Rabu, 12 Januari 2011

Makalah Geladak Sastra # 10

AS DHARTA DAN SEDIKIT HARGA MATI POLITIKNYA
[Sekadar Pengantar Diskusi] 

Oleh: Aguk Irawan
      
Kita berdua sama-sama tidak bebas
Kau terikat pada dirimu
Aku pada Manusia dan zaman kini!

      Beberapa larik diatas diambil dari "Antara Bumi dan Langit" sajak AS Dharta yang ditujukan untuk H.B. Jasin. Merupakan kenyataan sejarah, bahwa tempo dulu sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius pada politik. Bahkan ada yang lebih menonjol dikenal publik sebagai politikus daripada sastrawan, dua diantaranya seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi.
      Demikian juga para pengarang pujangga baru dan pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Boejoeng Saleh Poeradisastro, Soedjatmoko, Buya Hamka, Rifai Apin, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Umar Ismail,Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip, Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass,  Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, , Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, dan tentunya AS Dharta merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan punya kesadaran politik yang bisa dibilang tingkat tinggi.
      Akan tetapi ada yang berbeda, kalau hampir semua sastrawan tersebut mengalami pasang surut dalam kesadaran politiknya, bahkan pindah haluan dan menyusut, hingga tak terdengar lagi, AS Dharta salah seorang yang menunjukkan kepada kita keteguhan garis politik-kebudayaannya, sampai di akhir hayatnya (2007).
      Realisme sosialis atau realisme aktif, bahwa sastra untuk rakyat menjadi pegangan AS Dharta, terutama dalam sajak-sajak dan banyak esai-esainya yang langsung berhubungan dan menyentuh hati rakyat. Menurut Budi Setiyono, hampir semua karya AS Dharta bermuara pada keindahan emosi dan intuisi, bersumber pada rasionalitas, bersenyawa dengan derita manusia-manusia yang tertindas.
      AS Dharta meyakini bahwa dalam lembar sejarah panjang peradaban, sajak atau puisi terus-menerus  hidup bersama perjuangan. Ia bebas berjuang tanpa terikat batasan waktu, ruang dan tempat, mengalir bagai air dan bergulir laksana angin merasup ke tiap-tiap celah. Ia telah menjadi wujud atas perkawinan akal dan perasaan, sel-sel majas baik konotatif maupun denotatif yang sering menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya politik. Karenanya tak mengherankan, banyak puisi yang dihasilkannya terutama dalam "Rangsang Detik" (kumpulan sajak, 1957) berisi tentang pemberontakan demi pemberontakan.
      Jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin matang saat masuk sekolahNationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah asuhan Douwes Dekker. Dari Okayaman dan Douwes Dekker itu ia mengagumi penyair legendaris a begitu Perancis di Abad XIX sVictor Hugo, dan Arthur Rimbaud.
      Dari dua orang itu, ia belajar ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, hanya puisi yang bisa diandalkan untuk maju sebagai penggugat dan pembelanya.  Menurutnya kedua penyair itu telah berhasil menjadikan puisi seolah menjadi pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu. Dan dua penyair itu dianggap sebagai pelopor gerakan romantis sekaligus sosialis dalam pembaruan sistem negara di Perancis, ketika nafas zaman dimana masyarakat feodalis mulai tergeser oleh kapitalis dengan munculnya kaum borjuis.
      Hugo didaulat oleh rakyatnya sebagai pejuang yang anti-otoriterisme, dengan antara lain puisinya berjudul "Napoleon le petit". Puisi ini ditulis saat ia eksil di Brussel, yang masyhur dengan isinya yang secara tajam mengkritisi kekuasaan Louis Napoleon Bonaparte. Sementara Arthur Rimbaud dipuja sebagai salah satu kaum komunal (kaum pembela Komune Paris dalam Revolusi Perancis), kaum bolsyewis dengan puisi-puisinya yang kritis.
      Semangat Hugo dan Rimbaud tersebut benar-benar mengalir dalam darahnya. Karenanya, realisme sosialis adalah harga mati, dan untuk memudahkan cita-citanya itu, ia mendirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), bersama M.S. Azhar dan Njoto, pada 17 Agustus 1950. Dharta pula yang menempati posisi sekretaris jenderal (Sekjen) dan redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi milik Lekra. Sebagai gerakan kebudayaan, Lekra sendiri perlahan tumbuh. Dalam empat tahun saja, Lekra bisa begitu mapan, meski tanpa sistem keanggotaan.
      A.S. Dharta bukan orang yang berhenti di satu jalan. Dia selalu bergerak. Bahkan bercabang-cabang. Di masa revolusi, dia tak ragu-ragu untuk memikul senjata dan bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, ia keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.
      Pada 1960-an,  di Jakarta dia membentuk Masyarakat Seni Djakarta Raja, di Bandung dia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat. Presiden Soekarno, yang meresmikannya mengatakan bahwa inilah universitas yang pertama di Indonesia dalam bidang social-humaniora.  
      Di luar kegiatan kebudayaan, dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas-bekas kolonialisme.
      Karena dia mempunyai pandangan politik kebudayaan dengan harga mati itulah, dia harus berpolemik dengan sejawatnya seperti HB Jassin, dan rekan-rekannya dalam gerakan manifes kebudayaan (manifestan) yang berselogan humanisme universal atau yang lebih kita dengar dengan istilah seni untuk seni. HB Jassin dan sejawatnya itu menegaskan  sastra hanya boleh berurusan dengan sastra, sebab jika sastra  membawa-bawa urusan politik, bisa mencemari kesucian sastra. Karenanya mereka menolak dominasi politik ke dalam gerbong kesusastraan dan kebudayaan.
      Buah dari harga politik realisme-sosialis itu, dikemudian hari A.S. Dharta terpaksa mendekam di penjara Kebonwaru, Bandung tahun 1965-1978. Membaca pikiran dan biografi AS Dharta berarti meninjau kembali polemik hebat pada tahun-tahun itu, ada intrik penguasa disana, juga tentunya jungkir balik sejarah, karena setelah itu penulisan sejarah berpihak pada penguasa yaitu Orde Baru, yang turut memberengus pikiran AS Dharta dan sejawatnya. Barangkali pengantar yang sekelumit ini bisa memicu diskusi kita untuk membedah kumpulan esainya yang kini sedang di genggaman tangan kita: Kepada Seniman Universal! Wallahu alam bissawab!

[Aguk Irawan MN]
Kasongan, 18 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar