Rabu, 12 Januari 2011

Esai Serambi Budaya

Jurus ”Tapak Dewa Molor” Dekajo *

Oleh: Fahrudin Nasrulloh **

Berbaring di sana
Seperti babi dalam selimut
(Nathaniel Anthony Ayers)

Sebuah dewan kesenian di sepanjang sejarahnya di Indonesia tak pernah sepi dari persoalan-persoalan yang dihadapinya terlebih di wilayah interen di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya bermain atas nama kepentingannya masing-masing. Artinya ada kepentingan yang secara umum demi “kesenian” di daerah itu sendiri, ataupun “kepentingan” di balik niat yang tersembunyi.

Tulisan ini merupakan respon untuk menanggapi sekian “semonan” dan kasak-kusuk dari luar yang sebenarnya sepele tapi menohok perihal: bagaimanakah kelanjutan Dekajo (Dewan Kesenian Jombang). Apa saja agenda 2010 dengan anggaran dana 500 juta itu.

Mengurus kesenian di Dekajo, adalah awal yang berat. Tapi apa yang membuat berat? Kelak orang akan tahu mental orang Jombang yang kadang-kadang ”molor” dalam bekerja. Tidak taktis, realistis, dan efektif. Suatu watak penyakit kronis yang khas Indonesia yang pas dan benar sebagaimana dalam buku Manusia Indonesia-nya Muchtar Lubis. Dalam tulisan ini saya coba mencatat dengan agak teliti peristiwa-peristiwa rapat Dekajo dan persoalan-persoalan yang berslintutan di sekitarnya. Kita memang perlu pukulan telak di tengkuk. Molor lagi.

Jurus ”Kerja Molor” Jilid Pertama

Persis, seketika, wajah saya jadi agak merah. Karena saya berada di dalam sistem dewan kesenian ini pada jajaran Komite Sastra. Tentu hal ini jadi beban psikologis, tapi saya pikir “prek” saja atas semua gunjingan itu. Jawaban sementara saya yang terlontar hanya: menunggu SK Bupati Suyanto turun! Ada yang menyahut, kenapa tidak turun-turun, apa menunggu Desember 2010? Wah, bisa hangus 500 juta itu! Demikian komentar balik mereka, yang terkesan apatis, sinis, dan menyayangkan, tapi saya melihatnya itu sebagai kritik pedas atas kemandekan yang bagi saya susah dinalar bagaimana Dekajo yang sejak dikukuhkan pada 25 Februari 2010, dengan talangan dana 30 juta. Bagaimana dengan rapat-rapat yang sudah diadakan beberapa kali terkait penyusunan AD/ART dan penyusunan program yang telah dirancang masing-masing komite? Belum juga terumuskan sampai detik itu. Padahal raker Dekajo yang dihelat pada 23 Mei 2010 setidaknya menjadi acuan agar agenda masing-masing komite segera dijalankan. ”Tapi dananya mana? Mana?” seloroh seseorang itu. Terus molor lagi.

Jurus ”Mata Molor” Jilid Kedua

Baiklah, saya coba hadirkan hasil perumusan sementara pada 23 Mei 2010 itu dari program masing-masing komite yang mana semua penyusunan program tersebut berpijak pada beberapa prioritas ini: realistis, proporsional, penguatan data-data kesenian, penguatan kantong-kantong kesenian, fasilitasi, dan pengembangan kesenian. Ada 7 komite yang akan bergerak di sini. Komite Sastra yang diketuai Hilmi As’ad (meski pada raker itu ia tidak hadir) merumuskan anggaran sebesar 67 juta, dengan ancangan prioritas bagaimana menumbuhkan gairah bersastra di Jombang, menggali potensi kreatif penulis, membangun jaringan sinergis antara komunitas dan penulis baik di Jombang maupun di luar, sebagai upaya menjalin keragaman dan wawasan. Agenda ini berupa penelurusan dan pendataan komunitas dan penulis di Jombang, bedah buku (dari penulis Jombang maupun dari luar), diskusi tematik (dengan menghadirkan dan memberdayakan penulis lokal dan juga mengundang dari luar), penerbitan buku sastra dan yang terkait itu, workshop dan pengenalan berbagai program sastra ke sekolah-sekolah, dan perhelatan lomba penulisan puisi, esai, dan prosa.

Komite Tari yang diketuai Dian Sukarno mengajukan anggaran sebesar 61 juta, dengan agenda melakukan data base pelaku tari, pelatihan tari Jombangan, fasilitasi tari regional, diklat dan workshop, dan fasilitasi pementasan mandiri. Komite Seni Rupa menyodorkan anggaran 102.275.000, untuk: pengadaan sarana dan prasarana sketsel, demo lukis (on the spot), apresiasi (mengunjungi kegiatan pameran di luar Jombang), hunting fotografi, pameran lukisan di Jombang dan di luar Jombang. Komite Sinematografi mengagendakan prioritas kegiatannya pada program bulanan yang meliputi: sosialisasi dan maping pelaku film pelajar, sosialisasi dan maping pelaku film di kalangan mahasiswa dan umum, pembentukan wadah, apresiasi karya sinematografi lokal, apresiasi karya sinematografi luar Jombang. Program tahunan: pelatihan sinematografi, pengadaan proyektor, dokumentasi kegiatan seni-budaya Jombang. Mereka menganggarkan dana senilai: 84.385.000.

Komite Musik, mengagendakan anggaran senilai 59.150.000. Mereka akan bekerja dalam pendataan dan menganalisa hasil pendataan pelaku musik, pementasan dan apresiasi, fasilitasi kegiatan musik untuk pelajar dan umum. Komite Teater, mereka berfokus pada hal pokok. Pertama, penguatan institusi teater, yang meliputi: pemetaan pelaku teater, kelompok dan potensinya. Kemudian penelitian, seminar, penerbitan buku panduan kepelatihan teater, dan penerbitan sejarah singkat teater di Jombang. Kedua, penguatan karya atau keproduksian teater dalam bentuk diklat dan workshop, fasilitasi pementasan, hibah yang kompetitif, fasilitasi event festival teater. Kesemua rancangan itu mereka mengajukan dana sebesar: 66 juta. Yang paling buncit adalah Komite Seni Tradisi. Ada tiga pokok agenda mereka. Pertama, pementasan dalam bentuk antara lain remo missal, festival ludruk se-Jatim yang semua ini akan diadakan setahun sekali. Lalu uji kelayakan kelompok ludruk untuk mendapatkan nomor induk kesenian dari pemerintah. Kedua, pelatihan SDM dan keterampilan seniman tradisional. Ketiga, sarasehan yang melibatkan organisasi kesenian tradisional secara regular dan usah untuk membentuk organisasi bagi kelompok-kelompok kecil. Mereka menyorongkan anggaran sebesar 158 juta.

Total dana yang diajukan tiap komite tersebut mencapai 597.810.000. Namun semua pengajuan program beserta nominal anggaran itu akan dievaluasi kembali. Siapakah yang mengevaluasi dan menentukan pos-pos anggaran yang proporsional dan realistis? Ya jelas ketua Dekajo, Agus Riadi, bersama-sama dengan wakilnya, bagian program, seperti Ali Arifin dan kawan-kawan. Paparan agenda per komite itu, kemudian, hanya jadi cerita angin lalu. Selalu molor. Lagi.

Jurus ”Perut Molor” Jilid Ketiga

Beberapa waktu setelah itu, ada pertemuan antara Dewan Kesenian Jawa Timur dengan Dekajo pada 2 Juli 2010 yang disorong oleh Disporabudpar Jombang. Pertemuan ini sebenarnya penting untuk mengevaluasi program dan lebih menukikkan langkah visioner Dekajo ke depan, saling berbagi problem dan solusi, meski agenda utamanya adalah pematangan acara Pekan Budaya Panji yang akan digelar di GOR Merdeka Jombang pada 9 sampai 15 Juli 2010. Saat itu banyak anggota Dekajo yang tidak hadir. Karena acara itu sangat mendadak pemberitahuannya, saya tidak bisa hadir sebab saya mengisi diskusi 12 buku Tapol di Solo. Jadi ada masalah apa ini? Lha apa yang mereka kerjakan sampai berlarut-larut seperti ini? Ini menyangkut nama baik Jombang juga. Nama baik Baginda Agung Bupati Suyanto. Nama baik Agus Riadi, sang pemomong Dekajo yang termulia dan terhormat. Lagi-lagi molor.

Jurus ”Lidah Molor” Jilid Keempat

Nyaris di sepanjang Agustus dan September 2010 banyak seniman baik di dewan kesenian kabupaten lain maupun dari DKJT yang menanyakan kelanjutan agenda Dekajo. Masak saya tiap kali kunjungan bersastra ke berbagai wilayah terutama ke Surabaya harus bikin “cerita gelap” atau “tebar ketidakberesan” atau enteng-enteng saja karena pusing juga dengan menjawabnya begini: “Gak ngurus Mas, orang-orang di atas mbulet koyok entut nggak tahu kerjanya dan bagaimana seharusnya mengelola dewan kesenian.” Sebagai bandingan, Dekajo harus tabik dan malu misalnya pada DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto) yang tiap tahun anggarannya 75 juta dan setiap komite kebagian 2,5 juta, tapi mereka mampu menggelar banyak even kesenian, terutama Festival Wringin Lawang yang digelar tiap bulan di Trowulan. Padahal tiap agenda itu membutuhkan dana 10 juta-an lebih. Bagaimana mereka dapat ajeg menggelar even itu? Panjang kalau diceritakan di sini. Yang pasti jaringan berkesenian mereka luas dan solid.

Soal tidak berdayanya sebuah dewan kesenian sepenuhnya bukan tanggung jawab pemerintah, tapi para pelaku seni sendiri. Tidak perlu nyrocos muluk-muluk dan berharap terlampau besar pada sokongan pemerintah, sebab mereka punya pola kerja sistemik tersendiri, dan untuk menemukan kinerja bersama membutuhkan pemikiran dan pemahaman berkesenian yang saling akomodatif dan fleksibel. Maka, saat itu saya berpikir dan coba beri saran kepada Pak Agus Riadi: perjelas dan selesaikan ketidakjelasan itu! Pak Agus ini orangnya baik, demi kesenian, di awal-awal setelah dibentuknya Dekajo, karena 500 juta belum cair, ia rela menalangi dana beberapa agenda komite yang sudah siap gelar. Ada sekitar belasan juta yang sudah ia keluarkan dari dompetnya, dan setelah itu ia tidak sanggup lagi dimintai dana talangan. Ini juga niatan baik, tapi kayaknya kurang tepat dan kurang benar. Benar-benar terus molor.

Jurus ”Kuping Molor” Jilid Kelima

Di seputar September 2010. Terkait molornya Dekajo ini, apa sampeyan berpikir di dalam tubuh Dekajo ada si Tukang Ngolor? Jangan sembrono sampeyan berpikir begitu? Bisa diolor kuping sampeyan! Tapi itu terasa bukan, buktinya banyak kawan-kawan di dalam sistem Dekajo yang grundel, bisik-bisik: “Sudahlah! Tak perlu kita mati-matian memperjuangkan Dekajo. Dunia perut itu banyak lubang anginnya.” Memang ada yang cas-cis-cus demikian. Tak perlu tahu siapa orangnya. Tidak salah pula bila ada yang kesal seperti itu. Jadi memang ada yang bikin ngambang Dekajo ini? Tapi gak kelihatan manusianya kan? Mungkin ada yang suka main petak-umpet. Atau main topeng-topengan. Jadi teringat lagu Ariel Peterporn, ”Buka dulu topengmu!”

Molornya kuping yang memanjang-manjang dari 25 Februari 2010 tampaknya terjawab dalam rakor Dekajo tertanggal 20 September 2010 di gedung Dewan Pemeriksa Keuangan Anggaran Daerah (DPKAD) Jombang. Sekitar 2 atau 3 hari sebelumnya juga ada rapat. Modusnya sama: mendadak. Semua serba mendadak. Dan banyak yang tidak hadir. 2 hari setelah tanggal 20 September itu, diadakan launcing kegiatan Dekajo sekaligus pemastian logo dan alamat email.

Pak Agus Riadi pada rakor tanggal 20 September tidak hadir. Diskusi tetap berjalan berpusingan di seputar bagaimana dana 500 juta itu dikelola. Banyak kepala sudah mulai mengasap, asapnya hingga dikesiur gerimis yang membacok dengkul. Semua urun gagasan, dari soal-soal administratif yang dipaparkan Ali Arifin hingga persoalan teknis agenda Komite Senirupa yang disorong Pak Eko Utomo yang tampaknya belum terpecahkan dan berbenturan acaranya. Tidak ada yang mencoba memusatkan satu pikiran yang berlandas pada persoalan riil dan konkrit akan kesenian Jombang. Pemikiran yang mengemuka, dan itu yang kerap menjebak untuk berpikir pragmatis, selala saja muncul. Perumusan dan pengalokasian dana kembali dipeributkan. Tanggal 20 September ini sangat menentukan, ketika semua anggota rapat ngalor-ngidul berargumen. Menanggapi bola api kesengakrutan itu, Robin Al-Kautsar (dewan pleno dari Komite Sastra Dekajo) menyodorkan solusi: ”Dari dana 500 juta, kita langsung alokasikan anggaran misalnya 30 juta per komite, total 210 juta. Terserah tiap komite mau diapakan dana itu. Porsi ini bisa dianggap tidak adil. Sebab tiap komite kebutuhannya berbeda. Tapi solusi ini hanya jalan salah satu jalan keluar untuk memecahkan telur besi perdebatan kita. 90 juta untuk adimistrasi dan kesekretariatan de el-el. Yang 200 juta untuk apa yang akan diselenggarakan dengan sebutan semacam Festival Seni Jombang (FSJ), seperti yang ada di Kota Surabaya yang tiap tahunnya menyelenggarakan Festival Seni Surabaya (FSS), atau agenda tahunan yang ada di Yogyakarta dengan bendera Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).” Untuk yang disebut terakhir belum dibahas agenda konkritnya apa bahkan belum disepakati sebutan kegiatannya. Sedang yang 30 juta perkomite disepakati. Molor demi molor lagi.

Jurus ”Dewa Linglung” Jilid Keenam

Sampai akhir September 2010 tak ada kelanjutan rapat. Memasuki Oktober 2010 juga sama. Kosong. Tenang. Seperti kentut yang disemproti deodoran casanova. Seperti ada yang menyimpan sekam. Sekam yang menyembul-menyelinap. Kasak-kusuk dan seolah ada yang makin muntap. Menginjak November 2010 masih tak tampak tanda-tanda. Lilin redup bergoyang-goyang di cafe Garuda. Mungkin ada yang menggalang gerakan protes. Latu rokok menggunungi asbak. Tapi ada saja yang setia menunggu sesuatu. Pulang ke barak lagi. Berita kecil berembus. Semacam petanda dan ada yang teringat kembali bahwa Dekajo itu ”ada”. Dan memangkah ada? Ada! Sampeyan ini bagaimana. Lalu tergeraklah. Menuju sesuatu itu. Yang samar, untup-untup, tapi dari kejauhan kok seperti keledai Nasruddin Hoja. Dan muncullah tiba-tiba undangan rapat sekaligus berita pencairan dana 30 juta per komite itu yang digelar pada Jumat tanggal 12 November 2010 di ruang biru gedung Bappeda Jombang. Rapat langsung dipimpin Pak Agus Riadi.

Pemaparan anggaran disampaikan. 30 juta dicairkan. Ada yang gembira pol. Ada yang mrengut. Ada yang biasa-biasa. Ada yang masih ditelikung tanya. Lalu makanan kotakan keluar. Pak Agus dengan riang mempersilakan makan siang. Serampung makan sego lawu empal ayam itu, semua ketua komite sontak menerima 30 juta dari Mbak Nanik, bendahara Dekajo. Rapat pembahasan sisa anggaran 200 juta untuk agenda semacam FSJ dan 90 juta untuk kesekretariatan tidak dibahas saat itu. ”Nanti kita bahas lagi,” tutup Pak Agus. Yang memolor panjang kian mengkeret.

Jilid Pamungkas Jurus ”Kantong Bolong”

Harapan kita orang-orang Dekajo yang ”mengurusi” kesenian tidak menjadikan Dekajo sebagai ajang mesin politik tertentu dan memicu konflik kepentingan di dalamnya. Jika itu terjadi, maka hasilnya Dekajo bakal menjadi sarang ternak: tempat berkumpulnya manusia dagelan dan keseniannya tak lebih asesoris proyekan, lahan empuk taktik orang dalam mendongkrak anggaran, saling rebutan, yang sebenarnya untuk diri sendiri. Maka, penting ditegaskan kembali bahwa Dekajo harus mencatat dengan lidah dan batinnya bahwa tugas utama dan tanggung jawab ini sebagai pijakan bertindak: realistis, proporsional, penguatan data-data kesenian, penguatan kantong-kantong kesenian, upaya fasilitasi yang baik dan benar, dan tidak seenak udelnya dalam pola pengembangan kesenian Jombang.

Kita boleh bertanya kembali misalnya, jika tidak ada kucuran duit 500 juta, apa Dekajo akan ada? Apa kesenian di Jombang akan mati? Apa seniman-senimannya juga mampus perlahan-lahan? Dan setelah dana segede itu digrojokkan, pastinya tidak sembarang cara menghabiskan dan memanfaatkannya, bukan?

Omah Pring, 17 November 2010

----
* Esai ini telah dimuat harian Radar Mojokerto, Minggu, 28 November 2010
** Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar