Rabu, 12 Januari 2011

Makalah Geladak Sastra # 07

Membaca Rajegwesi—Puisi-puisi Tak Terduga Fatah Yasin Noor *

M.S. Nugroho**

Ketika Fahrudin meminta saya untuk membahas puisi-puisi Fatah Yasin Noor dalam kumpulan Rajegwesi, saya agak keberatan. Selain pengalaman saya sangat terbatas juga puisi itu bentuk seni yang sangat pribadi sekaligus sangat bebas, bahkan Filsuf Aristoteles mendeklarasikan konsep licentia poetica atau aturan berekspresi adalah kebebasan itu sendiri, sehingga pembahasan untuknya menjadi kurang bermakna.

Bagaimana membahasnya? Bukankah puisi adalah cabang seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas? Elemen-elemen seni ini ialah kata. Kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri. Sedangkan puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan-pembentukan baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis. (:Dresden). Ditambah lagi saya tidak kenal pengarang, jalan pikirannya, harapannya? Bagaimana saya bisa menjelaskannya? Saya tentu seperti membawa obor hitam di tengah belantara gelap. Namun kalau saya dan yang lain tidak bersedia, tentu diskusi semacam ini tidak akan terjadi.

Puisi Tak Terduga?

Agak aneh membaca judul Rajegwesi—Puisi-puisi Tak Terduga Fatah Yasin Noor, menurut saya, bukankah salah satu tahapan penulisan puisi memang tak terduga? Ini karena media bahasa itu sangat rumit prosesnya. Untuk bahasa saja bisa dimulai simbol bunyi bahasa ke simbol bahasa lagi prosesnya beberapa tahap. Dan keluarnya satu-satu kata (atau kelompok kata) saja. Tentu saja tak terduga. Kalau ada orang-orang khusus yang bisa skanning bunyi/ simbol bahasa, bisa dipastikan dia tidak sedang membuat puisi yang orisinal. Kalau semua tak terduga, kata tak terduga ini tidak perlu ditulis atau mungkin, bisa digunakan untuk keperluan lain. Supaya penasaran atau supaya berbeda, misalnya.

Kemudian saya buka puisinya. Puisi pertama “Elegi Perjalanan Hidup”, saya tidak menangkap adanya elegi, bahkan seberkas sikap semangat hidup. Demikian juga puisi kedua, “Ia Mendengar Suaraku”, si “ia pendengar suara” tidak terbahas sama sekali. Dan banyak lagi. Apakah ini yang dinamakan tak terduga? Misalnya karena kepala dan badan tidak terhubung dengan benar? Tunggu, mungkin pernyataannya sendiri bisa menjelaskan.

Mungkin aku bukan penulis yang benar-benar penulis. Belum banyak yang terkagum-kagum dengan sejumlah tulisanku, apalagi aku mendapat penghargaan. Kalau kamu bilang cocoknya aku jadi penulis, itu gak benar. Sejak dulu, aku gak punya bakat jadi penulis. Selama ini aku menulis hanya sepintas lalu.()Kadang aku menulis hanya sekadar menulis, tanpa konsep dan perencanaan segala. Aku menulis mengalir begitu saja, yang aku sendiri kadang heran dan gak tahu apa-apa. Seringkali aku tersendat dan kehabisan ide. Tulisan kreatif memang gak sama dengan eksepsi yang sudah baku itu. Ilham bisa ditunggu. Ketika ia datang, aku langsung menggarapnya. Tapi kamu bukan ilham, jadi aku tak mungkin bisa menggarapmu di atas meja. Apa ada perempuan yang minta digarap? Aku nyatakan saja di sini, bahwa engkau perempuan cantik.

Ketika ia sendiri heran dan tidak tahu apa-apa, sebenarnya tidak benar-benar begitu. Dia bisa menahan, menghentikan, atau mengarahkan. Kata-kata tidak datang begitu saja dari kekosongan (A.Teeuw). Kata-kata itu lahir dari berbagai proses pengalaman hidup. Semakin beragam dan matang pengalaman dan kuatnya dorongan puitik, semakin memungkinkan melahirkan puisi yang berbobot. Seperti halnya larik “Surat Cinta” Rendra: Kau tahu dari dulu : / tiada lebih buruk /dan tiada lebih baik / dari yang lain ....../penyair dari kehidupan sehari-hari, / orang yang bermula dari kata / kata yang bermula dari/ kehidupan, pikir dan rasa.

Rajegwesi

Buku Rajegwesi-Puisi-puisi Tak Terduga FatahYasin Noor ini memuat 70 puisi yang diurutkan berdasarkan tahun pembuatan. Dimulai pencantuman tahun 1991 (13 puisi), 1992 (6 puisi), 1997 (1 puisi), 1998 (2 puisi), 1999 (1 puisi), 2007 (15 puisi), 2008 (8 puisi), dan 2009 (24 puisi). Pada tahun 2000—2006 (0 puisi), ada apakah? Apakah Fatah Yasin Noor pada tahun tersebut tidak menulis puisi? Atau puisi pada tahun itu sudah diambil untuk kumpulan puisi pilihan, misalnya untuk kumpulan puisi tunggal Gagasan Hujan (PSBB, 2003), sehingga puisi dalam kumpulan ini merupakan puisi-puisi sisa?

Dengan puisi-puisi Fatah Yasin Noor mencatatkan sejarah pribadinya, sikapnya, dan pemikirannya, tanpa terasa menyembunyikan emosi dan pikiran yang liar, meskipun kadang menyembunyikan peristiwanya itu sendiri. Rajegwesi, Kemiren, Rinjani, dan daerah setempat menjadi latarnya. Perasaannya sebagian serupa wisatawan yang suka mengeluh dan sinis.

Di dalam puisi ini bertebaran kata-kata sepi, sunyi, kini, gerimis, hujan, embun, katamu, bahkan kata penampakan berfrekuensi 16 kali. Apakah penggunaan kata-kata ini untuk karakterisasi atau sebagai keterbatasan kosa kata?

Pengarang berani menerobos kata-kata yang biasanya dihindari oleh banyak penyair karena dianggap kurang konkret dan imajinatif, misalnya penggunaan kata-kata umum dan abstrak seperti cinta, sepi, sedih, perbuatan, kenangan, kekuasaan, kejujuran, kesedihan, kebahagiaan, kesusahan, kemudahan, dan kemenangan. Mungkin pengarang ingin keluar dari konvensi umum untuk menuju ke pola estetik yang lain. Hanya dasar puitiknya saja yang perlu digali lagi lebih dalam.

Bencana Orientasi

Beberapa puisi mengalami pemecahan orientasi, semisal Ia Mendengar Suaraku, Laut, Rona Merah Pipimu, dan Perihal Makan dan Bepergian. Coba perhatikan kata ganti dan orientasinya pada kutipan puisi Bencana berikut ini.

Bencana// Kita bisa menjadi ragu dengan bencana. Hari demi/ hari seperti puisi yang berjalan di atas air. Orang-/ orang memakai bahasa untuk keramaian pasar/ wacana. “Kali ini mari kita hindari memperbincang-/ kan masalah kekuasaan,” katamu. Maka orang-orang saling membisu. Sebagian besar...malah terus saja bicara. Untuk yang sekian kalinya, ia mencoba bersabar. Lihatlah, kali ini kami mencoba tak/ mempersoalkan waktu. Tapi, kami sesekali masih di rumah buku. Tentu saja kata-kata berloncatan di/ situ, bersama kertas-kertas yang bersampul biru./ Kami makan bersama, dengan menu yang setiap/ hari selalu berbeda-beda. Rasanya waktu kembali/ datang terlambat. Kami pikir, pikiran mereka pastilah/ mengusung sejumlah waktu: kenangan, impian, dan keinginan. Kadang kita dipermainkan oleh kenangan. Tak jarang kita dipermalukan karena punya/ mimpi. Kenapa banyak orang punya keinginan?// Aku bertemu Ramadhan di kafe. Kami saling melem-/par senyum. Di hadapan Ramadhan telah berjajar/ botol minuman di atas meja. Mungkin Ramadhan/ ingin menikmati dunia malam ini dengan mencari se-/suatu yang lebih segar. Bahwa malam memang se-/ lalu menciptakan perasaan-perasaan tertentu yang/ mungkin syahdu. Aku bosan dengan istilah sepi, ke-/sepian. Malam hari selalu merambat pada ranting/ hati. Sebongkah sangsi yang harus diurai. Kenapa engkau meninggalkanku di saat aku masih menginginkan malam dan enggan bersentuh Fajar?//2009

Perubahan orientasi dari kita, orang-orang, sampai pada aku, Ramadhan dan engkau ini membuat posisi komunikator dan komunikan labil. Penarasian yang goyah ini tentu tidak kuasa membawa pesan yang utuh. Pada beberapa kasus terasa juga pergeseran orientasi ini sebagai digresi dan inkoherensi.

Kalau kelabilan orientasi ini memang disengaja oleh pengarang, ini bisa menjadi sebuah makna. Sebuah cermin yang buram untuk kebudayaan kita. Betapa kita sangat cair dalam orientasi. Tidak punya kerangka pijak yang jelas sekaligus tidak punya visi yang jernih. Pikiran kita semrawut tidak ujung pangkalnya. Sama seperti serangan iklan-iklan di jalan-jalan dan media massa yang sangat ekspansif dan kritis.

Revisi

Di dalam kumpulan puisi ini, ada sebuah puisi dengan versi yang berbeda.

Rona Merah Pipimu

Pagi hanya rona merah di pipimu, selamat pagi

Selamat pagi juga pada cericit burung

Dan lambaian daun pisang

Mungkin aku masih mengantongi

Mimpimu semalam,

Kini engkau menampakkan senyum buah nangka.

Aku bisa membayangkan apa yang tersembunyi

Di balik bajumu yang coklat kemerahan

Adalah lambaian kepundan yang menyimpan belerang

Aku berangkat pagi-pagi

Bersama burung dalam igauku

Nilai matahari semakin bersinar saat semburat

Merah kekuningan mencangkuli mataku

Ada marabahaya lain yang masih tak nampak

Yang semestinya kita sadari sejak dulu

Tapi, mega-mega terus saja berjalan beriringan.

2007 (halaman 51)

Daun Pisang

Pagi itu hanya rona merah di pipimu, selamat pagi

Selamat pagi juga pada cericit burung dan

Lambaian daun pisang

Mungkin aku masih mengantongi mimpimu semalam,

Kini engkau menampakkan senyum buah nangka.

Aku bisa membayangkan apa yang tersembunyi

Di balik bajumu yang coklat kemerahan itu

2009 (halaman 64)

Sebagai puisi, saya melihat bahwa puisi ke dua tampil lebih baik dilihat dari unity, rytme, dan misterinya.

Membuat revisi sebuah karya sastra yang diterbitkan memang suatu kewajaran, namun membuat revisi dalam satu kumpulan merupakan ketidak laziman. Kalau ini suatu kesengajaan, semestinya ada nilai tawar seperti yang di lakukan Sutardji dalam O, Amuk, Kapak.

Sepintas juga saya melihat puisi dari versi sebelumnya di sebuah blog Fatah Yasin Noor, misalnya puisi “Sabda” 2008 di Rajegwesi merupakan versi yang lain dari halaman Rabu, 26 Maret 2008, “Adam Tanah Basah” 2008 dari Selasa, 18 Maret 2008, “Daun Waktu” 2009 dari Selasa, 25 September 2007, “Perihal Makan dan Bepergian” 2009 dari Selasa, 25 September 2007, “Sampiran Setan” 2009 dari Selasa, 1 Januari 2008, dan “Duren” 2009 dari Senin, 10 Maret 2008. Melihat kenyataan bahwa sebagian puisi di Rajegwesi itu sudah pernah ditulis dalam versi lain, mungkin judul puisi-puisi tak terduga perlu dipertanyakan kembali.

Penutup

Selamat kepada Fatah Yasin Noor atas diterbitkannya kumpulan puisi tunggal untuk ke sekian kalinya. Pendokumentasian seperti ini tentu akan lebih abadi dibanding kalau hanya disimpan dalam laci. Biarlah karya akan menjadi parodi diri sendiri (George Louis Borges). Saya berharap tidak ada tubuh dan jiwa yang terluka (“Mengupas Apel”: 40). Tidak ada niatan untuk menyakiti kecuali menguatkan. Maaf. Maaf. Maaf. Terima kasih.

Sebagai penutup, saya kutipkan dialog Mr. Keating dalam film Dead Poets Society, “Kita membaca dan menulis puisi bukan karena puisi itu bagus, kita membaca dan menulis puisi karena kita anggota umat manusia, umat manusia penuh dengan gairah.”

----------

* Makalah ini disajikan dalam acara Geladak Sastra # 08; Bedah Buku Puisi Rajegwesi, karya Fatah Yasin Noor, hari Ahad, 26 September 2010 yang diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring kerja bareng dengan Sanggrah Akar Mojo.

M. S. Nugroho, staf pengajar di SMP Negeri 3 Peterongan di Darul Ulum. Tinggal di Jalan A.Yani 110 Mojolegi Mojoagung. Pernah mendapatkan penghargaan untuk bidang lukis, teater (aktor, sutradara, kelompok), baca puisi, penulisan puisi, penulisan drama, dan penulisan cerita pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar