Rabu, 12 Januari 2011

Makalah Geladak Sastra # 10

AS DHARTA YANG SAYA TAHU *

Oleh : Aan Anshori **

“Perkembangan kesusastraan adalah sejarah pertarungan dua kekuatan yang bertentangan, antara kekuatan yang mengusahakan kemajuan dan yang mempertahankan kekolotan”

- AS. Dharta -

Penggalan kalimat itu tersebat dalam paragraf pembuka salah satu tulisan AS.Dharta “Dari Idealisme Menuju Realisme”. Bagi seseorang yang tidak mengenal AS Dharta maupun gegeran faksi kebudayaan pascaproklamasi sebelum orde baru, kalimat tersebut barangkali akan dianggap kalimat estetis yang mengasumsikan si penulis sekedar menulis atau memetik entah dari mana. Namun tidak bagi AS.Dharta. Saya haqqul yaqin kalimat itu ditulis oleh seseorang yang benar-benar berada dalam situasi politik penuh intrik dan atmosfir pergolakan revolusi yang membara saat itu. Tidah hanya sebagai subyek pasif, AS Dharta menjadi bagian yang integral dari pergolakan itu, bagian yang berpolemik dalam kontestasi originalitas tafsiran ruh revolusi 45.

Angkatan 45 yang telah kalah secara politik pasca peristiwa Madiun , oleh AS.Dharta, dituduh hanya sekedar membalut dirinya dengan cinta abstrak yang merupakan sifat khas kelas pertengahan. Mereka senang semboyan-semboyan hampa, asal menggetarkan rasa. Namun rasa cinta mereka terhadap rakyat, demokrasi, dan tanah air tidakmengatasi cinta mereka terhadap kepentingan diri mereka sendiri.

Seperti diakui oleh Dharta, kesusastraan angkatan 45 yang semula menjadi milik dan didukung oleh cita-cita nasionalmenjadi pecah akibat kejadian di lapangan politik dengan diterimanya persetujuan KMB. Pecahan pertama, kesusastraan idealisme yang meneruskan kebangkrutannya dengan tetap melabeli dirinya ‘humanisme universal’, dengan HB Jassin sebagai ikonnya , berhadapan dengan pecahan kedua, kesusastraan realisme kreatif yag baru menyususn diri dengan konsep perjuangan; kesusastraan untuk rakyat –banyak.

Seperti halnya Pram yang berubah menjadi sangat kritis terhadap humanisme universal-nya Jassin, sampai-sampai pram sendiri menganggap ajaran tersebut hanya bisa diresapi oleh segelintir orang, yang pada hakikatnya anti-rakyat. “Mengapa harus anti-rakyat? Ya, karena, karena bukankah mereka takkan mau memahami teorimu tentang manusia dan kemanusiaan, hanya karena mereka tidak mendapat keberuntungan mengenyam ajaranmu, hanya karena kemiskinan berabad? Kelak, tahun 1960, baru aku tahu dari suratmu bila terbaca olehmu aku menggunakan kata ‘Rakyat’ terkesan kembung olehmu. Orang Belanda bilang sudah ‘pluis’ dengan apa yang kusimpulkan dari ajaranmu di dalam penjara Bukitduri selama hampir 3 tahun itu. Apa boleh buat, intelektulitas dalam masyarakat liberal juga harus dibeli, dan barangsiapa tidak mampu membelinya adalah golongan Rakyat. Betapa kacau balaunya dunia bila tanggapan kita terhadap hidup dan dunia memang sudah kacau balau,” tulis Pram pada salah satu suratnya ke Jassin.

Dalam nafas yang sama dengan Pram, Dharta mendapatkan kesimpulan jika ‘seni universal’ tidak lebih merupakan baju baru dari l’art pour l‘art dan hanya menunjukkan kebangkrutan filsafat borjuis. ‘Seni universal’ hanya merupakan praktek untuk lebih menjauhkan dan mengasingkan seniman dan seni dari masyarakat. Kesusastraan universal, tuding Dharta, tidaklah netral dan tidak pula berdiri di atas segala. Dalam medan prakteknya ia merupakan hamba bagi sekutu kelas yang anti perubahan mesayarakat kea rah perbaikan.

Klarifikasi perselingkuhan LEKRA dan PKI

Tuduhan perselingkuhan Lekra dan PKI yang berujung pada pembersihan selurub aktifis kebudayaan di dalamnya meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh, terus dimunculkan pada setiap generasi yang dilahirkan di republic ini. Hingga detik ini, Lekra selalu diidentikkan dengan PKI, yang oleh karenanya setiap kali ia diucapkan secara otomatis internal early warning system di diri kita berbunyi, menyeranta kita agar waspada penuh kecurigaan.

Dalam kata pengantar buku ini, Dharta mengatakan bahwa Lekra dan PKI adalah ibarat minyak dan air. Joebaar Ajoeb dalam bukunya “Sebuah Mocopat Kebudayan Indonesia” memberikan distingsi yang yang cukup serius antara 2 organ ini. Dalam mukaddimahnya “LEKRA menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia  mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.” PKI dalam argumen Ajoeb, adalah sebuah partai politik. Dan politik, adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga demikian.

Dharta malah secara tegas mengatakan penisbatan itu “tidak logis, secara teori nggak kena”. Menurutnya kebenaran itu tidak dimonopoli oleh PKI. Ada kebenaran lain yang sama, kebenaran yang diperjuangkan oleh kebudayaan, oleh Lekra, oleh kultur.Tidak ada partai yang sempurna.

Fakta pertentangan keduanya yang laten dan fatal justru terlihat pada gagasan yang menghendaki lekra menjadi organisasi resmi PKI pada akhir tahun 1964. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu. Bukan tanpa alasan. Alasannya amat sehat, demokratis dan sudah tentu demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya telah disimpulkan di dalam Mukaddimah organisasinya. Secara organisasi Lekra bukan merupakan underbow dan tidak menyandarkan afiliasi politiknya kepada PKI. Meski tidak sedikit anggota Lekra yang menganut paham komunis, namun banyak tokoh-tokoh yang tidak, sebut saja Pramoedya Ananta Toer, A. S. Dharta, M. S. Ashar. Mereka disebut sebagai budayawan yang manipolis revolusioner.

Namun ‘politik adalah panglima’. Politik adalah kuasa tafsir mayoritas yang bersifat arbitrer atas sebuah kebenaran tanpa mengkonfirmasi secara obyektif. Lekra diberangus,. Para aktifisnya dipenjara dan diasing termasuk AS.Dharta.

Hormat kepada Tursaho. Dia bisa bikin saya 15 tahun nggak ngapa-ngapain. Dia berhasil membikin saya lumpuh, membikin saya impoten tanpa penyakit AIDS. Hebat dia! Hebat Tursaho!” ujar Dharta kepada b-u-s-e-t.

Roda sejarah sudah berputar. Sejarah versi ‘pemenang’ terus menerus direproduksi dan dioperasionalisasikan menggunakan tangan dan kekuatan negara dan agama.

--------------
* Disampaikan dalam diskusi Geladak Sastra membedah kumpulan esei sastra AS.Dharta “Kepada Seniman Universal” yang diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring, 21 Nopember 2010, di Mojokuripan Sumobito.

** Aktif di Nahdlatul Ulama Jombang dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar