Sabtu, 15 Januari 2011

Esai Fatoni Mahsun

Mengembangkan Tema Batik Bernuansa Jombangan

M. Fathoni Mahsun *)


Pada awal 2008 lalu, penulis bertemu dengan salah satu perajin batik asal Jombang yang berpameran di Jakarta Convention Centre (JCC). Karena kenal dan kebetulan tetangga, saya ajak dia ngobrol panjang lebar. Tema yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari batik, sampai suatu ketika penulis menanyakan, apa bedanya batik bernuansa Jombangan dengan batik lainnya. Kebetulan stand dia dekat dengan stand batik Cirebon, batik Jogja, batik Kudus, batik Pekalongan dan batik-batik daerah lain. Dia menjawab, yang membedakan adalah, batik Jombangan mengambil motif dari relif Candi Arimbi. Itu adalah informasi pertama yang penulis dengar tentang batik Jombangan.

Kapankah relif Arimbi mulai dieksplorasi menjadi motif batik? Menurut Ibu Maniati, perajin batik dari Desa Jatipelem Diwek Jombang, penggunaan relif Arimbi mulai digunakan sebagai motif batik pada sekitar 2005. Berarti sudah empat tahun batik Jombangan memasyarakat. Walaupun terbilang baru, langkah tersebut patut diapresiasi. Karena setidaknya Jombang tidak kedodoran dan latah ikut-ikutan demam batik, terutama pasca ditetapkannya batik sebagai warisan dunia non benda oleh UNESCO. Karena Jombang sudah mempunyai karya nyata jauh-jauh hari sebelumnya.

Didorong oleh keingintahuan yang besar, penulis ingin menyaksikan langsung, bagaimana sejatinya relif Arimbi yang menjadi inspirasi batik Jombangan tersebut. Penulis mendatangi candi yang terletak di desa Ngrimbi/Arimbi di Kecamatan Bareng Jombang. Lokasinya di samping jalan menuju arah Wonosalam. Candi Arimbi merupakan peninggalan Mojopahit. Tetapi candi ini berstruktur dari bahan batu kali, bukan dari batu bata seperti umumnya candi peninggalan Mojopahit yang kita bisa saksikan di Trowulan Mojokerto.

Bangunannya tidak begitu besar, sedikit lebih kecil dari Candi Bajangratu di Trowulan. Namun tampak sekali nuansa Hindunya. Bangunannya menjulang. Nah, relief yang digunakan sebagai motif batik itu sendiri ternyata tidak terletak di bangunan utamanya. Melainkan di potongan batu yang tergeletak di selatan candi utama. Barangkali dulunya juga bagian dari bangunan candi. Tetapi karena bencana alam atau sebab-sebab lain sehingga menjadi terpisah.

Walaupun tidak terletak di bangunan utama, akan tetapi relief yang dibuat sebagai motif batik tersebut memang menonjol. Bahkan lebih menonjol dibanding relief yang terdapat di candi utama. Berupa ukir-ukiran segitiga dengan lancip di bawah, mirip dengan motif batik Jombangan yang kita kenal selama ini. Namun, ketika diamati lebih teliti, motif batik yang digunakan tidak ada yang benar-benar sama dengan relif asli yang ada di Candi Arimbi. Para perajin batik nampaknya telah melakukan improvisasi-improvisasi. Dikatakan lebih menonjol karena bentuknya utuh. Sehingga masih terlihat jelas setiap detailnya, serta jumlahnya tidak hanya satu, tetapi ada dua relif yang sama.

Legendaris

Dibuatnya relif arimbi sebagai motif batik Jombangan memberikan kesan legendaris. Sebab bersumber dari akar budaya masa lalu. Hal ini menjadi istimewa karena tidak semua motif batik mempunyai akar budaya yang demikian kuat, terutama batik-batik kontemporer. Sehingga pemilihan relif arimbi sebagai identitas batik Jombangan cukup beralasan.

Selain itu, keberadaan batik ini langsung diterima secara masal. Semua instansi, baik negeri maupun swasta, sampai para siswa sekolah, seluruhnya mengenakan batik Jombangan dengan berbagai macam variasi motif. Dikalangan pegawai dan karyawan, setidaknya ada tiga variasi motif, masing-masing berwarna oranye, hijau, dan putih. Sedangkan di kalangan siswa, sedikitnya juga ada tiga, masing-masing berwarna biru, merah dan coklat. Motif arimbi yang terdapat di seragam siswa umumnya lebih kecil-kecil dan detail. Penerimaan yang nyaris tanpa syarat ini seakan-akan menunjukkan bahwa masyarakat Jombang sedang menemukan kembali identitas primitifnya yang lama menghilang. Sehingga begitu dia ditemukan, langsung hanya ada satu kata yang muncul, menerima.

Bentuk siluetnya yang segitiga dengan pucuk menghadap ke bawah, membuat motif arimbi tampak geometris. Apalagi motif itu umumnya digambar dalam jumlah yang banyak ketika diaplikasikan  ke kain batik. Sehingga bentuk siluet yang berisi ukir-ukiran yang rumit ini, menemukan persamaannya dengan batik-batik Jawa Tengahan, yang sebagiannya juga memiliki motif geometris; wajik, bulat, kotak dan garis-garis. Satu ciri umum lainnya adalah bentuknya yang simetris, kiri dan kanan sama, sesuai dengan filosofi Jawa yang mengedepankan keseimbangan.

Namun, apakah cukup mengandalkan arimbi sebagai satu-satunya motif batik Jombangan? Kalau jawabannya ya, maka perkembangan batik Jombangan terhenti. Daerah-daerah lain yang menjadikan batik sebagai maskotnya seperti Jogja, Pekalongan, dan Cirebon umumnya punya lebih dari satu motif. Bahkan Mojokerto sudah mempunyai beberapa macam motif. Antara lain Alas Mojopahit, Batik Mojo, Gedeg Roboh, Mrico Bolong, Sisik Krisik, Rawan Inggek, Pring Sedapur dan Koro renten (Radar Mojokerto 5/10/2009).

Dua Pola

Berangkat dari keresahan untuk mengembangkan batik Jombangan, maka mendesak untuk terus dilakukan penggalian motif-motif batik lainnya. Bila menginginkan motif yang legendaris dan berkarakter kuat sebagaimana arimbi, syaratnya ada dua. Pertama, harus ada unsur sakralnya. Kedua memenuhi unsur primitif, dalam artian mempunyai keterikatan kuat dengan akar budaya masa lalu. Namun, barangkali ini akan mengalami kendala, karena  di Jombang tidak banyak situs-situs serupa arimbi yang memenuhi dua syarat tersebut. Kabar baiknya, di arimbi ternyata masih ada beberapa relif lagi yang belum dimanfaatkan. Yaitu relief-relief yang terpahat di bangunan candi utama. Relief tersebut kira-kira bercerita tentang kehidupan di masa candi itu dibuat, yang terdiri dari relif cerita petani, kehidupan antara lelaki dan perempuan, gaya hidup, beberapa binatang, serta salur-salur dan bunga-bunga. Bila relief ini dieksplorasi untuk motif-motif baru, maka bisa dipastikan batik Jombangan akan semakin kaya.

Alternatif lainnya adalah meliarkan imajinasi dengan menggali keunikan-keunikan baru.  Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Ibu Maniati. ''Dahulu saya mengawali membatik dengan menggunakan motif jumputan," ungkapnya kepada penulis. Motif jumputan yang dimaksud Maniati berbentuk lingkaran yang lobang tengahnya, dengan diameter kurang lebih  dua centimeter. Motif yang demikian itu, menurut pengalamannya yang telah mengikuti berbagai even pameran, belum pernah ada di Indonesia. Motif lain yang pernah diciptakannya adalah motif ikan lele. Inspirasinya mungkin karena Maniati juga peternak lele. Dia membeberkan, bahwa batik dengan motif ikan lele ini pernah laku lima juta rupiah, dibeli oleh Menteri Perdagangan, Ibu Marie Elka Pangestu. Namun sayangnya, motif-motif demikian di masyarakat Jombang justru tidak populer.

Adapun kesejarahan dipakainya salah satu relif arimbi sebagai motif batik Jombangan, bukan berangkat dari ide perajin batik. Tetapi konon karena adanya keinginan elite pemerintahan Jombang untuk memperkenalkan keberadaan Candi Arimbi pada masyarakat luas. Bila demikian adanya, maka ada dua pola mengeksplorasi motif batik. Yaitu eksplorasi yang dilakukan pemerintah (top down) serta hasil kreasi masyarakat (bottom up). Dua pola ini nampaknya masih relevan untuk terus dilakukan.

Sambil melakukan eksplorasi tematik yang sifatnya besar itu, inovasi-inovasi kecil berupa penciptaan variasi- variasi baru motif  arimbi yang sudah kita punyai juga perlu dilakukan. Karena menurut hemat penulis, motif arimbi masih harus berkembang. Sebab terlalu sayang kalau berhenti hanya pada variasi-variasi yang sekarang ada. Semoga... (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar