“KUNCINYA, BEBASKAN IDE”
Oleh : Tophan Tohary*
Indie…indie…indie
Seiring bangkitnya film Indonesia, gerakan film indiepun menjadi sangat fenomenal. film indie menjadi sebuah momentum bagi kaum muda sebagai sebuah ruang ekspresi yang membebaskan serta tidak dibelit dengan persoalan birokratis didalamnya. Menjadi media yang mewakili jatidiri kaum muda; bebas dan bersemangat. Sebuah pergeseran wacana dari penonton, menjadi pembuat. Lahirnya sejumlah komunitas film di berbagai pelosok Indonesia merupakan salah satu parameter bahwa film Indonesia memang sedang menjadi wabah kreatif saat ini. Dana dan fasilitas yang terbatas bahkan pengetahuan yang kurang memadai tidak lagi menjadi persoalan, demi sebuah produksi film.
Film indie akan dicari penikmat film jika sanggup menyuguhkan hal yang berbeda dari suguhan film komersial, kelebihan film indie adalah lebih idealis jika dibandingkan dengan film komersial, karena film komersial sudah tercampur tuntutan untuk sukses di pasaran. Pesan yang disampaikan oleh film indie biasanya masih murni, berbeda dengan pesan dalam film komersial yang sudah dicampuri kepentingan pemilik modal, Perkembangan film indie tentu tidak lepas dari hambatan yang mengiringinya. Hambatan utama dalam perkembangan film indie akhir-akhir ini adalah kurangnya forum, wahana atau sarana untuk mengapresiasi film indie,
Ada beberapa kebiasaan kurang baik yang dilakukan oleh seniman-seniman pembuat film indie. Setelah film mereka sukses, mereka lantas meloncat pada pembuatan film komersil dan melupakan pembuatan film indie. Akibatnya, film-film indie yang mereka hasilkan sebenarnya bukan dibuat dengan semangat ”ke-indie-an”, melainkan dihasilkan dengan harapan bisa mendapat proyek-proyek film komersil.
Memang, pada mulanya mereka membuat film indie, tapi ’timik-timik’ mereka beralih ke film-film ’indie-ustri’ (baca: industri). Yang patut disayangkan, ketika mereka sudah menggarap film ’indie-ustri’, mereka tak lagi menghasilkan film-film indie.
Selain pembuatan film indie masih didasari tujuan terselubung untuk menuju film komersil, para seniman film indie juga masih menghasilkan film-film yang kurang kuat secara sinematografi. Film-film indie yang mereka hasilkan, rata-rata masih didominasi oleh dialog-dialog daripada bahasa kamera. Padahal, film-film berkualitas dari luar negeri, selain memiliki dialog-dialog berkualitas, juga sangat kaya dengan bahasa-bahasa kamera.
Kendati rata-rata film indie masih memiliki banyak kelemahan, untuk memproduksinya juga bukan perkara sederhana. Masalahnya, selain seniman harus menanggung biaya sendiri, mereka juga harus mencari aktor dan kru yang mau bekerja sukarela, serta harus memikirkan bagaimana mendapatkan gambar yang baik dengan peralatan yang serba terbatas.
Jadi meskipun film indie hanya mengangkat kisah-kisah sederhana, untuk membuatnya tetap saja butuh biaya. Bila yang membuat bukan orang yang benar-benar cinta pada dunia film, pasti akan berpikir ulang untuk memroduksi sesuatu yang jelas-jelas tidak ada nilai provitnya. Hal-hal sederhana seperti inilah yang kadang tidak pernah kita perhitungkan dari seniman-seniman pembuat film indie,
Dokumenter…
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama kali digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
Sebenarnya proses pembuatan sebuah film dokumenter hampir-hampir lebih rumit. Karena harus ada riset terlebih dahulu, dan riset tersebut tidak hanya berlangsung sehari dua hari. Bisa jadi berbulan atau bahkan bertahun tahun. Semisal dalam pembuatan dokumenter tentang kehidupan singa di padang Afrika. Maka perlu riset panjang meneliti sang singa dan lingkungan tinggalnya. Belum lagi saat ekseskusi gambar, pembuat dokumenter sudah harus paham resiko perubahan cuaca dan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses tersebut.
Tidak heran bahwa film dokumenter dirasa adalah film yang hanya bisa di kerjakan oleh “orang tua”. Dengan demikian teman-teman pelajar remaja jarang yang tertantang untuk bisa menghasilkan film dokumenter. Namun saat bicara format indie, sebuah film dokumenter dengan segala tetek bengeknya dikembalikan kepada si pembuat. Kuatkan kembali idealisme, semangat, lalu mulai. Sekarang!
BELAJAR LAGI, JOMBANG MAMPU MADJU!!!
------------
* Penulis adalah pegiat film indie di kelompok belajar seni SUKARMADJU
Otobiografi Tophan Tohary :
Nama : Taufan Latief Alimudin Akbar
Terlahir : Topan Peggy Megalies Tohary
Tempat lahir : Majalengka
Tanggal lahir : 5 Maret 1986
Domisili : Desa Mojokendil Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk
Istri : Nana
Anak : Zea Mays Muhammad Tohary
Orang tua : Totang Tohary
Liesnawati Mega Puspa
Saudara : Badai Gale Megalies Tohary
Ram S.
Pendidikan saat ini : Semester 7 Pertanian di Unisda Lamongan
Kelompok kesenian : Kelompok Belajar Seni SUKARMADJU
Karya yang sempat tercatat (Film)
- KACAMATA ( 2006)
- KADO BUAT EMAK (2007)
- OMAH DEBOG (2007)
bersama kelompok Galuh Wening, sebagai Kamera Person
- JOMBANG XYZ (2008)
- SMS (2008)
- NAMAKU SELEBRITI (2008)
- SI TOMPEL (2008)
- REMAJA MEMBARA (2009)
- SUKARTI MADJU (2009)
- MARTO (2009)
- MATAHARI DI PUSAT BUMI ( 2010) dokumenter
- SETENGAH MALAIKAT SEPARO IBLIZ (2010)
- ORANG TERAKHIR (2010)
- PENCULIK MIYADI (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar