Geladak Sastra, Community Culture, dan Perluasan Apresiasi Sastra
Oleh : Nanda Sukmana*
Tiba – tiba saya ingin menulis tentang apa saja yang berkaitan dengan Geladak Sastra. Entah, motif apa yang mendorong saya untuk menulis forum diskusi sederhana yang rutin dihelat Komunitas Lembah Pring ini sejak 28 Maret 2010. Selama itu pula mereka telah menggelar diskusi sastra sebanyak 16 kali. Itu berarti diskusi digelar pada setiap bulannya, sasampai beberapa minggu terakhir diskusi gencar dilakukan. Adalah Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah sebagai lurahnya _ lah yang menggawangi lahirnya forum diskusi yang rata – rata dihadiri 20 hingga 30 – an orang pada setiap sesinya.
Baiklah, perkenalan saya dengan mereka pertama kali saat rekan – rekan Komunitas Tombo Ati mementaskan lakon Lebedinaya Pesna (Anton Chekov) di Gedung Bioskop Plasa, Sabtu, 10 Mei 2008. Saat itu, Jabbar mengenakan kaos tipis, saya lupa warnanya dan memakai kupluk sleret – sleret atau hitam polos yang selalu dipakainya sampai saat ini. Dan sampai sekarang Jabbar masih kelihatan cungkring. Beda lagi dengan Fahrudin kalau dulu kecil kurus, sekarang badannya bohai. Celananya pas sesak. Yang tak berubah hanya brengosnya nyrongot – nyrongot. Nah, pascaperkenalan itulah saya mulai mengenal tulisan – tulisan Fahrudin yang dahsyat, sedangkan Jabbar, lama kelamaan mulai mengikuti jejak Abdul Malik, networker kebudayaan dari mojokerto yang sangat militan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah saya harus mengapresiasi kerja keras mereka berdua. Mereka itu seperti martil – martil yang siap memalu siapa saja, tak lain dan tak bukan demi terbukanya ruang perluasan apresiasi sastra di Jombang khususnya. Bahwa intensitas perluasan sastra harus dipercepat oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja, begitu kira – kira saya membaca pikiran mereka. Senyata – nyata Komunitas Lembah Pring telah menjadi magnet bagi munculnya komunitas – komunitas sastra di Jombang, sehingga senyata – nyata pula perkembangan sastra di kota kecil ini sepertinya tengah mengalami fenomena menggembirakan, terutama berkait dengan kegairahan apresiasi dan penciptaan karya. Sama halnya ketika Komunitas Tombo Ati juga menjadi magnet bagi kelompok – kelompok teater di Jombang sejak 3 Agustus 1996. Meski relatif lama _ hampir 15 tahun, kelompok ini harus diakui telah memberikan kontribusi besar pada tumbuh kembangnya jagad teater Jombang. Alhasil, beberapa tahun terakhir banyak bermunculan kelompok – kelompok teater independent di ’’ibukota ludruk’’ ini _ meminjam judul jurnal sastra Jombangana, Komite Sastra Dekajo.
Semakin maraknya ruang sastra di tengah – tengah masyarakat, tentu saja akan menghadirkan atmosfer tersendiri, terutama bagi munculnya media alternatif ekspresi publik guna mengimbangi mekanisasi sifat dan perilaku sebagai dampak dari industrialisasi di segala sektor kehidupan warga. Memang ide tersebut terkesan klise dan utopis bila kita melihat kembali kenyataan masih minimnya apresiasi sastra di level publik. Tapi justru di situlah tantangan yang harus dijawab oleh para pegiat sastra di Jombang. Dan saya pikir, Komunitas Lembah Pring sudah memulainya, meski terkadang untuk melihat kerja keras mereka begitu mengharukan sekaligus memilukan. Dengan sajian apa adanya, tikar digelar, intel datang, buku – buku dipajang hingga sesuatu dilahirkan, Fahrudin menyebutnya silaturahim dan pertemuan.
Lepas dari itu, salah satu strategi yang bisa diusahakan untuk membantu perluasan jejaring sastra di tengah – tengah masyarakat adalah penciptaan budaya komunitas (community culture). Secara sederhana konsep budaya komunitas bisa dimaknai sebagai bentuk usaha yang dilakukan secara intens dan terus – menerus yang akan memperkuat basis kesastraan di tataran komunitas. Komunitas di sini bisa dimaknai dalam dua kategori, yakni komunitas secara internal, berupa kelompok atau organisasi yang bergerak dalam apresiasi dan penciptaan karya sastra dan (baik di dalam atau di luar sekolah, pesantren, kampus) dan komunitas secara eskternal, berupa kelompok publik yang hendak dijadikan sasaran perluasan apresiasi sastra.
