Sabtu, 23 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa @ Dimuat SERAMBI BUDAYA RADAR Mojokerto, Minggu, 17 April 2011

Merajut Jejaring Seni Budaya Melalui Teater dan Seni Rupa

Oleh : Jabbar Abdullah*

Kurang lebih pukul 08.50 Wib, rombongan Tim Indonesia Art Contemporary Network (iCAN) yang terdiri dari Afrizal Malna, Titarubi, Antariksa dan Stephanie Goeltom (Puni), tiba di area Kantor PEMKAB Jombang untuk kemudian menuju lantai dua tempat AULA Bung Tomo berada. Awal kali memasuki pintu menuju ruang diskusi, tim iCAN mendapat suguhan awal berupa pameran fotografi dari Jombang Fotografer Community (JFC). Naik ke lantai dua, kembali mendapat suguhan pameran seni rupa dari Komunitas Pelukis Jombang (KOPI Jombang).

Sebelum kedatangan tim iCAN, suguhan paling awal untuk pengantar menuju diskusi, kelompok musik SKETIKA telah terlebih dahulu hadir dan melagukan beberapa lagu. Kedatangan tim iCAN langsung disambut oleh Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) yang ditemani oleh Cak Nasrul Ilah dan Inswiardi (moderator), Fahrudin Nasrulloh (narasumber teater), dan Khoirudin (narasumber senirupa).

Jombang menjadi tuan rumah kelima dalam rangkaian Road Show Forum Teater dan Seni Rupa Jatim, setelah Malang , Jember, Surabaya dan Mojokerto. Acara ini adalah hasil kerja bareng antara iCAN dan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) yang didukung oleh Komunitas Lembah Pring,  Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Suwarna Art Space (SAS), Perhutani dan beberapa donator dari instansi swasta di Jombang. Secara resmi, diskusi dimulai sekitar pukul 10-an. Sesuai rundown acara, pembukaan dibuka oleh saudara Bakir (Komunitas Tombo Ati). Satu-persatu runutan acara dibacakan. Seusai pembukaan, Agus Riadi (Ketua Dewan Kesenian Jombang) selaku "shohibul hajat" dipersilahkan memberikan sambutan. Selanjutnya MC menyerahkan waktu sepenuhnya kepada moderator diskusi.

Moderator mulai beraksi. Cak Nasrul Ilahi memberikan gambaran awal tentang kondisi teater dan seni rupa Jombang. Disusul kemudian oleh Inswiardi. Ia mengawali dengan menyuarakan dialog besutan, baru kemudian memulai diskusi. Acara berlambar “Launching, Diskusi Teater dan Seni Rupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi” ini dihadiri kurang lebih seratusan peserta, yang terdiri dari banyak atribut. Di antaranya, birokrasi (Perhutani), Pengusaha, guru-guru MGMP Seni-Budaya, Komunitas Pelukis Jombang, Jombang Fotografer Community (JFC), Desain Grafis, pelajar dan mahasiswa, serta pegiat dan komunitas teater di Jombang dan di luar Jombang. Dengan kata lain, keterlibatan telah terjadi.

“Diskusi ini sengaja didesain oleh panitia untuk tidak hanya dimiliki oleh pelaku teater dan seni rupa. Panitia berkehendak diskusi ini menjadi milik dan kebutuhan bersama atau lintas disiplin”, ujar Imam Ghozali AR , selaku ketua panitia dan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jombang.

Imam Ghazali AR menambahkan, kegiatan ini menurutnya menarik untuk mulai merajut jejaring seni dan budaya lebih istiqamah, mengingat kita berada di ruang era jejaring.

“Saya pikir teman-teman Jombang mesti mengisi “ruang kosong” tersebut agar tidak terjebak dalam “chauvinisme lokal kekanak-kanakan” yang dapat memunculkan “rasa serba hebat””, imbuhnya, sembari menyulut rokok Dji Sam Soe kretek.

Berangkat dari situlah kemudian panitia memilih narasumber, utamanya teater, orang yang bukan pegiat teater, namun memiliki perhatian terhadap peristiwa teater yang tumbuh dan berkembang di Jombang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan “pembacaan yang lain” atau –dalam istilahnya Fahrudin - “mata lain” terhadap teater. Panitia akhirnya menunjuk Fahrudin Nasrulloh (Pegiat Komunitas Lembah Pring, Jombang) yang kesehariannya bergulat di ranah sastra namun juga punya perhatian yang cukup terhadap teater di Jombang, baik teater modern maupun tradisi, ludruk.

Secara sederhana, Afrizal Malna mengatakan : “Setiap saat kita menemui teater. Di kamar mandi kita bertemu teater industri, teater pasar hanya lewat sabun yang kita gunakan untuk kita mandi. Di sekolah ada teater pendidikan. Di politik malah lebih banyak lagi teater. Ada kampanye, macem-macem… Teater pertama menjadi penting kalau teater kedua lahir. Kalau teater kedua tidak lahir berarti ada persoalan dalam bagaimana teater itu diproduksi."

Mengenai "pembacaan yang lain" terhadap bukunya Afrizal Malna, dalam paragraf kedua makalahnya yang berjudul “Yang Berjalan dari Kuburan Teater ke Kuburan Fiksi”, Fahrudin menulis : "Hal penting dari kehadiran buku Afrizal Malna Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata ini adalah bagaimana ia melihat dengan “mata lain” sebuah pertunjukan teater yang telah ditontonnya selama kurang lebih 12 tahun. Sebagai seniman teater yang pernah terlibat di Teater Sae, ia juga adalah penyair yang sudah dikenal luas dalam dunia sastra Indonesia . Pertama, saya melihat buku ini merupakan sebuah catatan tajam dengan berbagai perspektif sosiologis maupun antropologis, dan oleh sebab itu pembaca, sebagai “teater ketiga”, tidak semata melihatnya sebagai hasil reportase, namun lebih dari bagaimana kita diajak memasuki cara Afrizal menonton teater yang kemudian disebutnya sebagai “teater kedua”.

“Singkatnya, kita diajak menonton ulang dan membaca oleh Afrizal Malna seluruh peristiwa teater yang disalin dalam buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, yang ditulisnya kurang lebih selama 15 tahun,” komentar Syaiful Anam “Glewo”, pegiat teater Lidhie Art Forum Mojokerto dan Komunitas Pondok Jula Juli yang datang bersama kawannya dari Balai Belajar Bersama Banyumili.

Berbeda dengan Fahrudin, narasumber seni rupanya, "pyur" menggeluti seni rupa. Eko Utomo selaku ketua Komite Senirupa DeKaJo, menunjuk Khoirudin yang saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2 nya di ISI Yogyakarta . Dalam paparannya, Khoirudin lebih menekankan pada upaya bagaimana seni rupa di Jombang bisa turut ambil bagian dalam peta seni rupa, minimal di Jawa Timur. Dari sini dapat disimpulkan sementara, bahwa di sinilah pentingnya untuk segera membangun jejaring, melalui media apapun.

Terkait dengan media, Titarubi, yang sudah 20 tahun menjadi perupa, juga menguraikan gagasannya dalam berkarya yang jangan hanya berhenti pada media canvas. Seni rupa bisa dirupakan dalam banyak media. Dalam durasi 15 menit-an, Titarubi memberikan beberapa tawaran terkait dengan pengelolaan media untuk seni rupa. Ia menampilkan beberapa karya-karyanya yang didominasi seni rupa instalasi. Tiga di antaranya berupa patung berkepala gundul yang berhias kaligrafi, rangkaian manik-manik yang berwujud gaun yang dijadikan kostum tari, dan karya berjudul “Sebuah Pohon Kecil di dalam Rumah yang Belum Selesai”.

"Seni rupa seperti juga bahasa. Adalah menyalin penglihatan ke dalam gambar, ke dalam bentuk. Ia bisa jadi gambar-gambar dalam bentuk apapun," jelas Titarubi yang mempresentasikan materinya dengan menggunakan bantuan proyektor.

Di akhir sesi, giliran Antariksa yang mengudal pentingnya membangun jejaring (network) dalam berkesenian. “Seniman dan kesenian tidak dapat berdiri atau menopang dirinya sendiri. Ia membutuhkan penyanggah untuk menopang dirinya. Ditopang dengan membangun hubungan-hubungan dan jejaring lintas disiplin yang lain,” ujarnya.

Panitia juga “menyisipkan” gerakan Koin Sastra untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang kondisi “kesehatannya” sedang krisis dan terancam mati.

“Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan hanya sekadar pusat dokumentasi, tapi juga gambaran peradaban sebuah bangsa. Alhamdulillah. Bukunya mas Afrizal juga mendapat apresiasi yang luar biasa. Untuk penjualan di tempat, laku 8 eks. Panitia juga membeli secara khusus 10 eks. Sementara Koin Sastra berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 1.865.350,-. Untuk penyerahannya akan kita titipkan kepada tim iCAN,” ungkap Agus Riadi.

__________

Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar