Rabu, 12 Januari 2011

Makalah Geladak Sastra # 12

Facebrick dan Sejarah Puisi *

Oleh : Gandis Uka **

Kenyataan sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan puisi mempunyai peranan yang penting dalam memberikan makna puisi itu. Puisi seringkali memotret jaman tertentu dan akan menjadi refleksi jaman tertentu pula. Kaidah estetika yang digunakan penyair biasanya selaras dengan kaidah estetika jaman tertentu. Penafsiran puisi yang mengacu pada kenyataan sejarah akan lebih konkret dan mendekati maksud penyair yang sebenarnya. Di samping itu kita juga berusaha memberikan nilai sebuah puisi sesuai dengan jaman terciptanya puisi itu, sesuai dengan norma estetika yang berlaku pada masa tersebut. Setiap puisi pasti berhubungan dengan penyairnya karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri. Di dalam puisi, laku lirik memberikan tema, nada, perasaan, dan amanat. Rahasia di balik majas, diksi, imaji, kata konkrit, dan versifikasi akan dapat ditafsirkan dengan tepat jika kita berusaha memahami rasa penyairnya.

Kumpulan puisi Facebrick ini seperti kata pengantarnya adalah hasil olah rasa/ pengalaman batin setiap penulisnya yang sedang mencari eksistensinya seiring dengan perkembangan jaman yang semakin membingungkan. Kebingungan itu pun terlihat ketika mereka sampaikan dalam bentuk karya sastra yang menurut pengamatan bodoh saya seharusnya bisa lebih menonjok lagi, ada kegamangan atau semacam sekat untuk mengungkapkan kebingungan yang mereka rasakan sehingga makna yang hendak disampaikan tiba-tiba ambyar. Padahal jika kita menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair.

Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Di dalam mantra tercermin hakekat sesungguhnya dari puisi, bahwa pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib. Dalam perkembangannya di indonesia, kita kenal sebagai tipografi dan model puisi yang menunjukkan perkembangan strukur puisi tersebut.

Di sini saya mencoba menautkannya dengan puisi Sigit Yitmono Aji “Ajiku aji” yang didalamnya dia mencoba memilih kata dengan sangat seksama, dengan bunyi-bunyi yang diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti, mungkin jika dibaca secara keras akan menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis. Akan tetapi apakah puisi “Ajiku aji” termasuk mantra? Karena kebanyakan mantra menggunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga ujud puisi yang dituliskan Mas Purwanto yang awalnya saya pikir mengacu pada puisi kontemporer karena melihat bentuk grafis penulisannya, larik pertama menjorok kedalam selanjutnya menjorok keluar dan seterusnya, mungkin ada maksud tertentu atau makna tersendiri ketika menuliskan puisinya sedemikian rupa?

Lain halnya ketika membaca puisi Arya Esa Mahadewa yang menggunakan bahasa Jawa ketika mengkritisi jaman yang semakin edan, mengingatkan saya pada rekan-rekan yang berjuang mengembalikan/membangkitkan sastra etnik di tiap daerah, karena tidak sedikit anak jaman sekarang yang mengerti bahasa ibu (bahasa jawa), padahal kita tahu setiap daerah memiliki bahasa etnik sendiri, seperti di Jombang sendiri ada bahasa yang di sebut dengan gaya Jombangan, apa salahnya jika bahasa Jombangan itu diolah menjadi karya sastra yang berbentuk puisi? Ketika belajar sastra etnik tidak semua kata harus menggunakan bahasa jawa, bisa dengan campuran atau membuat puisi dengan bahasa indonesia yang kemudian dimasuki bahasa jawa. Keragaman bahasa daerah itu yang diangkat, karena kita sendiri juga tahu bahwa bahasa jawa memiliki lapisa-lapisan yang berbeda/ unggah-ungguh yang pastinya membuat kita semakin kaya dan semakin kreatif.

Dari seluruh pengamatan, saya bukan mengkritisi dan saya juga tidak menilai karena dalam sebuah karya sastra dewasa ini semua sah-sah saja (dalam tanda kutip), dan kita sama-sama belajar untuk kedepannya saya berharap tidak berhenti sampai disini tetapi akan ada proses kreatif yang lebih spektakuler lagi. Selamat berkarya.

****

---------------

* Makalah ini disampaikan dalam acara GELADAK SASTRA # 12; "Bedah Buku: Facebrick (Antologi Bersama Kelompok Alief Mojoagung)", pada hari Jum'at, 31 Desember 2010, pukul : 08.00 Wib, di Aula Griya Taruna, Pelayanan Sosial Remaja Terlantar/ PSBR (Panti Sosial Bina Remaja), Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 03, Jombang.

** Gandis Uka, penulis (cerpen dan puisi), pengajar dan pelatih Teater SENJA di MTs SMESTA 789

Tidak ada komentar:

Posting Komentar