Terbentuknya beberapa komunitas sastra di Jombang, harus dianggap sebagai gejala positif yang akan menggiring sedikit pandangan publik terhadap eksistensi sastra yang selama ini kurang mereka perhatikan. Guna memperteguh pandangan itu, komunitas sastra, secara internal, mesti melakukan pematangan – pematangan dalam proses tertentu yang didukung beberapa orientasi.
Pertama, orientasi apresiatif, berupa penguatan wacana untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, baik puisi, cerpen, novel, atau drama. Pemahaman apresiatif terhadap sebuah karya akan mengarahkan anggota komunitas pada keragaman makna karya sehingga akan memunculkan perdebatan dalam lingkaran diskusi yang akan semakin mematangkan pemaknaan mereka terhadap sastra, di samping untuk mengisi kebutuhan batin.
Kedua, orientasi penciptaan, berupa workshop dan pendampingan dalam menciptakan sebuah karya. Semakin banyaknya karya yang dihasilkan oleh para anggota sebuah komunitas, sesederhana apapun bentuknya, akan semakin menambah semangat kreatif. Yang perlu diingat adalah kesadaran untuk memberi dan menerima kritik karena itu akan berguna dalam pembentukan jati diri karya. Bagi kalangan penulis pemula, apresiasi di komunitas akan memunculkan rasa percaya diri ketika harus berhadapan dengan publik yang lebih luas.
Langkah berikutnya ketika budaya apresiatif dan penciptaan sudah terbentuk adalah bentuk usaha untuk memperluas komunitas penikmat sastra. Selama ini, diakui atau tidak, penikmat sastra masih terbatas pada mereka yang berbasis pendidikan, meski juga sangat terbatas. Khalayak di luar basis pendidikan juga mesti disapa, karena hal itu akan membantu sosialisasi makna humanitas sastra.
Untuk menggagas publik yang lebih luas, komunitas sastra harus mampu melakukan pembacaan awal terhadap kemungkinan-kemungkinan tentang karakteristik calon penikmat yang dibidik. Memang langkah ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa dan sedikit usaha publikasi yang tidak mudah. Para pegiat sastra komunitas harus mampu meyakinkan mereka bahwa acara yang akan mereka hadiri mempunyai daya tawar tersendiri.
Diskusi sastra dan seni rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi yang dihelat di ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Minggu (10/4) merupakan strategi cerdik guna menyosialisasikan humanitas sastra bagi khalayak, apalagi konon sebagai pengulas buku Perjalanan Kedua : Antologi Tubuh dan Kata karya Afrizal Malna adalah Bupati Jombang. Dan menurut saya, ini baru luar biasa. Tambah luar biasa ketika acara tersebut juga dihadiri oleh penjabat – penjabat pemkab yang lain, direktur perbankan, pengusaha – pengusaha kaya, petani, pedagang, buruh pabrik, guru, dosen, semuanya tumplek blek di sana. Dan lagi – lagi Komunitas Lembah Pring menjadi salah satu penggagas di belakangnya. Mereka berhasil menjaring, memikat, dan memaksa munculnya sinergitas antarlintas komunitas, pemerintah, swasta, semoga media juga, meskipun dalam konteks itu peran pimpinan Dekajo yang bersahaja juga tak kalah cerdiknya dan harus diperhitungkan.
Dan jika keberadaan kondisi ini dapat terus bertahan dan meluas akan semakin mendorong terciptanya kerja budaya antarkomunitas lintas disiplin ilmu yang saling silang memberikan gagasan – gagasan inovatif terhadap keberlangsungan masa depan berkebudayaan kita.
Terakhir, jika ingin membangun sebuah wilayah sastra yang kondusif, tentunya harus dibarengi dengan penciptaan budaya komunitas, sehingga suatu saat akan tercipta dinamika. Dan dinamika harus dimaknai sebagai pergesekan karya yang positif. Dan sesungguhnya, untuk itu, saya berharap bahwa Geladak Sastra selalu menjadi lembah kreativitas, berbagi dan berkomunikasi bagi para anggota dan masyarakatnya. Entah sampai kapan. Perlu uji waktu.
Lalu bagaimana kabar gedung kesenian? ’’Gak onok hubungane kalee guk,’’ seorang teman berseloroh dari pinggir meja kerja saya.
_________
*Manajer Artistik Komunitas Tombo Ati, bekerja sebagai staf pengajar di STKIP PGRI Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar