutandaskan sampai titik kematianku. Meskipun masih ada hikmah yang mungkin aku dapatkan, karena ustad itu bisa menjadi guru agama seumur hidupku. Insyaallah.
Pembacaan atas cerpen-cerpen Nugroho adalah hiburan yang gurih, maut yang mengasyikkan, dengan sodoran kontemplatif bagi pengayaan estetika cerpen lokal yang jarang digarap. Menembus mitos jago Panji Laras yang tersembelih dan terbang tanpa kepala. Adakah teror “ayam panggang” seharga 100 juta itu menggelontorkan strategi naratif baru?
-------
* Makalah ini disajikan dalam acara GELADAK SASTRA # 09; LAUNCHING dan DISKUSI KUMPULAN CERPEN "PANJI LARAS", KARYA MS. NUGROHO, TANGGAL 22 OKTOBER 2010 di GOR MERDEKA, Jl. MERDEKA No. 1 JOMBANG.
**Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Ihwal Esais
Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006);Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007);Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Tim Temu Sastrawan Indonesia [TSI] II, Jakarta: 2009); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009). Sekarang sedang menyiapkan kumpulan cerpen Huru-hara Babarong dan Kronik Ludruk Jombang. Email: surabawuk@gmail.com. Kontak person. 081578177671.