Madrusin dan Cerita Caroknya Mahwi
Fahrudin Nasrulloh*
Jika anda orang Madura, apa yang terlintas di benak anda tentang watak “orang Madura”? Pasti jawabannya bisa sama, dengan kategori yang berbeda-beda. Orang bukan asli Madura punya penilaian yang berbeda juga. Sebagai bukan orang Madura (meski saya punya banyak teman Madura dengan karakter yang berbeda-beda), ada dua kata yang menempat di benak saya tentang orang Madura: “dialek yang khas dan cepat” dan “carok”. Dialek antar orang Madura ini jika saya dengarkan seperti saya duduk menyimak orang yang mengasah sajam. Sajamnya penjagal atau tukang sembelih ayam kelas kampung. Dan kata “carok”, ah, sungguh mengingatkan saya pada tokoh Sakera dan Brodin, baik di komik wayangan tahun 1980-an maupun tokoh-tokoh Madura di sejumlah pementasan ludruk, misalnya yang berlakon Pak Sakera, Joko Jumput, Sawunggaling, atau Geger Pabrik Kedawung. Hmmm, siapa kini yang menyimpan celuritnya Pak Sakera ya? Pasti bukan Celurit Emas-nya D. Zawawi Imron. Saya yakin, si Mahwi sudah lama memburu celurit itu, agar dapat menghitung berapa ratus tetes darah yang pernah dicarokkan kaum blater terhadap musuh-musuhnya.
Semua petani di Jawa punya celurit untuk ngarit. Mereka menyebut “arit”. Buruh bangunan tidak. Kata “carok” akan selalu merinding bila disebut. Ketika menyebut orang Madura, kata tersebut identik dengan sifat kerasnya, cakap-kecap seperlunya, jika sampai menusuk hati, clurit dikeluarkan. Duel pun terjadi. Karena itu celurit selalu ditenteng ke mana-mana, di mana persoalan-persoalan keseharian yang mungkin dipandang remeh-temeh bisa menjadi ajang adu carok. Kata “carok” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tidak ada. Mahwi mengartikan “carok” adalah duel. Tarung satu lawan satu. Bukan keroyokan. Bukan mental “bonek” Suroboyoan. Bukan mental Mataraman yang kerap jika menyimpan kesumat tapi di lain saat tak terkirakan tiba-tiba menikam dari belakang. Maka, “carok” adalah harga mati atas nama harga diri, keberanian, perempuan, tanah, dan martabat. Ihwal martabat, darah juang, dan karakter manusia Madura dapat ditapaki kembali pada sosok Ranggalawe, Aria Wiraraja, ataupun Trunojoyo.
Sejenis darah apa yang menggetar sekaligus tipe sikap yang tak main-main dari orang Madura tulen? Guyonan pun kadang jadi maut. Kita akan melihat Indonesia begitu kaya jika membincang etnisitas di berbagai wilayah itu. Etos kerja dan ruang sosial manusia Madura dapatlah kita temui nyaris di seantero tanah air dengan katakanlah simbol di jalan-jalan dengan bertebarannya orang-orang Madura sebagai penjual sate kambing maupun sate ayam. Tusuk sate yang meruncing tajam. Daging-daging yang ditusuki. Daging-daging pembangkit stroke dan kolesterol. Terbayanglah itu sebagai karakter individual manusia pekerja yang keras, getol, rajin, dan unik. Dari sini pula bisa dilacak dalam berbagai perspektif kajian ilmu sosial ihwal diri ke-Madura-an dalam ruang sosio-kulturnya.
12 cerpen Mahwi Air Tawar dalam kumpulan Mata Blater ini menyiratkan banyak hal tentang itu. Di dalam cerpen-cerpennya Mahwi benar-benar menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan Madura, ketegangan-ketegangan hubungan sosial, empati kekeluargaan, pemertahanan harga diri, sentimentalitas sporadis yang rawan dan genting, tradisi-tradisi yang coba dijaga baik serta kondisi dan situasi perubahan zaman yang kian menggerus lingkungan, tanah, dan kepribadian orang-orang Madura. Persinggungan dan pergeseran nilai juga terjadi dalam menyikapi perubahan globalisasi dapat kita lihat dalam cerpen “Kasur Pasir”. Sosok Nyi Marfuah dan pekerjaannya sebagai penjual pasir putih untuk alas tidur merupakan cerita bagaimana local genius mulai terkikis oleh “dunia sampah” yang mencemari pantai. Imbas demikian tidak dapat dielakkan. Dunia laut, nelayan, ikan-ikan cucut dan bandeng, pantai-pantai nan elok di Madura ditampilkan sebagai lanskap dalam cerpen-cerpennya.
Lokalitas, tradisi kerapan sapi, rembesan atmosfir dunia pesantren, sosok kiai dan blater sebagai jawara khas Madura mencerminkan nilai eksotis tersendiri sekaligus persoalan-persoalan di dalamnya itulah yang menggerakkan sang cerpenis mengorek inpirasi yang tak kunjung habis. Rambahan estitetik lokalitas tersebut dijadikan pijakan keberkaryaan dan dari situlah Mahwi tidak sekedar mengandalkan imajinasi, namun sejauh mana ia mampu menyelami kehidupan riil masyarakatnya.
Selubung Cerita dan Penitisan Tokoh Madrusin
Sebagai sebuah deskripsi tentang manusia Madura, cerpen-cerpen Mahwi telah menghadirkan itu. Terasa memang masih permukaan pengekplorasiannya. Kiranya ada banyak terobosan yang musti digali. Cerpen-cerpennya adalah penegasan dan penguatan kembali ihwal Madura dan ke-Madura-an manusianya. Ini terlukis pada sosok blater dan problematik orang-orang kampung dari persengkarutan kawin-mawin, dukun sapi kerapan, tandak, dukun kembang untuk sesaji sampan, carok-carokan, joki kerapan, hingga fitnah yang berujung pembunuhan.
Dengan gaya bercerita yang lancar, metafora yang tak terlalu didesakkan, tampaknya ada hal menarik yang perlu ditelusuri lebih dalam: ihwal tokoh Madrusin yang berlelayapan di sejumlah cerpen. Membayang-bayangi pembaca. Adakah tokoh ini sama antara cerita A dengan B, C, D, dan seterusnya? Kita coba jejaki sedikit dan sepintas saja. Ya, sosok Madrusin ini banyak menyusup dan tampil mewarnai plot dan konflik. Setidaknya tokoh Madrusin ada dalam 7 cerpen. Bisa kita susuri itu pada: “Bulan Selaksa Celurit”, “Mata Blater”, “Kerabhen Sape”, “Kasur Pasir”, “Ojung”, “Sapi Sonok”, dan “Tandak”. Tokoh Madrusin dalam beberapa cerpen tersebut berbeda-beda karakternya, pekerjaannya, dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Ia paling menonjol pada “Mata Blater”.
Selebihnya, Madrusin, digambarkan sebagai tokoh penyerta. Tokoh lain yang pola penubuhan tokohnya yang kurang lebih sejenis Madrusin adalah tokoh Marfuah, Tanjib, dan Dullakap, namun hanya disebut-sebut kira-kira pada 2 cerpen. Misalnya tokoh Marfuah (tepatnya: Nyi Marfuah) terdapat di cerpen “Kasur Pasir” dan “Sapi Sonok”. Lalu dalam cerpen “Barana”, “Nyanyian Perempuan Sunyi”, “Careta Penandak”, dan “Eppak”, tidak ada tokoh Madrusin. Mungkinkah ia tetap berada di sana, tapi sengaja tidak dimunculkan atau disebutkan secara langsung? Mahwi lebih tahu itu.
Ini jadi penting, terkait si tokoh Madrusin, sebab unsur utama cerpen selain konflik, plot, gaya penceritaan, dan suasana yang dibangun, adalah bagaimana tokoh “yang kuat” dihadirkan dan karenanya si tokoh ini menjadi penggerak dan daya bagi keseluruhan cerita. Cerita yang tidak semata cerita. Cerita yang tidak gagal. Yang lolos dari kesan reportatif. Cerita yang baik itu diniatkan untuk sesuatu yang melampaui cerita itu sendiri. Cerpen bukan sekedar penyampai pesan, ia hinggap terbaca tapi kuasa meninggalkan kesan tak habis-habisnya. Menguntit terus. Menemani seseorang dalam segala keadaan. Sehingga si cerita dapat “hidup” dan mengembara sendiri menjadi kisah bersama pembaca.
Tokoh Madrusin, ia diciptakan atau sungguh-sungguh ada, ia seperti menempel begitu saja. Seperti pulut atau alteco. Ia mungkin sengaja diniatkan Mahwi menyurup di sana-sini. Dengan kembangan versi-versi. Dengan kelokan cerita yang dipilin dan dengan memilih strategi penokohan tertentu. Mahwi mencoba menguatkan ceritanya lewat Madrusin ini. Kenapa harus Madrusin? Kenapa bukan Dulakkap, Mattasan, Subanjir atau Tanjib? Madrusin mungkin mewakili Mahwi sendiri, atau Mahwi “yang lain”. Prasangka demikian tidak bisa dilepaskan. Ego cerpenis dengan segala karakternya memusar dalam diri Madrusin. Ini rabaan yang sah-sah saja. Tapi Mahwi punya “sesuatu” yang disimpan rapat. Tapi cerpen harus berlogika. Semuanya dapat dijelaskan. Meski ada saja yang hilang-senyap pada bagian-bagian yang tak terduga. Tidak seperti puisi, yang kerap berkabut dan enigmatik.
Peneguhan Sang Balter
Apa kira-kira yang dapat dipahami dari sang blater? Ia itu jawara. Pendekar. Jago tarung. Ia juga bisa sekaligus kiai, orang alim, yang dipercayai masyarakat dan bermartabat. “Mati jauh lebih berarti daripada hidup tak memiliki harga diri,” kalimat ini ada di paragraf 7 dalam cerpen “Eppak”. Tampak peneguhan itu tergambar gamblang pada sosok blater. Adakah blater yang berperangai penjahat, bajingan tengik, perampok, dan tukang bikin onar? Bagi Mahwi, ada. Dan itu blater yang kelasnya 5 tingkatan di bawah blater yang dianggap blater tulen. Hal ini cukup jelas sebagaimana pennyataan Mahwi dalam pengantarnya:
Sungguh, ia tidak ngawur. Ia lebih membela yang berhak dibela meski ia bukan seorang yang memiliki jabatan.
Ia berani mati demi harga diri, demi keberlangsungan hidup yang damai antara sesama, demi keberlangsungan tradisi yang diyakini kebenarannya. Tidak, ia tidak sebagaimana yang telah dicitrakan orang bahwa seorang blater adalah orang yang sering berbuat onar. Ketahuilah, sekali kau menghargainya maka ia akan sangat memperlakukanmu dengan baik dan ia akan hormat. Sebaliknya, jika kau melukai atau mengkhianati sekali saja maka ia akan membalasnya hingga tubuhmu remuk!
Madrusin, dalam cerpen “Mata Blater”, adalah cermin dari sekian blater tulen itu. Tapi Mahwi juga bercerita bahwa ada pula blater yang penjudi. Ia ditakuti. Bukan dihormati. Ia dibenci sekaligus diikuti kata-katanya oleh warga. Sekali ia sengaja atau tidak melakukan fitnah, maka warga langsung mengobarkannya. Ia juga tidak alim, sebab saat panen tembakau, ia berjoget dengan tandak. Banyak kalangan blater ikut bertandak. Termasuk Tanjib, blater yang disegani sekampung selain Madrusin, yang berebut petandak semok asoy geboy bernama Mahwani. Lihatlah sisi lain blater ini dalam cerpen “Tandak”. Memang ada pesan lain dari cerpen ini: apakah jadi petandak atau pesinden itu baik? Kesan pelacur melekat pada Mahwani dan anaknya, Marfuah, yang dipenggak sang ibu saat ia bercita-cita jadi petandak. Dan titik picunya kala Mahwani enggan berjoget dengan Madrusin. Madrusin merasa diremehkan. Dari situlah menguarkan cerita buruknya akan kesundalan Mahwani.
Penyangkalan di sini tampak terang, bahwa kepribadian blater tidak sesempurna seperti yang digambarkan Mahwi dalam pengantarnya itu. Simak saja 2 penggal paragraf dalam cerpen “Tandak”:
Adalah Madrusin, salah seorang berpengaruh di kalangan blater, yang mempengaruhi sebagian masyarakat agar membuat pernyataan tidak suka dengan tarian Mahwani. Madrusin mengancam akan bertindak keras bila Mahwani manggung
Hah! Celeng! Apa hak Madrusin melarang seseorang? Bukannya ia sendiri suka memprakarsai perjudian dan seringkali nayub saat ada pertunjukan tandak?
Inkonsistensi citra blater yang disorongkan si cerpenis dalam 2 nukilan di atas wajar-wajar saja karena blater bukanlah malaikat. Maka, justru menariknya, menurut saya, “sisi lain” blater ini dapat dieksplorasi lebih dalam dan sangat luas konteks rambahan temanya. Pun Mahwi seringkali terjebak dalam repetisi yang mubazir, dan pada detail yang diulang-ulang tanpa tawaran kebaruan. Hal ini bisa dilihat pada cerpen “Nyanyian Perempuan Sunyi”.
Kemudian pada cerpen “Careta Penandak”, tampak sama dari segi tema besarnya bila didekatkan dengan cerpen “Tandak”. Barangkali cerpen ini versi lain atau hanyalah jejak “ampas” dari cerpen “Tandak”, untuk tidak mengatakan “Careta Penandak” adalah cerpen yang gagal, sebab cerpen “Tandak” lebih kuat dalam berbagai segi bangunan penceritaannya.
Tentu setiap penilain akan sebuah karya harus dipandang sebagai kritik. Kritik yang mampu membuka segala perspektif. Dan sebuah karya adalah pula kritik atas zamannnya. Cerpen-cerpen Mahwi, bersama Madrusin, pohon siwalan yang roboh, dunia carok-carokan serta pantai nan elok di pesisir-pesisir Madura, telah memberi kita “sesuatu”: celurit dan hentakan kaki 3 kali ke tanah! Cresssss!!!
----
*Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dari Komunitas Lembah Pring Jombang. Lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas Ranesi(PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie(Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang: 2009); kumpulan cerpen Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tajungpinang, 2010); kumpulan cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto: 2010); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009); kumpulan esai ejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Kini sedang menyiapkan buku Kronik Ludruk Jombang. Email: surabawuk@gmail.com. Kontak person. 081578177671.
MADURA ANJING BUSUK ,RAKYAT DIINDONESIA UDAH MUAK LIAT TINGKAH LU , YANG NGAK BEDA SAMA IBLIS .
BalasHapus