Jumat, 14 Januari 2011

Makalah Diskusi Sinematografi-1

Film Indie dan Sorotan Kecil Film Indonesia

Fahrudin Nasrulloh*

            Dewasa ini pertumbuhan di dunia sinema di tanah air begitu meriah dan rambahan kreativitas serta jenis-jenisnya mengalami perkembangan yang luar biasa. Melihat itu semua, di perbagai daerah segala macam kreatifitas pembuatan film independent juga bertebaran berbarengan pula dengan komunitas-komunitas film di dalamnya. Bagaimana semua elemen yang mendukung serta persoalan-persoalan apa saja yang dialami di berbagai daerah itu? Tentu saja para pelaku filmlah sendiri yang memiliki catatan-catatan proses pembuatan film itu yang dapat berbagi pengalan bersama kita.

            Di sini saya ingin mencoba menautkan dunia film yang digeluti para pelakunya (film indie) dengan dua hal: sastra dan teater. Saya sempat menangkap apa yang tersirat dalam perkembangan belakangan ini tentang dunia perfilman Indonesia. Sejauh manakah kontribusi dan pengaruh sastra maupun teater di dalam sebuah produksi film? Slamet Rahardjo pernah menyitir hal ini dengan mengatakan, yang kurang lebih, seperti ini: “Jika sastra jelek, maka teater juga jelek. Jika keduanya demikian, bagaimana film Indonesia kita bisa maju.” Tentunya ekplanasi lebih luas diperlukan dalam mengurai statemen sutradara kawakan yang mulai bersinar ketika ia menggarap film Rembulan dan Matahari ini.

            Maka fungsi sastra, pemahaman dan upaya penghayatan dalam mengeksplorasi skenario menjadi pertaruhan yang tidak gampang, tidak asal-asalan dalam pembuatannya. Kemampuan peran juga demikian, dan teater sebagai kawah penggodokan bagi para pemain film menjadi hal yang niscaya.

Melongok Suara dan Setengah Malaikat Separo Iblis

            Dua film indie yang dibesut para sutradara dari Jombang bisa dijadikan telaah, bagaimana sineas lokal kuasa menyodorkan hasil karyanya untuk diperbincangkan dalam berbagai aspek tilikan. Pertama film berjudul Suara. Film berdurasi 7 menit 19 detik ini dibuka dengan menghadirkan lanskap pagi yang cerah. Dari pemilihan judul mungkin penyimak bertanya-tanya, “suara” apakah yang bakal muncul? Seorang gadis tiba-tiba menyibak jendela dengan perlahan. Musik melankolia mengiringi. Lalu muncul seorang lelaki berambut gondrong (Andy) berjalan di teras rumah yang berasitektur agak lawas dan kemudian terdengar sepentil suara yang mendeskripsikan sosok ini:

Pagi, seperti juga pagi-pagi yang kemarin. Seperti juga seribu pagi yang kemarin. Ah, menjengkelkan. Hidup memang busuk, menggumpal, lantas berpendar buyar bagai asap. Ah, siapa, siapa yang menginginkan duka. Siapa yang sanggup menderita penyakit aneh yang bersarang di tubuhku.

            Selang sekian detik, muncul dua orang datang yang disambut penjaga kebun yang menanyakan lelaki itu kenap belum juga diusir dari rumah tersebut. Tidak dijelaskan. Dan hal itu memang sengaja dimaksudkan demikian, sebagai keringkasan alur. Di akhir fragmen, si lelaki dengan wajah kusut pucat duduk di kursi teras lalu saat menuangkan air aqua ke dalam gelas dan hendak meminumnya, dengan tangan gemetar, ia begitu tak berdaya, hingga gelas itu terjatuh pecah dan ia ambruk. Penutup fragmen ini dilambari dengan sepentil suara yang mengalun: “Andai semua bersahabat. Seperti angin, seperti daunan dan air.” Agak bisa ditebak, si lelaki ini adalah si pesakitan akut yang karenanya penyakitnya ditakuti sebagai wabah ganas dan sebab itu dibenci.

            Nuansa panggung berteater dalam film pendek Suara ini sangat kental. Mencoba menggambarkan situasi pengidap penyakit akut dengan baluran puitisasi dalam iringan “suara batin” si aktor. Film ini dibesut oleh Fananie, dengan beberapa kru pendukungnya. Pemain: Andy, Diryo, Yatno, Maria, Ana. Diproduseri oleh Nasrul Ilahi. Copyright: Lemproduktif 2004.

Film pendek yang kedua adalah Setengah Malaikat dan Separo Iblis yang berdurasi 5 menit 49 detik ini digarap oleh Taufan dari Kelompok Belajar Seni Sukarmadju. Taufan yang sering disebut dengan nama Tophantohari ini telah menggarap sekitar sepuluhan lebih film pendek. Film ini berkisah tentang persoalan anak kos-kosan, atau tepatnya remaja sekolahan. Kehidupan di kos dengan segala petualangannya. Beberapa aktor ditampilkan: Hafidz Subarkah (as him self), Vrisdha AKW (Mona), Tomy S (Udin), Taufan L (Roy), dan Yusi Agusti N (anak ibu kos). Yang ditawarkan film ini menusuk pada libido darah remaja, di mana pada suatu hari Udin dan Roy mengajak mencuri di Barkah. Barkah ogah. Ia ditinggal dan diejek. Ia termenung sendiri di kamar kosnya. Nonton teve. Ada tayangan dangdut. Ia tergairah penyanyi bahenol dangdut yang aduhai. Mencopot celananya. Hendak onani. Ia matikan teve. Berpikir sejenak. Bergegas ke kamar mandi. Keluar, pikiran korat-karit. Masuk kamar mandi lagi. Suara sabun dikucuri air. Suara cekecekecekecek!! Alah, sepintas penonton dibuat gerah. Kurang ajar anak ini. Tapi tidak. Ia mengosok-gosok mukanya. Bukan batangnya. Ia keluar kamar mandi. Menuju kamarnya: sholat. Dan seterusnya. Hingga sepersekian detik film ditutup dengan iringan 2 lagu: “Harga Diri” (dari Wali Band), “Shalawat” (dari Trio Tampan).

Mamang ada beberapa kewaguan atau kejanggalan dalam satu atau dua adegan. Misalnya saat si salah satu teman Barkah yang mengajak mencuri. Aksen ajakan yang tiba-tiba itu seolah benar-benar hapalan dari teks. Ada sedikit tegang yang belum terkendali, segingga situasi kewajaran berlum maksimal. Mungkin perlu ada sedikit obrolan padat tapi berkesan tanpa kepanjangan untuk menggambarkan suasana kos saat itu. Film ini menegaskan bahwa persoalan anak yang beranjak dewasa bukanlah masalah sederhana. Mereka harus benar-benar berhati-hati pada perubahan-perubahan zaman yang kian mendesak kepribadiaannya. Namun, uapaya pada diri sendiri untuk berbuat benar dan tidak neko-neko tersirat pada film ini. Kita diajak untuk berpikir, bagaimana seharusnya berbuat jika dihadapkan pada keadaan yang demikian.

            Secara tema dan konflik kecil yang dibangun dalam film ini jika ditilik dalam kajian sastra (baca:cerpen) telah menampilkan keunikan tersendiri: letupan humor dan ironi. Pertanyaan kecil saya: apakah 2 film indie tersebut mengembangkan imajinasi anda dalam berbagai perspektif atau sebaliknya? Baiklah mari kita cermati sebagai bandingan di ladang film Indonesia yang lebih luas.

Sorotan Kecil Film Indonesia

Saya mencoba mengkritisi sejumlah film yang digarap beberapa waktu lalu. Terasa ada yang membuat ambleg (rontok) imajinasi saya. Pertama film Lari dari Blora (sutradara Ahlis Suryapati) yang dibintangi oleh WS Rendra. Teman yang di Jogja juga bilang, “Semua film yang dibintangi Rendra nggak ada yang masuk festival. Berarti jelek semua!” Respon semacam itu hanyalah sebagian kecil dari beberapa orang yang punya perhatian akan perkembangan film di tanah air saat ini. Ketika para sineas makin bertebaran dan industri film kian berkembang pesat, maka, apa pun jenis film bisa saja diproduksi. Film-film seperti Merah Putih (sutradara Yadi Sugandi), Merantau (Sutradara G. Evans) diniatkan si produser sebagai tawaran meski spekulatif pada publik yang selama ini dihamburi film-film horor dan komedi “ngesek” yang jelas-jelas tidak bermutu itu.

            Sepinya kritik dan kritikus film sebagaimana dulu pernah ditulis dengan tajam dan membangun oleh semisal Asrul Sani atau Salim Said, kini sudah jarang dilakukan. Paling-paling hanya ulasan kecil atau resensi film di beberapa media atau koran. Maka, hal penting apakah sekarang jika kita mencermati film-film Indonesia dengan mendasarkannya pada nilai-nilai keindonesiaan yang sebenarnya, bukan yang dibuat-buat? Ini tercermin semisal pada Lari dari Blora. Tokoh Simbah, sesepuh warga masyarakat Samin, yang diperankan oleh WS Rendra tidaklah menghadirkan secara wajar dan sesungguhnya sebagai tokoh panutan warga Samin. Karakter Rendra yang “Rendra” sangat kuat di sana. Kita tidak melihat Simbah Samin, tapi Rendra yang orator dan kritis sebagaimana di panggung-panggung pementasannya. Keseluruhan isi cerita mendesakkan tampilan Blora, sementara jalinan cerita dan tokoh-tokohnya terasa “hampa” dan penuh “khotbah” tentang gawatnya pengaruh asing terhadap warga Samin serta kekhawatiran daerah Samin yang bebas nilai tapi santun dan saling menghargai itu dijadikan sarang teroris.

            Tidak disangkal bahwa film adalah juga barang dagangan selain tema garapan, pangsa pasar, sutradara, sponsor, penyutradaraan, pemasaran, teknik sinematografi, keaktoran dan lain-lain. Film memang merupakan seni ajaib yang tak pernah habis membangkitkan inspirasi bagi siapa pun. Namun adakah semua itu dapat menghasilkan film yang bermutu, yang dapat mengimbangi serbuan sinetron dan reality show yang nyata-nyata tidak mendidik itu? Arifin C Noer menegaskan, “Jika semangat membikin film untuk dagang, maka rata-rata hasilnya akan buruk dan membodohi penonton. Sebab film adalah seni yang mencakup kompleksitas kreativitas, maka semangat seninya hari dieksplorasi terlebih dahulu, baru setelah itu semangat dagang. Film yang baik akan menghasilkan respon yang baik, dan yang demikian itu merupakan nilai komersil yang berharga tinggi pula.” Tentu modallah yang berkuasa. Corak film dan animo pasar bergantung pada pemegang modal yang selama itu jadi pijakannya itulah yang menentukannya.

            Maka, dari beberapa paparan di atas, bagi kaum sineas, semangat untuk terus berkarya dan belajar dari banyak hal merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Untuk itu semboyan remeh dari seorang penggila nonton film ini perlu dicamkan: “Kalau kau belum nonton 1000 film, apapun film itu, jangan banyak komentar ngalor-ngidul soal film!” Dan terus terang, saya termasuk pembual itu, sebab film yang terakhir saya tonton adalah Shutter Island. Dan itu film yang ke 907 yang saya tonton sejak awal 2008. Jadi, ditambah 2 film di atas, baru 909 film yang saya tonton. Yah, demikianlah, semoga ada pengalaman yang bisa dipetik darinya.

-----
*Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan bergiat di Majavanjava Cinema Club. Lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan  Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang: 2009); kumpulan cerpen Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tajungpinang, 2010); kumpulan cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto: 2010); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009); kumpulan esai Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Email: surabawuk@gmail.com. Kontak person. 081578177671.

1 komentar:

  1. Sampe sekarang komunitas film di jombang masih terus aktif g masbro?

    BalasHapus