Cover Antologi Cerpen Panji Laras |
Dunia Panggung M.S. Nugroho
Oleh: Giryadi
Dunia persilatan –meminjam istilah Shoim Anwar- cerita pendek Indonesia, bila merujuk pada kaidah cerpen koran, pada dasawarsa akhir-akhir ini –pasca orde baru- semakin banyak muncul pendekar-pendekar baru yang menakjubkan.
Saya katakan sebagai pendekar-pendekar baru, karenalah, dunia cerpen dalam genre koran, mengalami peningkatan, baik dari segi tema, gaya, teknik penulisan, yang begitu cepat. Kenyataan itu, didukung oleh media massa, yang mau mewadahi semua aspirasi para pengarang-pengarang itu. Buntutnya bisa kita lihat perkembangan cerpen koran cukup menggembirakan.
Satmoko Budi Santoso (Kompas, 8/06/03), menandai peningkatan itu sebagai keberjamakan eksperimentasi karnaval estetika. Kalau setiap minggu kita membaca cerpen-cerpen yang hadir di halaman budaya koran, maka terlihat sekali perayaan estetika itu. Keberjamakan itu begitu terasa, bila kita membanding-bandingkan cerpen dari media satu ke media lainya.
Begitulah, nasib cerpen koran kita sampai hari ini. Cerpen koran telah merasionalisasi dirinya, menuju ke segmen-segmennya, hingga Satmoko mengatakan cerpen kita sedang runtuh dari menara gadingnya. Cerpen tidak lagi milik segelentir orang saja, tetapi telah memiliki pasar yang cukup luas, dibanding sepuluh tahun sebelumnya.
Yang menarik dari semua ini adalah, percepatan perkembangan cerpen yang begitu cepat, sehingga kalau kita mau mengamati cerpen secara baik mengalami kesulitan. Seperti dalam dunia persilatan, ‘pendekar yang satu ditumbangkan, pendekar yang lain hidup,' dan begitu seterusnya.
Maka setiap minggu yang kita dapat dalam lembar-lembar budaya di koran-koran nasional, bermunculan cerpen-cerpen yang mendedahkan jurus-jurusnya kepada dunia persilatan cerpen Indonesia. Pendekar-pendekar baru gernerasi abad 21 dengan jurus-jurus mautnya itu, bisa kita baca cerpen-cerpen Agus Noor, Teguh Winarsho, Rahmat H Cahyono, Puthut EA, Djenar Maesa Ayu, Anton Kurnia, AS Laksana, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Eka Kurniawan, Satmoko Budi Santoso, Oka Rusmini, Gunawan Maryanto.
Sementara dari Jawa Timur sendiri kita mengenal cerpenis-cerpenis seperti M Shoim Anwar, Ratna Indraswari Ibrahim, Budi Darma, Soni Karsono, Imam Muhtarom, Finsa E Saputra, Tan Tjin Siong, Lan Fang, Zoya Herwati, dan lain sebagainya.
Merekalah yang menandai keberjamaan itu dengan mengusung berbagia tema, gaya, dan teknik penulisan, sekaligus meruntuhkan ambiguitas cerpen yang mengoran (berita-fiksi). Cerpen hadir dengan beragam tema, berbagai eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar ABG dan komunitas selebriti.
Apakah dengan demikian iklim sastra (cerpen) kita menjadi kondusif, yang menurut istilah Binhad Nurrohmat hidup dalam kehinggar-bingaran yang sehat? Kurnia Efendi (Republika, 15/06/03) juga mempertanyakan, di tengah kehinggar-bingaran karya cerpen di media massa dengan berbagai gaya dan inovasi ini apakah kita menjadi kaya atau miskin? Apakah karya sastra kita malah maju atau mundur?
Pertanyaan yang berbahu kekawatiran ini perlu kita pikirkan. Karena keberjamakan itu apakah merupakan jawaban dari perkembangan cerpen selama ini yang beberapa tahun lalu Agus Noor dengan optimistis menilai, mutu cerpen (kita) tidak lagi ditentukan oleh majalah, jurnal tetapi di koran-koran. Legitimasi ini tentu sangat politis. Bagaimanapun, sejak saat itu, masing-masing media massa berlomba-lomba, merangkul para pendekar-pendekar baru.
Dan seperti kita tahu dalam rentang 10 tahun terakhir –seolah-oleh- nasib cerita pendek kita ditentukan oleh koran. Dan karena itu, dalam sepuluh tahun terakhir, yang tampak di depan mata adalah buku-buku kumpulan cerpen yang dirangkum dari cerpen-cerpen koran. Hampir-hampir tak ada cerpen yang diniatkan terbit sebagai cerpen buku (tidak disiapkan untuk koran).
Dan apakah dengan demikian cerita pendek kita akan terus menjadi kepanjangan tangan dari koran (baca; berita)?
Tentu tidak. Karena di balik hingar bingarnya penerbitan cerpen koran, muncul penulis cerpen-cerpen buku. Salah satunya tentu buku milik M.S. Nugroho ini. Melihat bentuk, tema, gaya penulisan, cerpen M.S. Nugroho tidaklah di ikhtiarkan untuk diterbitkan di koran. Meskipun ada kemungkinan gaya dan tema penulisan cerpen Nugroho seperti dalam buku ini bisa saja diterbitkan di koran.
Namun tampaknya itu bukan tujuan akhir dari proses kreatif Nugroho. Sebagai seorang yang juga bergelut di dunia teater, Nugroho, sepertinya membebaskan teks sastranya lahir sebagai teks sastra itu sendiri. Karena itu, cerpen-cerpen yang kita nikmati dalam buku ini, menawarkan berbagai ragam tema, teknik pemaparan, yang terbuka untuk kita obrak-abrik. Dan tidak bergantung pada medium.
Cerpen-cerpen Nugroho seperti menawarkan panggung teater gaya Brechtian. Keluar masuk, dengan medium yang lebih luas tetapi intim. Butuh keterlibatan, dalam menelusur rimba teks yang cukup luas. Terkadang tidak beralur maju. Kita seperti diajak dalam sebuah panggung yang tak tunduk oleh waktu, tetapi kita bisa memahami itu satu peristiwa yang dirangkai dalam satu ketukan nafas.
Sebagai mantan aktivis teater Angan-Angan di IKIP Malang pertengahan 1990-an, cerpen-cerpen Nugroho membawa ‘tradisi’ kelompok Angan-Angan yang egalitarian, terbuka bagi sebuah kemungkinan. Tradisi dan modern bisa berbaur, keluar-masuk, menjadi satu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur tradisi menyeruak keluar masuk, menjadi rangkaian peristiwa yang tidak maju, tetapi berpilin-pilin seperti sebuah angin tipun.
Cerpen-cerpen Nugroho, tampaknya tidak jauh dari obsesi pemanggungan. Dan kita tahu, dunia panggung tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada citra, warna, emosi, ruang, tekstur, dll. Cerpen Nugroho dengan satu kesatuannya yang utuh, sebenarnya menawarkan dunia panggung. Obsesi dunia panggung dalam cerpen Nugroho, menandakan, Nugroho tidak menyiapkan cerita ini sebagai cerita yang berhenti sebagai teks sastra (koran-majalah), tetapi bisa saja menyeruak menjadi teks teater, drama, sinetron, film pendek, parody, besutan, dan lain-lain.
Inilah dunia cerpen Nugroho yang saya pahami sebagai obsesi dunia panggung. Tentu pembaca punya pendapat lain. Selamat menonton, eh…membaca!
Surabaya, Oktober 2010
R Giryadi
(Penulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar